Sawahlunto dikenal sebagai salah satu kota multientik di Indonesia. Di bekas kota tambang itu kini hidup beragam etnis dari berbagai penjuru Nusantara: Minang, Batak, Jawa, dan lainnya. Masing-masing etnis, dengan budayanya masing-masing pula terus berinteraksi sehingga lahirlah produk-produk budaya ‘kreol’ seperti Bahasa Tangsi, Wayang Sawahlunto, atau seni pertunjukan Tonil. Di samping itu, hingga hari ini berbagai kesenian dari berbagai etnis masih hidup di Sawahlunto. Sebut saja Wayang, Reog, Jaran Lumping, atau Randai. 

Bagaimana keadaan multietnik itu tercipta? Asal-usulnya ada di sejarah kota tersebut. Dan ia lahir bukanlah berkat kebijakan penuh toleransi Pemerintah Kolonial Belanda atau kabajikan petinggi-petinggi perusahaan tambang. Masyarakat multikultur di Sawahlunto lahir dari kebalikannya, dari ketimpangan, kontrol, kekerasan, dan stratifikasi sosial yang rasis.[1]

Erwiza Erman dalam tesis Phd-nya Miners, Managers and the State: A Socio-political History of the Ombilin Coal-Mines, West Sumatra, 1892-1996, (1999),[2]  memaparkan bahwa pada awalnya Belanda membangun apa yang disebut sebagai “komunitas tambang”. Komunitas tambang ini terdiri atas etnis Jawa, Tionghoa, Bugis, Batak, Papua, serta Eropa. Sebagiannya merupakan pekerja paksa di tambang, sebagian lagi berperan sebagai pedagang, dan lainnya bertugas sebagai mandor atau petinggi perusahaan.

Orang Eropa berada di puncak strata sosial komunitas tambang. Mereka membangun pemukiman terpisah yang serba eksklusif. Tidak sudi berinteraksi dengan orang dari tingkat sosial yang lebih bawah (untuk berkomunikasi dengan pekerja paksa, mereka mengandalkan jasa Indo-Eropa yang bisa berbahasa Melayu dan Jawa. Untuk berbelanja sehari-hari di pasar, mereka mengutus para pembantunya). Mereka hidup dalam enclave khusus. Unsur-unsur kebudayaan barat yang diadopsi masyarakat Sawahlunto seperti tampak dalam seni pertunjukan Tonil, bukan lahir dari interaksi yang sehat, melainkan ‘dicuri’ oleh pekerja dari lapisan bawah dari societIt.

Pada masa-masa awal penambangan dan pembukaan kota, lapisan bawah strata sosial dengan kompoisi etnik yang bergam itu, dipisahkan dari masyarakat pribumi melayu. Pemisahan ini dilandasi ketakutan bahwa orang pribumi bakal mempengaruhi mereka dengan gagasan mengenai kemandirian dan kewirausahaan. Bahkan diantara kategori pekerja paksa pun, dibuat pemisahan oleh pemerintah. Orang rantai misalnya, dipisahkan dari pekerja kontrak dan pekerja lepas serta pekerja biasa. Mereka termasuk lapisan paling bawah dalam tatanan sosial komunitas tambang. 

Di masa-masa awal itu, lapisan paling bawah komunitas sering terlibat konflik karena kondisi kerja yang buruk. Dan tiap konflik pribadi, bisa berujung ke konfilk identitas. Para pekerja paksa pun cendrung membentuk kelompok berbabasis etnis yang makin memperdalam jarak dengan entis lainnya. 

Sejak 1920, terjadi perubahan besar. Interaksi antar etnis dan interaksi antar berbagai lapisan pekerja mulai terbentuk. Interaksi yang terjadi dengan cukup intens ini dipicu oleh berkembangnya gagasan politik dan terbentuknya organisasi-organisasi atau sarekat.  Islam, nasionalisme, dan perjuangan kelas merupakan perangkat ideologi penting yang dapat membantu menjembatani diferensiasi etnis

“Kemunculan gerakan nasionalis Indonesia dan ideologi perjuangan kelas yang disebarkan di kalangan penambang dan masyarakat lokal di Sawahlunto oleh Sarekat Rakyat dan Partai Komunis, nampaknya menjadi kunci yang mengendorkan intensitas konflik etnis yang sempat muncul”.[3]

Serikat-serikat buruh, media-media massa buruh, bermunculan pada masa-masa ini. Aspirasi soal kesejahteraan, kondisi kerja, bahkan perebutan tambang mulai muncul menggantikan sentimen-sentimen kesukuan antar pekerja. Kesadaran kelas dan politik kelas pekerja mulai terbentuk. Imajinasi mengenai tatanan masyarakat baru sebagai ganti dari tatanan lama yang rasial, mulai terbentuk dan mengikis perbedaan etnis. Pekerja dengan latar berbagai etnis dan budaya, kini punya musuh bersama: kolonialisme. Tapi semua itu buyar karena pemberontakan 1926/27 dipukul Belanda. Dihancurkannya gerakan politik kelas pekerja membuat pekerja terpaksa berkompromi dengan perusahaan dalam masa-masas setelahnya. 

Meski begitu, pengalaman politik pekerja telah berhasil mengikis sentimen kesukuan dan prasangka-prasangka berbasis identitas lainnya. Setelah 1927, terutama sejak 1930-an, hubungan antara pekerja dan mandor dari kalangan pribumi, mulai berubah. Para mandor yang dalam masa-masa sebelumnya menganggap diri berbeda dengan para pekerja, mulai melihat adanya persamaan di antara mereka: orang jajahan. Kebanyakan mandor tidak lagi memperlakukan pekerja secara tidak manusiawi. 

Saat Jepang menduduki Sawahlunto pada 1942, terjadi lagi perubahan besar-besaran dalam komunitas tambang. Hierarki sosial masyarakat tambang yang dibangun Belanda runtuh. Pekerja tambang, terutama asal Jawa, bisa bekerja dengan pekerja dari etnis lainnya dalam posisi yang setara di badan-badan bentukan Jepang (Meski kondisi kerja sebagian besar dari mereka tidak berubah sama sekali). 

Setelah Jepang kalah perang pada 1945, Revolusi dimulai di Sawahlunto. Jurang antar etnis yang sengaja dibikin Belanda di masa-masa awal penambangan, betul-betul runtuh. Komunitas tambang dan masyarakat lokal semakin terkoneksi pada masa revolusi. “Kontak yang lebih intensif antara para penambang dan masyarakat setempat menjadi hal yang biasa, yang menjadikan hubungan ini semakin erat.”[4]

Periode 1960-1965, masyarakat tambang mulai berinteraksi dengan intens dengan masyarakat dalam taraf lebih luas. Melalui partai dan organisasi-organisasi mereka terhubung tidak hanya dengan pemimpin politik di tingkat regional namun juga dengan para pemimpin politik dI tingkat nasional. Dan hubungan tersebut bukanlah hubungan satu arah. 

Partai-partai politik, dengan segala kecenderungan ideologisnya, lagi-lagi makin menghilangkan hirarki sosial komunitas tambang bentukan Belanda. Partai Komunis Indonesia (PKI) dan organ-organ yang diasosiasikan dengan komunisme, tumbuh dengan cepat di Sawahlunto. Cabang Lekra ada di banyak tempat. Meski terjadi friksi antar kelompok dan partai, namun semua itu bukan berbasis identitas seperti etnis dan kultur melainkan berbasis ideologi politik—hal yang sangat berbeda dengan perselisihan-perselisihan berbasis identitas antarpekerja di masa-masa awal penambangan. 

Situasi multikultur yang ‘khas’ itu ikut mendorong minimnya korban pembantaian 65 di Sawahlunto. Dalam catatan resmi, hanya ada 1 anggota PKI yang meninggal ditembak. Mereka yang terlibat atau dituduh punya hubungan dengan PKI ditangkap dan ditahan serta mengalami teror dan intimidasi dari negara. Namun tidak seperti di wilayah lain, tidak ada milisi-milisi anti komunis yang ikut serta dalam proses itu, militer bisa dikatakan sebagai satu-satunya aktor utama penghancuran komunis di Sawahlunto. Meski ratusan orang ditangkap karena tuduhan terlibat komunisme, anggota masyarakat non-komunis, masih menganggap mereka yang dekat dengan PKI sebagai anggota keluarga, sebagai bagian dari komunitas. 

Perjalanan sejarah yang panjang, penuh luka, perjuangan, serta gerakan politik dan organisasi-organisasi lintas-etnis yang dibentuk untuk mengubah nasib kelas pekerja itulah yang punya andil besar dalam membentuk masyarakat multikultur di Sawahlunto hari ini. 

Kekayaan budaya yang hidup di Sawahlunto hari ini, dengan demikian, adalah hasil kerja panjang kelas pekerja, hasil kerja para penambang yang tidak hanya membangun kota Sawahlunto sendiri namun juga budaya yang ragam. (*)

Catatan kaki:

[1] Mengenai Tonil atau bahasa Kreol, lihat misalnya Dede Pramayoza, Tonil: Teaterikalitas Pascakolonial Masyarakat Tansi Sawahlunto. Jurnal Kajian Seni, Volume 1, No. 2, April 2015, 114-129. Dalam artikel tersebut Dede memberi gambaran bahwa Tonil berakar dari tatanan sosial bikinan Belanda yang rasis dan diskriminatif. Lihat juga Elsa Putri E Syafril dalam artikelnya Diaspora Sedulur Sikep dan Keseniannya di Sawahlunto. Jurnal Ekspresi Seni, Vol, 16, No. 1, Juni 2014. Dalam artikelnya, Elsa menekankan bahwa bentuk-bentuk budaya di Sawahlunto, terutama Bahasa Tansi, lahir dari sistem sosial yang timpang dan penuh kontrol.

[2] Erwiza, E. (1999). Miners, managers and the state: A socio-political history of the Ombilin coal-mines, West Sumatra, 1892-1996. [Thesis, fully internal, Universiteit van Amsterdam].  Versi PDFnya Bisa diunduh di sini. Tesis ini juga sudah diterjemahkan dalam bahas Indonesia

[3] Ibid, hal 73

[4] Ibid, hal 120

Rujukan:

Erwiza, E. (1999). Miners, Managers and the state: A socio-political history of the Ombilin Coal-Mines, West Sumatra, 1892-1996. [Thesis, fully internal, Universiteit van Amsterdam].  

Pramayoza, Dede. Tonil: Teatrikalitas Pascakolonial Masyarakat Tansi Sawahlunto. Jurnal Kajian Seni, Volume 1, No. 2, April 2015, 114-129.

Syafril, Elsa Putri E. Diaspora Sedulur Sikep dan Keseniannya di Sawahlunto. Jurnal Ekspresi Seni, Vol, 16, No. 1, Juni 2014.


Foto cover: mural bertema keragaman di kawasan tansi.

Open chat
1
Scan the code
Helpdesk
Halo 👋
Ada yang bisa kami bantu?