“Orang Rantai” adalah salah satu dari beberapa karya sastra dengan latar sejarah kota tambang Sawahlunto. Cerpen karya Pinto Anugrah ini terhimpun dalam buku kumpulan cerpen Kumis Penyaring Kopi (2019: 35-44).

Cerpen ini berkisah soal  ‘Aku’, tokoh utama yang hidup di Sawahlunto masa kolonial. ‘Aku’  ini adalah seorang remaja dari keluarga kuli kontrak di Sawahlunto. Bapaknya bekerja di fasilitas pembangkit listrik yang dijalankan dengan batubara sebagai bahan bakarnya. Di sana ia bekerja sepanjang hari–kadang sampai larut malam–sebagai tukang bongkar batubara dari lori ke tungku batubara.

Ibunya bekerja di dapur umum tempat makanan bagi para pekerja tambang batubara dibuat. Mereka sekeluarga tinggal di barak kuli kontrak yang sempit. Untuk membantu ekonomi keluarga, ‘Aku’, bersama ibunya, kadang bekerja memungut pecahan batubara yang berceceran di sepanjang jalur kereta api di Sawahlunto. Ceceran Batubara itu bisa mereka jual ke kepala Gudang Ransum, tempat ibunya bekerja sebagai tukang masak untuk para pekerja tambang.

Ayahnya datang, atau didatangkan, dari “pedalaman Jawa.” Meski tau bahwa ia dan keluarganya bukan orang asli setempat, namun ‘Aku’ sadar bahwa “Kota ini ada dan berkembang karena adanya kami” (hal. 37).

Setiap awal bulan, pemerintah kolonial mengadakan pasar malam. Inilah satu-satunya hiburan bagi para pekerja dan keluarganya yang selalu ditunggu-tunggu. Tak terkecuali oleh si tokoh dan bapaknya yang gemar bermain dadu.

Pada pasar malam kali itu, bapak si tokoh tiba-tiba berada dalam keributan. Seorang Belanda peranakan tewas dalam keributan tersebut. Dan si bapak, berada di lokasi dengan batubara berlumur darah di tangannya. Polisi kolonial membawanya, entah ke mana, tak jelas nasibnya.

Ibu si ‘Aku’, yang dipanggilnya “Mak”, terpuruk. Kurus, pucat, dan sering berseru “cari bapak, bawa pulang.” Ia samasa sekali tak yakin suaminya seorang pembunuh.

Setelah menghabiskan hari-harinya mencari sang bapak, ‘Aku’ akhirnya diberitahu dua orang opas bahawa bapak si ‘Aku’ telah dikirim ke penjara Sungai Durian—tak jauh di luar pusat kota. Di sana ia yang sebelumnya berstatus kuli kontrak, diturunkan statusnya menjadi orang rantai.

‘Aku’, ataupun para opas, tak menyinggung soal pengadilan atau semacamnya. Bapak si ‘Aku’, tiba-tiba saja dihukum jadi orang rantai–pembunuh berdarah dingin. ‘Aku’ yang tak sanggup menerima kenyataan itu, hanya bisa berkata tidak. Bagaimana nasib Mak-nya ketika menghadapi kenyataan yang sama, tidak kita ketahui.

Kita hanya bisa membayangkan, keluarga kecil kelas pekerja itu hancur sudah. Keluarga yang curahan kerjanya jadi salah satu penopang perkembangan kota tambang itu, kini tak ada lagi artinya. Kita bisa bayangkan, di negeri yang jauh dari tanah kelahirannya, mereka tak tentu lagi nasibnya kini.

***

Dalam cerpen ini sebetulnya ada dua ‘Aku’. Bagian awal cerpen ini, dimulai dengan mimpi berturut-turut si ‘Aku’ dari masa kini tentang sepasang bapak-anak yang berdiri kaku di samping rel yang ujungnya tak terlihat, samar-samar, tertutup kabut.

Di masa kini itu, ‘Aku’ adalah murid sebuah sekolah dasar yang penuh kegelisahan. Ia kerap bermimpi tentang sepasang bapak-anak dan rel kereta api tanpa ujung itu. Tak hanya saat tidur pada malam hari ia mengalami pengalaman serupa. Di dalam kelas sekalipun, di tengah siang pekak, ia sering mengalami semacam kondisi trance, di mana ia masuk ke mimpi atau dimasuki penampakan  sekelebat bayangan tentang bapak-anak yang berdiri kaku di samping rel kereta api tanpa ujung.

Di tengah kondisi trance itu, ia tak hanya bermimpi tentang sepasang bapak-anak, tapi juga mendengar suara-suara aneh. Suara-suara yang entah datang dari mana itu, kerap meneror telinganya dengan tudingan-tudingan: “kau orang rantai, “orang rantai kau rupanya”, “rantai dia!”

Guru matematikanya, yang tentu saja mengajarkan matematika, di mata dan pikiran ‘Aku’ tampak seperti orang yang tengah membaca puisi, sebuah puisi yang berkisah soal orang rantai  dan sejarah Sawahlunto. ‘Aku’ yang selalu gelisah itu, akhirnya didudukkan di bangku paling belakang agar tidak mengganggu siswa lainnya yang duduk tenang bagai patung dengan kedua tangan terlipat rapi di atas meja.

Saat sadar dari kondisi trance, si ‘Aku’ di masa kini kerap mendapati memar bekas lecutan rotan di sekujur tubuhnya. Di lehernya, kalung rantai yang berat itu, meninggalkan bekas. Ia merasakan semua itu sebagai siksaan. Meski ia masih ragu, apakah ia tengah bermimpi, atau malah bermimpi dalam mimpi, begitu terbangun ia akan memanggil ‘bapak’ secara spontan.

***

Apa yang menarik dari cerpen ini ialah cara pandang Pinto Anugrah atas sejarah kelam yang dialami kaum pekerja tambang di Sawahlunto. Dalam cerpen ini, kita sesungguhnya tak bisa membedakan masa lalu dengan masa kini. Apa yang terjadi di Sawahlunto pada masa lalu kolonial, masih berlanjut hingga hari ini. Ini menyiratkan bahwa kolonialisme masih berlanjut di Sawahlunto, meski hadir dengan wajah yang berbeda dengan korban-korban ‘baru’ pula.

Walau akhirnya pemerintah kolonial, secara perlahan dan bertahap, berupaya menyingkirkan orang rantai dan mulai memperbanyak kuli kontrak, si ‘Aku’ tetap merasa terhubung dengan masa lalu–masa lalu yang samar-samar dan penuh kabut, masa lalu penuh penghinaan dan penindasan yang belum sepenuhnya berakhir meski berabad telah terlewati. Bagi Pinto Anugrah, sejarah belum berakhir di Sawahlunto.

Sosok ‘Aku’ di masa kini, adalah cerminan masyarakat bekas komunitas tambang bekas jajahan yang tengah kebingungan karena ketidakjelasan sejarahnya sendiri, sejarah yang penuh kabut dan samar-samar. Sejarah yang seperti ujung rel dalam mimpi-mimpi di ‘Aku’ di masa kini yang tak jelas ujungnya.

Ini adalah suatu situasi yang bisa menimbulkan apa yang disebut Sartre sebagai Nausea–perasaan mual yang datang begitu saja ketika seseorang menyadari betapa absurdnya eksistensinya. Kalau dikaitkan dalam konteks sejarah Sawahlunto, nausea akan hadir ketika orang atau masyarakat bekas komunitas tambang tiba-tiba sadar bahwa ia tak punya sejarah yang pasti, kecuali sejarah yang serba samar dan kabur.

***

Cerpen ini ditulis pada pertengahan 2000-an. Saat itu, sejarah orang rantai di Sawahlunto mulai mengemuka. Namun belum sekuat, sekokoh, dan semasif hari ini. Stigma orang rantai sebagai pengacau, kriminal, dan penebar horror bagi masyarakat di luar komunitas tambang, masih melekat cukup kuat.

Stigma kriminal itu awalnya diproduksi kolonial dan digunakan sebagai pembenaran atas perbudakan. Para orang rantai didatangkan dari penjara-penjara di Jawa (bahkan dari Papua) digambarkan sebagai para kriminal brengsek yang wajar saja diperlakukan sebagai budak.

Sementara stigma sebagai pengacau di perkampungan sekitar tambang, awalnya muncul karena mereka sering kabur dari tahanan, bersembunyi di hutan-hutan, lalu mengendap-ngendap di malam hari berharap mendapat sesuatu yang bisa dimakan di perkampungan.

Stigma itulah yang menghantui ‘Aku’ di masa kini. Meski dalam cerpen itu si ‘Aku’ tidak dikisahkan secara eksplisit sebagai keturunan orang rantai, dan latar kota si ‘Aku’ itu tidak begitu jelas, namun keterhubungannya secara ajaib dengan masa lalu orang rantai memperlihatkan bahwa ‘Aku’ adalah bagian dari keturunan orang rantai dan tinggal di kota yang sama, di suatu rumah kecil di sudut sempit di kawasan tansi.

Bisikan-bisikan puitik tentang sejarah orang rantai dan Kota Sawahlunto, yang kerap muncul di kepala si ‘Aku’ di hari ini, bisa dilihat sebagai semacam panggilan untuk menggali sejarah masyarakatnya sendiri. Membuat terang dan jelas “ujung rel” sejarah yang “membentang dan memanjang jauh, yang ujungnya tak terlihat, ditelan oleh kabut” (hal. 35).

Dan memang itulah yang dilakukan masyarakat tansi. Mereka membangun narasi sejarahnya sendiri, membersihkan stigma atas orang rantai, dan memanusiakan kembali orang rantai, membangun sejarah dari bawah.

Bapak si ‘Aku’ dari masa kolonial, yang menjadi orang rantai karena (dituduh) membunuh seorang Indo, jelas adalah korban ganasnya industri tambang batubara kolonial. Pemerintah sengaja atau tidak, telah memfasilitasi praktek perjudian di mana para pekerja  seperti bapaknya si ‘Aku’ akan menghabiskan uang gajinya lalu terus bekerja demi gaji hanya untuk dihabiskan lagi pada Pasar Malam berikutnya. Ini adalah rantai dalam bentuk lain yang membelenggu para pekerja tambang.

Karena itu pertengkarannya dengan orang Indo sesama penjudi, yang berakhir dengan matinya si orang Indo, tidak serta merta membuat bapak si ‘Aku’ menjadi kriminal. Pertengkaran maut itu harus dilihat dalam konteksnya yang lebih luas, ia harus dilihat sebagai hasil dari opresi kolonial yang sifatnya sistemik demi memaksimalkan produksi batubara. Si Indo yang malang, dan si bapak yang tak kalah malangnya, keduanya adalah korban dari sistem kolonial. Lingkaran setan yang sengaja dibikin untuk menjerat para pekerja keras seperti bapak si ‘Aku’.

Studi-studi sejarah tentang masa-masa awal penambangan mendukung narasi sejarah seperti itu. Tidak semua orang rantai adalah kriminal. Beberapa tokoh pemimpin perlawanan terhadap kolonialisme di tingkat lokal, tercatat pernah dikirim ke Sawahlunto untuk dijadikan pekerja paksa. Kabur dari tahanan (atau menghindar-hindari pekerjaan) adalah bentuk perlawanan atas perlakuan tak manusiawi yang mereka terima di tambang dan penjara: mereka bukan kabur karena menghindar dari pertanggungjawaban atas tindakannya yang dianggap kriminal, mereka kabur karena hanya itulah saluran yang mereka tahu untuk melawan dan membangkang.

Barulah ketika organisasi-organisasi politik dan sarekat-sarekat mulai muncul di Sawahlunto pada awal 1920-an, mereka mendapat saluran perlawanan politik yang lebih terorganisir dan visi yang radikal. Perlawanan sehari-sehari yang tidak efektif, berganti jadi, rapat-rapat umum, pemogokan, dan protes. Sejarah perlawanan para pekerja di Sawahlunto mendapat bentuk yang baru, dan akan terus berlangsung dengan bentuk-bentuknya yang lain lagi.

***

Adanya dua ‘Aku’ dalam cerpen ini juga bisa dilihat sebagai cerminan dari tidak berubahnya nasib para keturunan pekerja paksa. Meski sadar bahwa ” Kota ini ada dan berkembang karena adanya kami,” nasib mereka di kota itu tak berubah secara mendasar.  Nasib ‘Aku’ di masa kolonial, pada dasarnya sama saja dengan nasib ‘Aku’ di hari ini.

Penelitian saya pada 2023 lalu tentang kondisi pekerja museum yang sebagian besar berasal dari keturunan orang rantai, menunjukkan bahwa posisi mereka di dalam struktur masyarakat Sawahlunto hari ini belum mengalami perubahan berarti. Mereka masihlah ‘abu di atas tunggul’ yang setiap saat bisa diterbangkan angin dengan mudahnya. Rumah-rumah sempit di kawasan tansi yang mereka tempati, adalah milik perusahaan, bukan properti mereka sendiri.

Dengan gaji ‘secukupnya’ mereka menanggung beban kerja yang berat, sebagai guide sekaligus petugas kebersihan. Layaknya para mantan pekerja paksa yang menjadi ‘anak kolong’[1] di masa kolonial, para pekerja keturunan orang rantai hari ini juga tak punya masa depan dan masa pensiun yang jelas.

Adanya ‘Aku’ di hari ini yang punya dorongan untuk menggali sejarah masyarakatnya sendiri, menggali sejarah soal ‘Aku’ dan keluarganya yang hidup di masa kolonial,

menyiratkan pandangan Pinto akan sejarah yang terus berlangsung di Sawahlunto: yaitu sejarah penindasan yang terus berlangsung di satu sisi dan sejarah perlawanan yang juga masih berlangsung di hari ini di sisi lainnya. Dengan menggali dan membangun narasi sejarah sendiri, mereka ingin orang-orang tau bahwa sejarah, dalam dua arti tadi, masih terus berlangsung.

Membaca cerpen ini akan membawa kita pada suatu cara pandang terhadap sejarah Sawahlunto: bahwa kota itu dan sejarahnya tidaklah statis seperti tergambarkan dalam foto-foto kolonial atau produk kebudayaan kontemporer seperti musik, fotografi, atau karya rupa, bahkan dalam beberapa karya sejarah akademik sekalipun.

Sebaliknya, dengan menghubungkan dua tokoh ‘Aku’ yang berasal dari dua kurun sejarah yang berbeda, kita seperti diingatkan bahwa sejarah terus berlangsung di Sawahlunto. Masa lalu dan masa depan tak sepenuhnya terputus, termasuk tradisi protes dan perlawanan. Tak ada masyarakat yang statis: ia mungkin untuk diubah dan berubah. (*)

Judul Buku: Kumis Penyaring Kopi: Kumpulan Cerita Pinto Anugrah.

Penulis: Pinto Anugrah.

Penerbit: Kalaka

Tahun: 2019

Halaman: 105

ISBN: 978-602-53923-0-6

[1] Mengenai istilah ‘anak kolong’ silakan lihat ulasan soal Kamus Bahsa Tansi ini. ‘Anak kolong’ merujuk pada para bekas pekerja paksa yang telah habis masa hukumannya, namun tidak punya tempat pasti di masyarakat.

Open chat
1
Scan the code
Helpdesk
Halo 👋
Ada yang bisa kami bantu?