(Penulis: Gusnaldi)

Lengang. Itulah kata yang pas menggambarkan stasiun kereta api bernama Pulau Air, dalam sepotong siang, Minggu (12/11/2023). Stasiun Pulau Aie/Pulo Aie atau pada zaman kolonial dikenal dengan sebutan Station Poeloe Ajer yang telah ada sejak 1891 itu, telah ditetapkan menjadi cagar budaya dengan No. Inventaris 69/BCBTB/A/01/2046, yang berada di Jl. Pulau Air, Kelurahan Palinggam,  Padang Selatan, Kota Padang.

Sepasang anak muda, duduk bergandengan, di kursi ruang tunggu stasiun tersebut. Tak jauh, ada pula 5 calon penumpang lain, saling berjarak. Mereka hendak ke bandara. Bandara Internasional Minangkabau (BIM), tepatnya. Terletak di Ketaping, Batang Anai, Padang Pariaman.

Di luar, matahari agak redup. Seredup suasana stasiun kereta itu. Dan, jangan berpikir seperti Stasiun Gambir, Kliwon Solo atau Tugu Yogyakarta, yang selalu sibuk dengan lalu lalang penumpang, silih berganti, dan bunyi klakson kereta tiada henti. 

Calon penumpang itu, yang kemudian diketahui bernama Fitri (30) dan Eri (34), mengaku hendak pergi ke Jakarta.

“Sebenarnya, bisa saja naik di Stasiun Simpang Haru karena kita tinggal di Andalas. Tapi, ingin coba saja naik di Stasiun Pulau Air ini. Apalagi, kita barusan pula beli oleh-oleh dekat sini. Ya, tadi diantar keluarga,” ujar Fitri.

Nampaknya, mereka sepasang suami-istri. Tapi, tak perlu pulalah ditanyakan. Yang jelas, mereka naik kereta itu, bergerak mulai dari Kota Tua, yang sebahagian bangunan bersejarah di kawasan tersebut, dibiarkan merana, lapuk tak terurus.

Hanya saja, mereka tak tahu kalau stasiun dengan rel kereta yang membentang jauh itu, memiliki sejarah dan cerita yang hebat.

“Ya, yang kita tahu tentang Stasiun Pulau Air ini, yakni stasiun yang telah lama mati, kemudian dioperasikan kembali,” sambung Eri.

Tak lama, dari kejauhan terdengar bunyi klakson kereta. Semakin dekat, semakin kencang. Dan, gerbong kereta Minangkabau Ekspres pun terlihat. Berjalan pelan, hingga berhenti di stasiun tersebut.

Hanya 4 penumpang yang turun. Tak lebih. Satunya lagi petugas, yang terlihat dari seragam yang dia pakai. 

Berselang sesaat, 7 calon penumpang yang tadinya menunggu di stasiun, pun menaiki kereta. Tak pakai antre lama-lama, sekitar pukul 13.25 WIB, sesuai jadwal, kereta “Hijau-Putih” itu pun beringsut kembali meninggalkan Pulau Air dengan membunyikan klakson kas kereta, tentunya.

Kereta Minangkabau Ekspres kemudian melaju menuju Tarandam, Simpang Haru, Alai, Air Tawar, Tabing, Duku, dan terakhir di BIM. Di stasiun-stasiun tersebutlah, kereta menaikkan dan menurunkan penumpang.

Untuk diketahui, dari Pulau Air, kereta berangkat pertama pukul 06.05 WIB. Berikutnya pukul 08.45, 11.10, 13.25, 15.40 dan terakhir pukul 17.55 WIB. Ada enam kali keberangkatan, begitu juga dari BIM. Waktu tempuh sekitar 1 Jam.      

 “Ya, beginilah. Setiap hari paling hanya 2 atau 3 penumpang yang berangkat dari sini. Mungkin, Sabtu dan Minggu, sedikit lebih banyak, paling banyak 10 orang,” kata Jet Mulyadi, seorang petugas Stasiun Pulau Air.

Menurut Jet, memang perlu terobosan agar stasiun Pulau Air ini jadi ramai. Misalnya, selain ke bandara sebaiknya juga ada rute ke Pariaman. Sayangnya, kereta Sibinuang atau Pariaman Ekspres, belum singgah di sini.

Disinggung minat masyarakat untuk mengetahui bahwa stasiun itu memiliki sejarah panjang nan hebat, Jet menyebut bahwa hal itu memang harus diedukasi ke masyarakat luas. “Seperti apa bentuknya, toh mungkin banyak pihak dan lembaga  berkompeten yang mesti bicara tentang hal ini. Yang jelas, di Stasiun Pulau Air ini juga ada semacam ruang edukasi. Dipajang foto-foto lama dan aktivitas tempo dulu tentang stasiun ini,” sebut Jet.    

Ya, seperti diketahui, Stasiun Pulau Air ini baru kembali dioperasikan sejak 2021 lalu, setelah 44 tahun mati atau terakhir beroperasi pada 1977. Dioperasikan oleh PT Kereta Api Indonesia Divre II Sumbar, kereta menuju BIM dan sebaliknya. Sebelumnya, bangunan stasiun ini terlihat lapuk, tak terurus. Besi rel yang berkarat, ada yang hilang entah ke mana. Munculnya bangunan liar, semak belukar, dan pemandangan miris lainnya di sepanjang aset negara yang bernilai sejarah tersebut.

Tertua di Sumatera

Dikutip dari buku “Sejarah Perkeretaapian Indonesia”, ternyata Stasiun Pulau Air adalah bagian dari jaringan kereta api pertama di Pulau Sumatra. Jaringan tersebut selesai dibangun pada 1891 oleh Sumatra Staatspoorwegen, jawatan kereta api milik pemerintahan Hindia Belanda di Sumatra. 

Mega proyek ini juga tak terlepas dari prakarsa Ahli Tambang Belanda Ir. Willem Hendric de Greeve, sekaligus penemu batu bara Ombilin-Sawahlunto pada 1868, dibangun dari Pulau Air membentang hingga Padang Panjang, berjarak 71 kilometer. Jalur tersebut berlanjut ke Kota Bukittinggi sejauh 90 kilometer.

Pembangunan jalur kereta yang penuh tantangan ini, pun berkat kelihaian seorang insinyur tambang lainnya bernama Ijzerman, maka dilanjutkanlah rute Padang Panjang-Solok (53 Km) selesai pada 1892. Lalu, Solok-Muaro Kalaban (23 Km). Berikutnya, jalur kereta dari Muaro Kalaban-Sawahlunto dengan menembus sebuah bukit berbatu yang kemudian bernama Lubang Kalam sepanjang hampir 1 Km (835 meter), selesai pada 1894. Sementara jalur kereta dari Lubuk Alung dan berakhir di Pariaman, rampung pada 1908 dan dilanjutkan menuju Naras dan Sungai Limau, selesai pula pada 1911.

Cerita tentang jalur kereta lain di Ranah Minang, tentu tak bisa pula dilepaskan tanpa kehadiran jalur Indarung-Bukit Putus, yang selanjutnya menuju Stasiun Teluk Bayur dan Silo batu bara Bukit Asam. Pembangunan jalur ini  dilatarbelakangi oleh menurunnya produksi tambang batu bara Ombilin pada sekitar 1970-an, sehingga untuk mempertahankan eksistensi perusahaan ini, PJKA Eksplotasi Sumatera Barat menjalin kerjasama dengan PT Semen Padang untuk pengangkutan semen dengan kereta. Jalur ini selesai dibangun dan diresmikan pada 16 November 1979 oleh Kementerian Perhubungan saat itu, Roesmin Noerjadin. Sebelumnya semen diangkut ke Teluk Bayur menggunakan lori gantung sejak pabrik Semen Padang tersebut dibangun tahun 1910 oleh Hindia Belanda. 

Yang jelas, dibangunnya jaringan kereta api di Sumbar, tak terlepas dari adanya penemuan tambang batu bara di Ombilin, Sawahlunto pada 1868 dan baru dilakukan tambang terbuka pada 1890. Jalur tersebut selain digunakan untuk mengangkut batu bara, sekaligus juga untuk mengangkut hasil pertanian dan perkebunan serta penumpang menuju Pelabuhan Muaro dan Emmahaven yang berada di Kota Padang. Kala itu, kereta api menjadi moda transportasi tercepat yang menghubungkan antar kota untuk mengangkut hasil bumi.

Sekilas Tambang Ombilin

Tambang batu bara Ombilin merupakan perusahaan pertambangan batu bara tertua di Indonesia, bahkan Asia Tenggara, karena aktivitasnya sudah dimulai sejak 1868 di masa pemerintahan Kolonial Bendala, saat ditemukan pertama kali oleh Willem Hendric de Greeve. Pada 1891 dimulai penggalian di lubang bukaan dengan cadangan batu bara, sekitar 205 juta ton yang tersebar di sejumlah kawasan di  Sawahlunto. 

Awalnya, Pemerintah Hindia Belanda mempekerjakan narapidana sebagai buruh tambang. Baru kemudian pada 1950 hingga 1958, tambang tersebut berada di bawah pengawasan Direktorat Pertambangan. Lalu, 1958 hingga 1961 dilanjutkan oleh Biro Umum Perusahaan Tambang Negara, dan pada 1961-1968 diteruskan oleh Badan Pimpinan Umum Tambang Batubara. Selanjutnya sejak 1968 hingga 1990 tambang Ombilin berada di bawah Perusahaan Umum Batu Bara, dan per 30 Oktober 1990 maka perusahaan tersebut bergabung dengan PT Tambang Batu Bara Bukit Asam dan menjadi PT BA Unit Pertambangan Ombilin.

Hanya saja, karena kian menipisnya cadangan batu bara pada unit pertambangan tersebut, akhirnya PT BA memutuskan tambang tersebut resmi berhenti beroperasi pada 2019.

Ya, apapun itu, Sawahlunto dengan kepingan mutiara hitamnya, telah tercatat menjadi sejarah hebat di dinding negeri ini. Dalam berbagai literatur disebutkan, pada 1 Desember 1888, Pemerintahan Hindia Belanda mengeluarkan keputusan tentang batas-batas ibukota Afdeeling. Pemerintahan itu setingkat dengan kabupaten pada masa kolonial Belanda. Pada 1 Desember inilah kemudian dijadikan sebagai ulang tahun Kota Sawahlunto, sampai sekarang.

Lalu, pada 1887 diperkirakan Sawahlunto mulai menjadi daerah permukiman, ketika Belanda menanamkan modal sebesar 5,5 juta gulden untuk realisasi konsensi tambang batu bara. Dibangunanlah berbagai infrastruktur, sehingga waktu itu Sawahlunto lebih berfungsi sebagai pusat eksploitasi komoditi daerah sekitarnya dan sebaliknya juga dijadikan sebagai tempat pemasaran hasil industri Belanda atau negara Eropa lainnya.

Kendatipun banyak cerita kelam dalam sejarah perjalanan tambang batu bara Ombilin tersebut, yang salah satunya seperti pembangunan lubang tambang yang kemudian dikenal dengan “Lubang Mbah Suro” dengan mempekerjakan secara paksa tahanan yang dirantai (dikenal pula dengan sebutan ‘orang rantai), namun tetap saja hal itu menjadi edukasi berharga pada generasi hari ini. 

Sementara untuk memasok kebutuhan makanan pekerja tambang, dibuatlah dapur umum yang dibangun pada 1918. Dapur umum itu juga bertanggungjawab pada ketersediaan makanan pasien rumah sakit di Sawahlunto.

Banyak orang dipekerjakan di dapur umum ini termasuk juga anak-anak. Bangunan dapur umum itu terbilang luas dengan alat masak raksasa. Untuk mendukung proses penyediaan makanan, dapur umum ini dilengkapi dengan peralatan masak paling modern di masa itu. Bahkan di awal abad 20, perlengkapan dapur modern di Sawahlunto menjadi yang pertama ada di Indonesia. Kini, dapur umum tersebut telah berubah fungsi menjadi Museum Goedang Ransoem. 

 Banyak bangunan tua peninggalan kolonial semasa kejayaan tambang batu bara Ombilin ini. Semuanya bernilai sejarah tentunya. Ya, selain Goedang Ransoem, ada “Gluck AuF” yang kini dikenal dengan Gedung Pusat Kebudayaan Sawahlunto, dibangun pada tahun 1910. Memiliki luas 870 meter persegi. Dahulunya gedung ini berfungsi sebagai gedung pertemuan (societeit). Dimana para pejabat pemerintah kolonial pertambangan berkumpul untuk menghibur diri. Selain itu, gedung ini juga disebut dengan Gedung Bola, oleh karena pada salah satu sisi propertinya menjadi sebagai tempat bermain olahraga boling dan biliar bagi para pejabat Belanda.

Peninggalan lain, tentu terkait situs dan Kota Tambang Sawahlunto (Sawahlunto mining site and company town), yang meliputi Kota Sawahlunto dengan tambang terbuka dan jaringan tambang yang disokong dengan fasilitas pengolahan batu bara dan berbagai fasilitas kota tambang yang lengkap di sana.

Kemudian, karena batu bara, ada jaringan infrastruktur perkeretaapian (railway facilities and engineering structures), seperti yang telah disinggung di awal tulisan ini. Jalur kereta itu membentang jauh, meliputi Kota Sawahlunto, Kabupaten Solok, Kota Solok, Kabupaten Tanah Datar, Kota Padang Panjang, Kabupaten Padang Pariaman, dan Kota Padang. Jaringan kereta api teknik tingkat tinggi yang terdiri dari rel gigi, jembatan dan terowongan yang menghubungkan lokasi tambang hingga pelabuhan, membentang sepanjang 155 kilometer di medan pegunungan yang sulit.

Berikutnya, fasilitas Gudang Batu Bara di Pelabuhan Teluk Bayur atau Emmahaven (Coal Storage Facilities at Emmahaven Port) di Kota Padang, di pantai Samudera Hindia, sebagai tempat memuat batu bara yang akan dikapalkan ke seluruh wilayah belanda dan wilayah Eropa lainnya.

Jadi Warisan Dunia

Tentang ceritanya, entah luka atau bahagia yang didapat rakyat masa itu, yang jelas jejak-jejak sejarah batu bara nan mendunia itu, terhidang dan masih terpancang tidak hanya di Sawahlunto, tapi terletak di berbagai daerah di Sumatera Barat, hingga kini. Dan, fakta itu pulalah kemudian yang dengan gigih diperjuangan Pemerintah Indonesia, Pemprov Sumbar, Pemko Sawahlunto dan lembaga/pihak terkait lainnya ke pihak UNESCO, agar Warisan Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto (WTBOS) dijadikan sebagai warisan dunia. 

Lelah pun berbuah hasil. Akhirnya penetapan WTBOS berlangsung dalam Sidang World Heritage Committee (WHC) atau Komite Warisan Dunia ke-43 di Kota Baku, Azerbaijan, Sabtu (6/7/2019). Dengan ditetapkannya WTBOS sebagai warisan dunia, artinya Indonesia telah memiliki lima warisan dunia kategori kebudayaan. Sebelumnya, ada Kompleks Candi Borobudur (1991), Kompleks Candi Prambanan (1991), Situs Manusia Purba Sangiran (1996), dan Lanskap Budaya Provinsi Bali; Sistem Subak sebagai Manifestasi dari Filosofi Tri Hita Karana (2012).

WTBOS jadi warisan dunia, sebuah anugerahkah? Entahlah! Yang jelas, saat predikat itu didapat, semua pihak merasa senang, bahagia bukan kepalang. Maka, berketuntanglah ucapan selamat dan pariwara di media mainstream dan media sosial. Tak ada yang salah.  

Ya, situs warisan dunia adalah situs budaya dan/atau alam dengan nilai universal yang luar biasa. Melampaui batas-batas negara dan penting bagi generasi hari ini dan mendatang. Namun, perlu diingat, status warisan dunia merupakan penghargaan tinggi yang ‘wajib’ disertai dengan tanggung jawab karena berada dalam pengawasan internasional.

Terhadap hal ini,  Dirjen Kebudayaan, Kemdikbud, Hilmar Farid, sejak awal-awal telah mengingatkan hal ini. Bahkan saat jumpa pers soal penetapan Ombilin ini sebagai warisan dunia di Museum Nasional, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Minggu (7/7/2019), dia menyebut, jika pemerintah RI salah kelola, status warisan dunia pun bisa hilang.

“UNESCO melalui kewenangannya, bisa memberikan evaluasi terus menerus terhadap cara kita mengelola. Dia punya mekanisme. Seandainya kita tidak pintar mengelolanya, banyak menyalahi aturan dan segala macam, bisa masuk in dangerous list,” ujar Hilmar Farid, seperti dikutip detikcom.

Jika Indonesia tidak tepat mengelola kawasan tersebut, WTBOS dapat dicoret dari daftar warisan budaya dunia. Hal tersebut diingatkan Hilmar sebagai konsekuensi besar yang bisa dihadapi.

Duh!

Aktivasi Ombilin

Dan, kegamangan itulah yang kini terjadi. 

“Ya, bila tak diaktivasi, bisa-bisa status Situs Warisan Dunia Ombilin ini dicabut oleh UNESCO,” tegas Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah III Provinsi Sumbar, Undri, Rabu (18/10/2023) dalam konfrensi pers pelaksanaan Festival Gelanggang Arang. 

Kata Undri, seperti diwartakan Singgalang, UNESCO sudah mengirimkan sebanyak 16 catatan. Secara perlahan, hal itu akan dilaksanakan, sehingga Ombilin tetap menjadi situs warisan dunia.

Sudah empat tahun Ombilin menyandang status bergengsi ini. Bila status itu dicabut, sangatlah merugikan. “Ini terkait marwah. Bukan Sumbar saja yang malu, Indonesia juga malu, masyarakat dunia juga malu,” ujar Undri.

Ya, sudahlah! Kini, apa yang bisa dilakukan?

Benar. Kemdikbudristek melalui Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Ditjen Kebudayaan, telah meneggelar festival, “Gelanggang Arang” namanya. Ini untuk memobilisasi atau menghidupkan kembali situs warisan dunia Ombilin tersebut. Menyatukan kembali berbagai elemen masyarakat yang tak hanya di Sawahlunto, tapi yang ada dalam jalur kereta api yang membawa mutiara hitam tersebut. Bentuk-bentuk kegiatan seperti jelajah stasiun, kaba rupa berupa instalasi seni rupa, instalasi musik, seminar, pembuatan vlog, film dokumenter dan lainnya, tentu didalamnya bermuatan seni, budaya, wisata, hingga ilmu pengetahuan, guna mengaktivasi warisan dunia dimaksud.

Gelanggang Arang yang dimulai di Padang pada 19 Oktober 2023 dan ditutup di Solok pada 16 Desember 2023, yang sebetulnya dirancang dalam cerita bersambung, namun ada kekhawatiran, sesudahnya (akan) hening begitu saja. Seperti hening sepanjang rel Padang Panjang-Solok, atau Solok-Muaro Kalaban, yang tak lagi dihinggapi gerbong kereta. Soalnya, upaya menjaga warisan dunia, bukan tentang cerita (cinta) semusim. Harus ada keberlanjutan. Berpikir jauh untuk generasi ke depan. 

Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu dikunyah-kunyah.

Pertama, berpikirlah kembali tentang pembentukan Badan Pengelola Warisan Dunia Ombilin ini. Awal-awal sempat mengapung, tapi kini redup lagi.

Terserah apa namanya. Pokoknya ada lembaga khusus dengan anggaran dan kegiatan yang jelas dari pemerintah. Bukankah Borobudur sudah punya Badan Otoritas Borobudur atau Sangiran ada pula Balai Pelestarian Situs Manusia Purba (BPSMP) Sangiran, yang mengelolanya?

Jujur sajalah, tak perlu pula awak sok-sok hebat. Dan, katakan, bahwa bicara aktivasi sebetulnya juga soal anggaran. Tak mungkinlah, saat kegiatan berlabel warisan dunia, lalu anggarannya tenteng proposal sana-sini. Janganlah! 

Lalu, apakah beban ini hanya akan ditanggung Pemko Sawahlunto? Tentu tidak. Terpekik Sawahlunto nanti. Juga tidak pula menjadi beban Pemprov Sumbar semata, tentunya. Karena ini sudah menjadi warisan dunia, maka atas nama Pemerintah Indonesialah yang paling bertanggungjawab. Dipersamakan iya, tapi sekali lagi, bukan hanya menjadi beban daerah.      

Kedua, Pemko Sawahlunto tetaplah jadi ‘tuan rumah’. Karena alur ceritanya berawal dari sana. Untuk itu, buatlah kegiatan yang meriah, minimal sekali setahun bertajuk “Ombilin Warisan Dunia”. Agendakan kegiatan-kegiatan yang semuanya bersentuhan dengan kisah-kisah cerita suka maupun duka tentang tambang tersebut, cerita lama maupun dampak yang dirasakan hari ini. Mulai dari seminar dan sejenisnya, aksi panggung seni budaya, teaterikal, aksi sosial, kunjungan lapangan dan lain sebagainya.

Terlepas dari kegiatan tersebut, gaungnya tentu tak boleh sekali setahun saja, tapi bagaimana setiap organisasi pemerintah daerah (OPD) terkait di Sawahlunto, pun punya kegiatan yang dianggarkan melalui APBD, yang bersentuhan untuk menjaga warisan dunia dimaksud. Baik dari sisi seni budaya, sejarah hingga sosial ekonomi.

Ketiga, edukasi tak bertepi. Maksudnya, warisan dunia Ombilin ini kisahnya, sejarahnya, pendidikannya, harus terpogram dengan rapi. Artinya, WTBOS harus ada dalam kurikulum pada lembaga pendidikan khususnya di Sumbar, mulai dari jenjang SD hingga perguruan tinggi. Kalau selama ini sudah ada, mungkin, baru menyinggung sekilas tentang sejarah batu bara ombilin Sawahlunto, belum lagi menukik ke arah warisan dunianya.

Cobalah berembuk yang namanya pakar sejarah, Masyarakat Sejarah Indonesia (MSI) Sumbar, atau entah apalah nama organisasinya. Pastikan pada muatan lokal pada jenjang SD, harus (wajib) ada pembahasan materi tentang warisan dunia ini. Kapan perlu revisi lagi buku literasi Budaya Alam Minangkabau (BAM) itu. Materi harus diikuti dengan kunjungan lapangan, itu akan jauh lebih baik. Lalu pada pelajaran-pelajaran Sejarah atau IPS di tingkat SMP dan SMA sederajat, pun tetap pula ada muatan terkait.

Berikutnya, ini yang tak kalah penting juga, yakni mengadakan mata kuliah (akan lebih bagus sebagai mata kuliah wajib) pada setiap Program Studi Ilmu Sejarah pada perguruan tinggi yang ada di Sumbar. Sebut saja nama mata kuliahnya “Ombilin Warisan Dunia”, atau nama lain. Dan, Prodi Ilmu Sejarah Unand harus menjadi pioneer dalam hal ini. Bagaimana?    

Ya, begitulah. Bila nilai-nilai edukasi tentang warisan dunia itu telah tertancap pada setiap generasi, percayalah, akan selalu ada cerita di balik Lubang Mbah Suro atau bangunan tua di Sawahlunto serta gerak kereta yang melaju di rel tua. Seperti Fitri dan Eri serta penumbang lainnya yang dibawa Minangkabau Ekspres menuju bandara, tentu punya cerita pula. Entah tentang cerita cinta, yang membentang hingga jauh, menembus peradaban ke masa depan.    

Berceritalah tentang warisan dunia itu. Selalu! Bukan semusim saja. Ternyata, sejarah itu indah! (*)     

Foto: Dokumentasi Ombilinheritage.id

Open chat
1
Scan the code
Helpdesk
Halo 👋
Ada yang bisa kami bantu?