Bahasa Tansi adalah salah satu Warisan Budaya Takbenda Indonesia (WBTI) asal Sumatera Barat.  Ia adalah percampuran dari berbagai bahasa, mulai dari bahasa Minang, Jawa, Cina,  Sunda, Bugis, Bali, Batak, Madura, hingga Belanda, dengan bahasa Melayu sebagai bahasa dasarnya.

Ditetapkan sebagai WBTI pada 2018 lalu, bahasa Tansi adalah ‘temuan’ Elsa Putri Ermisah Syafri. Lewat disertasinya tentang bahasa Tansi, Elsa menempatkan bahasa Tansi di luar bagian dari bahasa Melayu ataupun bahasa Minangkabau. Berkat penelitiannya, kita tahu ada yang namanya bahasa Tansi, dengan segala keunikannya,  yang lahir dan muncul dari situasi sejarah yang khusus dan spesifik.

Bahasa Tansi berbeda dari bahasa kreol di tempat lain. Jika bahasa kreol umumnya muncul untuk melancarkan aktivitas perdagangan di kota-kota bandar di pesisir, bahasa tansi muncul di pedalaman sebagai akibat langsung dari industri tamban batubara kolonial di Ombilin.

Elsa kemudian membuatkan kamus bahasa tansi. Dibantu para staf Museum Goedang Ransoem, linguis kelahiran Sawahlunto ini menghimpun berbagai macam kata dalam bahasa Tansi  melalui serangkaian FGD dengan masyarakat penutur bahasa Tansi. Elsa juga mengambil data dari bahasa Tansi yang masih tersimpan dalam dialog-dialog seni pertunjukan Tonil. Data-data ini melengkapi data yang telah dihimpunnya selama meneliti dan menulis disertasi tentang bahasa Tansi.

Dicetak pertama kali pada 2009, Kamus Bahasa Tansi Sawahlunto, berisi kurang lebih 570-an entri, dari A hingga Z. Setiap entri, atau setiap kata, tidak hanya dijelaskan pengertian dan bagaimana pengucapannya. Kamus ini juga menjelaskan ciri gramatikal, daerah penggunaan, serta subdialek bahasa Tansi.

Tapi elsa tak berhenti di sana. Tak kalah pentingnya, Elsa juga menjelaskan kondisi sosiokultural dan sejarah Sawahlunto yang melatari beberapa frasa di kamus ini. Anotasi secaman ini akan sangat membantu pembaca untuk memahami konteks sosiokultural dan historis di balik Bahasa Tansi.

Salah satunya contohnya adalah lema ‘anak’ (hal. 39). Selain menjelaskan anak dalam pengertian umum, Elsa juga mencantumkan frasa ‘anak jawi’ dan ‘anak kolong’.

‘Anak jawi’  adalah “pasangan sesama jenis bg buruh tambang yg lebih kuat dan berani, wajahnya lebih tampan, biasanya akan dilindungi dan segala pekerjaannya akan dibantu si pemilik pasangan, dirinya harus selalu siap melayani pasangannya sekalipun di lobang tambang, dan keberadaannya selalu menjadi rebutan (pemicu perkelahian).”

Jika ditelisik lebih jauh, ‘anak jawi’ adalah ungkapan yang lahir dari kelamnya industri batubara kolonial yang hanya punya satu tujuan: maksimalnya hasil tambang. Di masa-masa awal penambangan, terciptalah apa yang disebut Erwiza Erman (1999) sebagai “komunitas tambang”. Ini adalah komunitas yang sepenuhnya dirancang untuk memaksimalkan produksi batubara dengan struktur sosial yang hierarkis dimana “kekerasan tak pandang bulu” menjadi salah satu elemen pentingnya. Di puncak komunitas ini, bercokol para Tuan dan Nyonya Eropa, dengan para Indo di bawahnya, dan para buruh di lapisan paling bawah.

Pada masa-masa awal ini, bisa dikatakan tak ada perempuan dalam komunitas tambang. Meski secara upah mereka lebih murah, namun kehadiran perempuan dianggap hanya akan menghambat produksi batubara.[1] Dalam situasi itu, ‘anak jawi’ mengalami semacam perbudakan ganda. Selain diperbudak sebagai pekerja, juga diperbudak oleh pekerja lainnya yang lebih kuat dan berkuasa. Dan semua itu dimungkinkan oleh struktur komunitas tambang bikinan kolonial yang hirarkis tersebut.

Selain ‘anak jawi’, Elsa juga menambahkan frasa ‘anak kolong’. Tapi ‘anak kolong’ di Sawahlunto punya pengertian berbeda dengan frasa serupa di daerah lain. Jika di tempat lain ‘anak kolong’ biasanya berarti anak tentara, kondisi sosiokultural dan historis yang spesifik di Sawahlunto melahirkan istilah ‘anak kolong’ dengan dua pengertian yang berbeda pula satu sama lain.

‘Anak kolong’ dalam pengertian pertama adalah “anak-anak buruh tambang yg ketika tidur selalu di bawah tempat tidur orang tua mereka krn tansi (setelah merdeka digunakan sbg  rumah bg buruh tambang) terlalu kecil untuk para buruh dan keluarga mereka.

Sedang ‘anak kolong’ dalam pengertian kedua adalah “buruh tambang yg telah habis masa hukumannya, kemudian menikah, dan tinggal di kolong (umumnya rumah-rumah masyarakat Swl memiliki urang di belakang bawah rumah yg berfungsi sbg dapur dan kamar mandi) rumah masyarakat krn selepas menjadi buruh mereka memilih keluar dr tansi dan upah mereka selama menjadi buruh telah banyak digunakan untuk biaya pernikahan shg tidak mampu menyewa rumah yg lebuh bagus” (hal. 40).

Dengan penjelasan sosiokultural dan historis yang spesifik seperti ini, tampak jelas bahwa bahasa Tansi lahir dari suatu tatanan sosial dan ekonomi yang tidak adil, bahkan memusuhi para buruh tambang. Jika ada yang sejahtera, maju dan modern, berkat industri tambang kolonial, para anak jawi, anak kolong, dan buruh tambang umumnya bukanlah orangnya.

Dan jika kita runut hingga hari ini, maka akan tampak bahwa tatanan sosial ekonomi itu belum berubah. Rumah-rumah kecil yang berdempetan di kawasan tansi hari ini adalah rumah-rumah yang sama yang didirikan kolonial seabad yang lalu. Modernitas dan segala kesan bagus-bagus yang ditempelkan pada industri batubara kolonial dan jaringan kereta apinya, jelas tak berarti apa-apa bagi orang tansi.

Adanya keterangan pendamping di kamus ini, juga bisa dilihat sebagai suatu upaya Elsa untuk menjaga Bahasa Tansi dari  kecenderungan akhir-akhir ini yang berpretensi mencerabut produk-produk budaya multikultur di Sawahlunto dari  konteks sejarahnya, yaitu sejarah kolonialisme yang tak terpisahkan dari perbudakan dan penindasan. Pencerabutan seperti itu tidak hanya dapat membuat produk-produk multikultur seperti Bahasa Tansi tampak sebagai sesuatu yang a-historis,  ia juga bisa membuat bahasa Tansi seolah-olah tampak sebagai hasil dari suatu proses sejarah yang wajar, alamiah, dan biasa saja.

Dalam kamus ini, pembaca akan menemukan banyak frasa bahasa Tansi yang dilengkapi penjelasan tentang konteks sosiokultural dan historis seperti di atas tadi. Membaca kamus ini, juga bisa sekalian belajar sejarah Sawahlunto–tapi bukan sejarah versi para elitnya beserta dunia kolonial mereka yang megah dan modern itu, melainkan sejarah orang-orang kecil yang dibangun dan disebarkan oleh orang orang-orang kecil itu sendiri. Dengan kata lain, dengan membaca kamus ini kita juga bisa belajar soal sejarah dari bawah Sawahlunto.

Bahasa Tansi dan Narasi Sejarah dari Bawah

“Apapun bentuk bahasa, dalam ruang sosio-kultural, ia merupakan sebuah perilaku budaya yang didasari oleh kondisi material penuturnya, beserta sekalian sejarah mereka sebagai refleksi dari human experience”.

Demikian kata pengantar Agus Hernawan, suami Elsa, di Kamus Bahasa Tansi Sawahlunto. Hernawan kemudian menjelaskan latar sejarah lahirnya bahasa tansi. Bahwa ia adalah “sejenis bahasa ‘produk’ kolonial; bahwa ia adalah  bahasanya kaum “paria”, bahasa yang dituturkan para buruh tambang yang didehumanisasi, “dijadikan separuh manusia oleh sistem kolonial yang menindas, rasis, dan eksploitatif”; dan bahwa ia lahir sebagai akibat politik dan “pemiskinan struktural.”

Kata Pengantar itu, seperti kamusnya sendiri, ditulis pada 2009. Ini adalah masa-masa ketika literatur-literatur tentang sejarah Sawahlunto bersama tambang batubara, dan jaringan rel kereta apinya, telah tersedia dengan cukup banyak.

Elsa sendiri menyebut beberapa literatur sejarah yang dirujuknya guna menjelaskan latar sejarah dari beberapa frasa dalam kamusnya. Literatur-literatur ini adalah karya para pelopor penulisan sejarah Sawahlunto secara akademik, mulai dari karya Zaiyardam Zubir hingga Erwiza Erman.

Dua sarjana sejarah tersebut  cenderung mendekati sejarah Sawahlunto dan industri tambang kolonialnya, dari sudut pandang buruh. Keduanya juga memberi perhatian besar pada cara-cara kerja kolonialisme: bagaimana kolonialisme beroperasi demi memaksimalkan produksi batubara dengan buruh tambang sebagai korban pertamanya.

Tahun 2009 juga bisa dilihat sebagai masa-masa menguatnya narasi sejarah dari bawah di Sawahlunto. Ketika itu 3 museum telah berdiri di Sawahlunto dengan sebagian staf berasal dari keturunan orang rantai, sebagian lagi lahir dan besar di Sawahlunto. Sejak 1970-an, mereka telah mulai menggali sejarahnya sendiri. Mereka mulai memetakan dan mewawancarai para pelaku sejarah, dan mulai membangun narsi sejarahnya sendiri terutama untuk melawan narasi kolonial yang menyebut orang-orang rantai sebagai kriminal.

Elsa sendiri juga menyebut “para staf Museum Goedang Ransoem” sebagai pihak yang berperan besar dalam proses pengumpulan data untuk kamusnya. Dari keterangan Elsa itu, ada kesan kuat bahwa para staf itu sudah terbiasa dan terlatih meneliti.

Ketika peneliti seperti Erziwa Erman datang ke Sawahlunto pada pertengahan 1990a-an, para ‘sejarawan lokal’ itu telah menyiapkan segala sesuatunya. Mereka menjadi guide yang betul-betul hafal medan. Mereka tahu siapa-siapa yang harus diwawancara oleh para peneliti (dan tentu saja di saat yang sama, mereka mencoba mengabaikan satu atau dua narasumber yang mereka nilai tidak valid).  Mereka juga ‘menggiring’ pada peneliti untuk memperkuat narasi yang telah mereka bangun sebelumnya yang mulai mereka hamparkan di museum-museum  pemerintah, terutama untuk merehabilitasi dan memanusiakan kembali orang rantai. Bahwa mereka pada dasarnya adalah korban dari kebijakan kolonial, bukan sepenuhnya kriminal haus darah.

Dan ini bukanlah semacam praktek manipulasi sejarah. Semua sejarawan berpikiran adil dan objektif, akan sampai pada kesimpulan yang sama ketika mempelajari sejarah kolonialisme di Sawahlunto.

Pemahaman Hernawan atas latar sejarah bahasa Tansi, dan sejarah Sawahlunto itu sendiri, sebagaimana tampak dalam kata pengantarnya di Kamus Bahasa Tansi Sawahlunto, serta cara Elsa memandang sejarah kota tempatnya lahir, adalah bagian panjang dari proses terbentuknya sejarah dari bawah di Sawahlunto.

Dan narasi sejarah dari bawah itu terus hidup dan dituturkan ulang. Di museum-museum, di mural-mural dan patung, di artikel-artikel dan publikasi ilmiah. Umurnya yang panjang, serta daya tahannya yang luar biasa, bukanlah karena narasi sejarah itu semacam ‘kebenaran mayoritas’ yang kebenarannya tergantung pada jumlah orang yang mempercayainya. Lebih dari itu, ia memanglah kebenaran sejarah dimana setiap penelitian yang objektif akan bermuara, dimana setiap pembaca dan pendengar yang jujur akan sampai padanya.

dulu, begitu panjangnya kereta api

dari Teluk Bayur ke Sawahlunto

membawa tahanan dari Batavia ke Lobang Panjang

menjadi buruh paksa Belanda

menjadi budak yang hidup di tansi-tansi.

Demikian sajak karangan Nafila A. Agel, anaknya Elsa dan Hernawan yang dicantumkan dalam kamus tepat di halaman sebelum pembaca mendapati susunan ragam lema bahasa Tansi dari A hingga Z. Jika Hernawan dan Elsa memberi konteks sejarah bahasa Tansi secara eksplisit, maka Nafila mengingatkan kita semua dengan cara berbeda: bahwa bicara sejarah Sawahlunto, tambang, dan jaringan kereta apinya itu, berarti bicara perbudakan. Dan bahwa bicara bahasa Tansi juga berarti bicara tentang kereta api dan pelabuhan sebagai infrastruktur yang lahir dari dan untuk perbudakan.

Politik Bahasa Kolonial dan Dekreolisasi Bahasa Tansi

Di bagian akhir kamus ini ada epilog yang ditulis Elsa. Epilog ini barangkali adalah semacam kesimpulan ringkas disertasinya. Dibuka dengan uraian ringkas soal sejarah ‘Sawah Lunto’ yang dulu juga dikenal sebagai area persawahan bernama ‘Sawah Aru’, Elsa kemudian mengerucutkan tulisannya pada “Sejarah Masyarakat Tansi”, sejarah ringkas perkembangan masyarakat tansi dan tansi-tansi  itu sendiri dari bentuk tansi paling awal hingga perluasan-perluasannya, para buruh yang “menjalani kehidupan sosial yang timpang, yang selalu dalam pengawasan dan diwarnai kekerasan” (hal. 166).

Di tansi-tansi sempit itulah para buruh tambang dari berbagai latar etnis berinteraksi dan kemudian membentuk bahasa Tansi, yang selain digunakan untuk mengatasi jurang bahasa antara mereka sendiri, bahasa itu, seperti dikatakan Hernawan secara implisit dalam kata pengantarnya, juga bisa dilihat sebagai sebentuk perlawanan, upaya para buruh tambang yang didehumanisasi itu untuk kembali menjadi manusia dengan berbahasa dan melakukan interaksi sosial.

Setelah memberi konteks sejarah (juga konteks sosiokultural) munculnya bahasa Tansi, Elsa kemudian menjelaskan bagaimana bahasa itu berkembang dari bahasa yang ‘miskin’ kosakata menjadi bahasa yang lebih kompleks.

Dijelaskannya juga perbedaan mendasar antara bahasa kreol di Sawahlunto itu dengan bahasa kreol di tempat lain. Di samping ‘menyimpang’ dari kelaziman geografis munculnya bahasa kreol, dalam bahasa Tansi yang menjadi dasar bahasanya adalah bahasa Melayu. Hal ini berbeda dengan bahasa-bahasa kreol dari negeri-negeri terjajah lainnya yang menjadikan bahasa-bahasa Eropa sebagai bahasa dasarnya. Misalnya Kreol Karibia dan Tok Pisin di Papua New Guinea.

Ini berkaitan dengan politik bahasa kolonial yang menggunakan bahasa Melayu sebagai ‘bahasa pengantar’ di Hindia Belanda. Politik bahasa seperti itu turut memicu munculnya resistensi dari para buruh tambang yang sebagiannya adalah tahanan politik. “Politik bahasa di satu sisi, dan semangat resistensi di sisi yang lain, keduanya secara bersama ikut menyumbang bagi lahirnya bahasa Kreol Tansi” (171).

Meski Elsa melihat adanya “semangat resistensi” dalam bahasa Tansi, namun ia mewanti-wanti agar orang tidak buru-buru mengklaim semangat resistensi yang terkandung  dalam bahasa Tansi itu sebagai “kesadaran dekolonisasi”.

Bahasa Tansi juga bukan  salah satu dialek dalam bahasa Minangkabau, sebagian diklaim sebagian pihak. Menurut Elsa, hal tersebut mustahil, selain karena “tidak terbukti secara leksikostatistik dan dialektometri,” juga karena politik tata ruang kolonial di masa-masa awal penambangan. Para buruh tambang dari berbagai etnis itu, sebisa mungkin dipisahkan dari orang Minangkabau oleh Belanda, baik lewat pengawasan  dan paling penting dengan menempatkan tansi-tansi buruh tambang itu di lokasi khusus.

Elsa juga menggarisbawahi, bahwa bahasa Tansi bukan hanya sekedar ‘dialek’, ia juga dituliskan, punya ‘ragam’ tulis seperti tampak dalam naskah-naskah Tonil. “BT [bahasa Tansi] bukan semata ‘dialek'” kata Elsa, tapi sebuah ‘bahasa ibu’ bagi masyarakat Sawahlunto” (hal. 175).

Bagian-bagian akhir epilog digunakan Elsa untuk menunjukkan munculnya gejala dekreolisasi bahasa Tansi. Ia memetakan penggunaan bahasa Tansi secara geografis dan usia.

Secara geografis, penutur bahasa Tansi cenderung berkurang di daerah sekitar pusat kota (Pusat Kota Lama) Sawahlunto  dimana dialek bahasa Tansinya telah mendapat pengaruh besar bahasa Indonesia yang dijadikan bahasa pengantar di sekolah-sekolah.

Sementara itu, di kawasan Teras Kota Lama (TKLm), yang meliputi daerah seperti Sungai Durian, bahasa Tansinya masih asli dan belum begitu terpengaruh bahasa Indonesia. Namun, kata Elsa, bukan tidak mungkin bahasa Tansi yang masih bertahan di TKLm akan punah suatu hari nanti lalu digantikan bahasa lain.

Secara umur, posisi bahasa Tansi di kalangan penutur berusia  26-55 tahun, cenderung masih kuat. Namun di saat yang  sama, orang dengan rentan usia tersebut juga penutur bahasa Indonesia yang aktif. Merekalah yang paling berpotensi mentransmisikan penuturan bahasa Indonesia ke anak-anaknya sebagai ganti bagi bahasa Tansi.

Dalam konstelasi perbahasaan di Sawahlunto, bahasa Tansi tidak hanya harus mengimbangi bahasa Indonesia dan bahasa Minang, namun juga ‘bahasa gaul’ yang mulai digunakan generasi lebih muda.

Prediksi yang muram itu ditulis Elsa pada 2009. Bagaimanakah kondisi bahasa Tansi di 2020-an ini? Sejauh apa dekreolisasi menimpa bahasa Tansi? Penelitian lanjutan yang lebih segar tentang bahasa Tansi pastilah menarik dan patut ditunggu. (*)

Judul Buku: Kamus Bahasa Tansi Sawahlunto.

Penulis: Elsa Putri Ermisah Syafril

Tahun Terbit: 2009

Jumlah Halaman: 182

Penerbit: Pemerintah Kota Sawahlunto

ISBN: 978-602-95957-0-3

Catatan Kaki:

[1] Pengelola tambang mendatangan perempuan ke kawasan pertambangan pada 1903. Ketika itu 25 perempuan asal Jawa didatangkan khusus untuk para kuli kontrak. Rencananya akan dibentuk tansi khusus pekerja kontrak, lengkap dengan perempuan pendampingnya. Tapi rencana itu gagal. Tahun 1903 ini, juga bisa dilihat sebagai awal mula eksploitasi perempuan dalam Industri tambang di masa kolonial, serupa dengan yang terjadi di industri perekebunan di Sumatera bagian timur. Lihat Erwiza Erman. (1999). Miners, managers and the state: A socio-political history of the Ombilin coal-mines, West Sumatra, 1892-1996. [Thesis, fully internal, Universiteit van Amsterdam] hal. 39.

Open chat
1
Scan the code
Helpdesk
Halo 👋
Ada yang bisa kami bantu?