Menggali batubara ada batasnya. Kata-kata itu segera muncul di kepala saya ketika melihat sekilas instalasi karya Keday Loket di Galanggang Arang #2 Kota Solok (22-23 Juni 2024). Karya ini serupa pohon kelapa condong yang habis disambar petir. Warnanya hitam arang. Di ujungnya sebuah lori penuh batubara tampak terkatung-katung, seolah pengganti pucuk yang sudah mati.
Pohon mati itu memang terbuat dari batubara, tepatnya replika batubara. Setelah dilihat lebih dekat, di bagian pangkalnya tampak rantai para pekerja paksa, helm pengaman, serta blencong–alat produksi milik perusahaan yang tidak efektif dan membuat melepuh telapak tangan pekerja itu. Di beberapa bagian lainnya, blencong tertancap dalam yang seolah secara tidak langsung ikut menghabisi riwayat pohon batubara.
Konstruksi instalasi ini menarik. Lori yang terkatung-katung di ujung ‘pohon batubara’ itu seolah bicara soal batas eksploitasi batubara—ia bukan model ekonomi dan energi berkelanjutan. Lori pengangkut batubara itu sudah tak bisa maju lagi. Jalan sudah putus. Pohon hitam itu begitu rapuh, hanya perlu sedikit hentakan di bagian tengah untuk meruntuhkan keseluruhan konstruksi.
Karya ini diberi nama ‘Di Balik Batu’ oleh Keday Loket. Deskripsi karya menyebut soal upaya “memanggil kembali ingatan bahwasannya Solok pernah menjadi saksi bisu dari perjuangan orang rantai,” lewat penghadiran blencong dan rantai yang dipakai buat mengebat orang rantai.
Selama ini Solok dikenal sebagai tempat singgah kereta pengangkut batubara dari Ombilin ke Padangpanjang dan kemudian ke Teluk Bayur, kata Boy Nistil, salah seorang perupa di Keday Loket.
“Namun masyarakat hanya tahu batubara sebagai produk yang sudah jadi saja, bagaimana batubara itu dihasilkan, tidak menjadi perhatian,” lanjutnya. “Padahal di balik itu ada pekerja paksa dan orang rantai yang bertaruh nyawa dan dieksploitasi untuk menghasilkan batubara.”
Boy juga menyebut dampak-dampak penambangan batubara lainnya seperti kerusakan lingkungan di Sawahlunto.
Keday Loket ingin menyampaikan hal itu lewat karyanya. Dengan cara pandang seperti ini, mereka menempatkan Stasiun Kereta Api Kota Solok sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah penindasan dan penghisapan pekerja paksa dan orang rantai di Ombilin. Tambang, rel, stasiun, dan pelabuhan adalah jaringan fasilitas penghisapan.
Dalam bahasa lain, karya ini adalah gugatan atas narasi-narasi sejarah yang menghadirkan industri tambang batubara dan jaringan distribusinya sebagai sesuatu yang normal-normal saja; bahwa tak ada yang perlu dipermasalahkan dari keberadaan situs-situs itu, malahan ia turut mendorong kemajuan di wilayah yang kini disebut Sumatera Barat. Dengan demikian, karya ini juga merupakan gugatan atas modernitas yang dibawa kolonialisme itu sendiri, modernitas yang dicangkokkan dari atas dan dibangun di atas penyiksaan dan bangkai manusia.
Jika selama ini memori kolektif WTBOS di Kota Solok cenderung berisi kisah-kisah sukses dan membanggakan karena kehadiran jalur kereta api, Keday Loket memasukkan kembali memori kolektif penghisapan pekerja paksa dan orang rantai yang selama ini dilihat terpisah dengan memori kolektif di Kawasan WTBOS lainnya. Mereka menyadari bahwa memori kolektif di Sawahlunto adalah bagian integral dari memori kolektif di tiap situs WTBOS di luar Sawahlunto, termasuk Solok.
***
Menggali budaya bertambah kaya. Ini adalah kalimat lanjutan dari “menggali batubara ada habisnya.” Kata-kata itu terpampang di halaman pertama buku program Galanggang Arang 2023, yang dikutip dari ucapan Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan Kemdikbudristek.
Setelah batubara habis, setelah lori pengangkut batubara di karya Di Balik Batu sudah sampai di batasnya, bahwa Sawahlunto dan Kawasan WTBOS tak bisa lagi bergantung pada industri batubara, apa yang mesti dilakukan?
***
Sawahlunto sejak awal memanglah dirancang sepenuhnya sebagai kota tambang. Eksploitasi Batubara adalah ‘nyawa’ dari kota itu, sekaligus ‘nafas’ bagi industri-industri kolonial lainnya baik di Sumbar atau di daerah lainnya, serta Kawasan WTBOS di luar Sawahlunto.
Tapi, seperti ditunjukkan karya Di Balik Batu, batubara terbatas jumlahnya. Daya rusak industri itupun tidak main-main. Di samping kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya, ia juga telah membunuh dan menyengsarakan banyak sekali orang, dari zaman kolonial hingga hari ini.
Sawahlunto tak bisa selamanya bergantung pada eksploitasi batubara. Ketika perusahaan tambang berhenti beroperasi pada awal-awal 2000-an, ekonomi Sawahlunto terpukul. Sebagian masyarakat mulai menyadari bahwa segala cerita jaya mengenai Sawahlunto zaman kolonial sebagai kota paling bercahaya, dengan fasilitas kesehatan terbaik, dengan gedung-gedung artistiknya, dengan fasilitas kereta api dan pertambangan tercanggih di masanya, hanyalah kejayaan semu. Bahwa kejayaan itu segera sirna begitu cadangan batubara mulai menipis; bahwa ekonomi yang ditopang eksploitasi batubara ternyata tidak berkelanjutan sifatnya.
Sejak 1970-an, telah disadari bahwa ekonomi yang bergantung pada batubara sangatlah tidak stabil. Pada masa-masa itu, industri batubara tengah terpuruk dan berdampak pada ekonomi lokal. Pemerintah mencoba mengalihkan sektor ekonomi ke arah pertanian, perdagangan, dan pendidikan. Namun kontur alam dan luas wilayahnya hanya cukup untuk mendukung pertanian dalam skala tidak terlalu besar. Letak geografisnya juga tidak begitu mendukung sebagai kota pendidikan atau perdagangan.
Sentralisasi kekuasan ala Orde Baru juga menyulitkan untuk membuat regulasi sendiri untuk memuluskan rencana-rencana tersebut. Pemerintah Pusat tidak percaya Daerah mampu mengelola dirinya sendiri. Mereka lebih suka dengan kebijakan bersifat top-down. Meski telah diberi status Kota Madya sejak 1965, nasib Sawahlunto tetap diputuskan dari Jakarta.
Begitu Orde Baru tumbang, Sawahlunto bisa merancang kebijakannya sendiri. Otonomi Daerah memberi kelapangan untuk berinovasi. Orang mulai berpaling pada kebudayaan, pada kekayaan budaya dan narasi sejarah di Sawahlunto. Pariwisata budaya dilihat sebagai tumpuan baru bagi ekonomi Sawahlunto. Penelitian-penelitian sejarah dimulai dengan gencar. Festival-festival budaya digelar secara rutin.
Museum-museum didirikan yang kunjungannya terus meningkat hingga pandemi menyerang. Dari tahun 2004-2015 jumlah wisatawan juga terus bertambah, sebelum menurun drastis akibat pandemi yang lalu. Meski dampaknya terhadap masyarakat lokal perlu diuji lagi, namun secara umum kondisi seperti itu tampak memberi harapan: Sawahlunto berupaya lepas dari ketergantungan batubara dan mencoba membangun sumber ekonomi alternatif.
Kerja-kerja kebudayaan seperti itu jelas masih terbatas dampaknya. Model pengelolaan kekayaan kebudayaan serta segala colonial heritage-nya juga memiliki kekurangan di sana-sini. Perundang-undangan sebagai acuan kerjanya, belum sempurna sepenuhnya. Banyak nomenklatur yang mesti ditinjau ulang, begitu juga semangat yang terkandung di dalamnya.
Galanggang Arang sebagai bagian kecil dari upaya pembangunan pariwisata budaya, baru berlangsung satu kali dan kini tengah memasuki tahun keduanya. Ia juga tidak hanya terpusat di Sawahlunto. Akan tetapi cita-cita untuk memutus ketergantungan Sawahlunto dengan industri ekstraktif batubara, lalu menggantinya dengan ekonomi budaya, tetap menjadi bagian dari festival budaya ini. Muluk memang. Tapi bukan berarti tak mungkin. (*)
Referensi:
Asoka, Andi dkk. (2016) Sawahlunto Dulu, Kini, dan Esok: Menjadi Kota Wisata Tambang yang Berbudaya. (Padang: LPTIK UNAND)
Lindayati, dkk. (2017). Kota Sawahlunto, Jalur Kereta Api, & Pelabuhan Teluk Bayur: Tiga Serangkai dalam Sejarah Pertambangan Batubara Ombilin di Sumatera Barat. (Padang: Minangkabau Press)