(Penulis: Maiza Elvira)

Hingga kolonialisme Indonesia berakhir tahun 1950, perkeretaapian masih tetap aktif menjalankan semboyan yang mereka gunakan hingga hari ini, “Anda adalah prioritas kami”. Namun di Sumatera Barat kereta api tidak lagi beroperasi, seiring dengan tidak lagi ada batubara di Ombilin. Gerbong-gerbong ditinggalkan berkarat. Di beberapa tempat bahkan rel kereta api tidak lagi terlihat, dan telah ditutupi oleh bangunan di atasnya. Lalu, mungkinkah peluit kereta api itu akan terdengar lagi menembus dataran tinggi Sumatera Barat?

Sore itu, 4 September 1946, orang-orang di Pasar Kayu Tanam dilanda kepanikan. Mereka berlari sambil berteriak menuju stasiun. Di antaranya terdapat beberapa petugas medis dari rumah sakit Kayu Tanam membawa tandu dan peralatan. Dr Athos Ausrie, kepala rumah sakit Kayu Tanam, telah terlebih dahulu sampai, dan berbicara dengan petugas stasiun. Lonceng penanda kereta api datang berbunyi dengan keras dan tanpa henti, tidak seperti biasanya. Tidak lama kemudian, kereta api sampai di stasiun. Sore itu kereta api berbeda dengan hari biasanya, karena beberapa gerbong hancur dan tidak lagi berbentuk. Darah bahkan berceceran keluar dari lantai gerbong. Mayat bertumpuk-tumpuk di dalam gerbong yang sudah tidak jelas lagi bentuknya. Di gerbong yang kondisinya masih utuh, dipenuhi dengan korban luka parah. Petugas medis dan masyarakat mulai bergerak membantu para korban.

Masinis kereta api itu bercerita bahwa beberapa jam sebelumnya, kereta api yang membawa pengungsi dari Padang itu dihujani pasukan Belanda dengan tembakan panser, mortir dan senapan mesin sejak dari Tabing hingga ke Batang Anai. Serangan itu berawal ketika pasukan Belanda melarang kereta api yang tengah parkir di Simpang Haru, dan berisi ratusan pengungsi itu hendak berangkat menuju wilayah republik, di dataran tinggi Sumatera Barat, Padangsche Bovenlanden. Namun masinis itu tidak mengindahkan larangan pasukan Belanda, karena atas perintah Residen Sumatera Tengah, Sutan Mohammad Rasjid, kereta api, baik kereta api penumpang maupun kereta api batubara, dialihfungsikan untuk membawa para pengungsi dari wilayah sekutu, ke wilayah republik. Tanpa menghiraukan ancaman dan todongan senjata dari pasukan Belanda, masinis memutuskan untuk tetap berangkat dan meneruskan perjalanan hingga stasiun Kayu Tanam.

Sepanjang jalan dari Simpang Haru mereka dikejar oleh pasukan Belanda. Perintah untuk menghentikan laju kereta api tetap tidak dihiraukan oleh masinis, hingga pasukan Belanda mulai melontarkan serangan bertubi-tubi pada kereta api itu. Namun kereta api terus melaju dengan cepat, diiringi teriakan dan tangisan para penumpang. Kereta api itu bahkan tidak berhenti di stasiun Pariaman dan Naras, karena stasiun itu telah diduduki pasukan Belanda. Ia terus melaju hingga ke Kayu Tanam. Di Kayu Tanam baru mereka berhenti dan menemukan beberapa gerbong telah hancur dan jumlah korban sangat banyak. Rumah sakit yang ada di dekat stasiun tidak mampu menampung jumlah korban, sehingga mereka harus melakukan evakuasi ke rumah sakit terdekat, yaitu Padang Panjang. Proses evakuasi ini dipimpin langsung oleh Dr Athos Ausrie.

Sesampainya mereka di Padang Panjang, ratusan korban sipil segera diturunkan dan dirawat di rumah sakit biasa dan rumah sakit darurat. Rumah sakit darurat itu dikenal juga dengan nama veld-hospitaal atau rumah sakit lapangan, dibangun di wilayah pertempuran yang cukup berat atau dengan jumlah korban yang banyak.

Di Padang Panjang, sejak perang revolusi melawan sekutu dan Belanda meletus, wilayah sekitar stasiun kereta api telah berubah menjadi salah satu veld-hospitaal. Rumah sakit darurat itu dibuat oleh Dewan Pimpinan Djawatan Kereta Api RI (DKA-RI) yang sejak akhir tahun 1945 telah dipindahkan kedudukannya dari Padang ke Padang Panjang. Kereta api adalah salah satu sasaran tembak tentara sekutu dan Belanda, sehingga DKA kemudian berinisiatif membuat rumah sakit darurat, mengingat seringnya kereta api yang sesak penumpang itu ditembaki oleh musuh. Untuk memperbaiki kerusakan kereta api, bahkan bengkel besar kereta api yang semula berada di Stasiun Padang juga ikut dipindahkan ke Bancah Laweh, Padang Panjang.

Semua peralatan berat hingga mesin pembubut yang beratnya mencapai 25 ton berhasil mereka pindahkan. Dengan semua peralatan tersebut, DKA tidak hanya mampu menghasilkan listrik untuk pekerjaan bengkel kereta api, namun juga berhasil menyuplai listrik untuk masyarakat Padang Panjang. Perusahaan Kereta Api menjadi sibuk. Kereta api yang semula lalu-lalang membawa batubara, beralih membawa pengungsi dari Padang yang dikuasai sekutu dan Belanda ke wilayah pedalaman yang merupakan basis kekuatan republik. Perang, nyatanya kembali memberi warna pada lalu lintas perkeretaapian yang selama lebih tiga tahun tampak suram di bawah pendudukan Jepang. Padang Panjang kembali hadir menjadi stasiun persimpangan yang ramai seperti beberapa tahun sebelumnya, tempat transit bagi kereta api batubara dari Ombilin, maupun kereta api penumpang dari dan ke berbagai jurusan. Tidak hanya membawa pengungsi, kereta api pada masa itu menjadi sarana transportasi perjuangan untuk menyelundupkan pasukan, persenjataan, hingga ‘emas hitam’ atau candu, dari Padang ke Bukittinggi. Ahmad Husein dkk, dalam buku Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI Di Minangkabau 1945-1950 jilid II menyebutkan bahwa sebanyak 32 peti candu berhasil diselundupkan ke Bukittinggi dengan menggunakan kereta api yang semula membawa batubara dari Ombilin ke Emmahaven. Candu, layaknya batubara pada masa kejayaan Hindia Belanda, merupakan emas hitam yang hasil penjualannya kemudian digunakan untuk dana perjuangan revolusi. Dari Padang, dengan menggunakan kereta api batubara, candu itu diselundupkan hingga ke Bukittinggi, dan disembunyikan di rumah salah seorang Tionghoa di Kampung Cina. Baru kemudian secara bertahap dibawa ke wilayah pantai timur untuk ditukar dengan persenjataan.

Lebih 75 tahun kemudian, pada suatu siang, tanpa tujuan yang pasti saya menjajaki jalur kereta api yang telah berumur seabad lebih itu. Perjalanan saya mulai dengan menumpang kereta api dari Padang, dengan gerbong penumpang yang penuh. Kami berhenti sebentar di stasiun Pariaman, sebelum menuju stasiun Kayu Tanam. Barangkali karena terletak di pusat perekonomian dan daerah wisata, stasiun Pariaman masih terlihat ramai. Tidak berbeda dari berbagai catatan di masa lalu yang menggambarkan ramainya stasiun Pariaman yang berada tepat di bibir Pantai Gondoriah yang indah. Kereta api kembali berjalan. Tidak banyak penumpang yang tersisa. Suasana cukup hening, hanya bunyi gesekan roda kereta dengan rel yang terdengar menemani perjalanan kami hingga perhentian terakhir, stasiun Kayu Tanam. Gerbong-gerbong berjalan dengan aman dan utuh. Tidak ada hujan peluru dan mortir yang ditembakkan pasukan sekutu, pun tidak ada jerit ketakutan dan tangis para penumpang. Menjelang sore, kereta api sampai di stasiun Kayu Tanam. Saya dan beberapa penumpang yang tersisa turun dari gerbong.

Stasiun Kayu Tanam yang dimasa lalu mempunyai cerita yang heroik dan berdarah-darah, hari ini tampak sunyi. Dua petugas stasiun terlihat mengobrol dengan beberapa penumpang yang turun. Tampaknya mereka saling kenal. Saya terus berjalan sambil sesekali menjepretkan kamera, berharap ada jejak masa lalu yang tertangkap kamera. Tidak jauh dari stasiun, saya melihat seorang laki-laki berusia sepuh tengah menjemur padi di halaman rumahnya. Pak Ali, begitu biasa ia dipanggil. Saya diajak duduk di teras rumahnya yang sejuk. Udara memang cukup panas, padahal daerah ini berada dekat dengan Lembah Anai yang terkenal dengan keelokannya, dan kerap diabadikan oleh para turis sejak masa kolonial hingga hari ini.

“Stasiun ini baru hidup kembali beberapa tahun belakangan. Sebelum itu bangunannya saja tidak terawat. Besi-besi rel banyak yang berkarat dan hilang. Kabarnya Jokowi mau menghidupkan kembali kereta api ke Padang Panjang. Tapi rasanya tidak mungkin dalam waktu dekat. Butuh banyak biaya. Tapi kalau iya, baguslah. Kayu Tanam bisa jadi lebih ramai, seperti cerita orang-orang tua di masa lalu.” Pak Ali melamun sambil menghembuskan asap rokoknya. Kami berdua sama-sama terdiam, mencoba membayangkan ramainya stasiun Kayu Tanam di masa lalu, yang membuat ramai wilayah sekitarnya, dan menghidupkan pasar Kayu Tanam yang sore itu terlihat begitu sepi.

Selama lebih setengah abad berada di bawah kolonialisme Belanda, kereta api telah membawa perubahan yang cukup besar bagi perkembangan transportasi di Sumatera Barat. Pembangunan jalur kereta api yang cukup ambisius, merupakan proyek lanjutan dari pembukaan tambang batubara Ombilin yang berada di daerah pedalaman, Sawahlunto. Pada tahun 1887, berdasarkan Staatsblad No. 163 tahun 1887, pembangunan jalur kereta api Sawahlunto-Padang dimulai. Pemerintah kolonial mempunyai dua master plan untuk jalur kereta api, yaitu jalur Sawahlunto, Solok terus ke Subangpas dan Bukit Putus hingga ke Padang. Dan jalur yang kedua Sawahlunto, Solok, Padang Panjang, Lembah Anai, Kayu Tanam hingga ke Padang.

Jalur pertama melalui Subangpas jaraknya lebih pendek jika dibandingkan jalur kedua melewati Lembah Anai. Akan tetapi, tingkat kesulitannya lebih tinggi dan juga ketinggiannya sepertiga lebih tinggi dari jalur Lembah Anai. Walaupun ada opsi lain untuk menyiasati jalur Subangpas, yaitu membelah dan melobangi bukit dan membuat terowongan sebanyak 32 titik, biaya yang akan dihabiskan juga lebih tinggi sebesar sekitar f 5,5 juta. Selain itu dengan bukit yang dilubangi dan hutan yang dibabat, resiko bencana alam longsor dan banjir menjadi naik berkali lipat. Jika ini terjadi, maka kerugian akan jauh lebih besar. Oleh karena itu jalur kedua diputuskan sebagai jalur dengan resiko yang lebih minim.

Di jalur Lembah Anai, Padang Panjang hingga Fort de Kock, yang hari ini dikenal dengan Bukittinggi, rel kereta yang digunakan cukup unik, yaitu rel bergerigi yang populer dikenal dengan Riggenbach System, sesuai dengan nama penemunya. Lokomotif yang digunakan juga berbeda, yaitu lokomotif dengan silinder ganda pada rodanya, khusus untuk jalur pegunungan yang menanjak. Pada tanggal 30 Juni 1891, jalur kereta api diresmikan di Societiet Harmonie di Padang Panjang. Perayaan ini diisi dengan berbagai kegiatan hiburan. Semua bersuka ria. Tidak hanya orang Belanda saja, tetapi pribumi juga turut bersuka ria. Perlahan-lahan pedati yang merupakan transportasi utama dari pedalaman ke wilayah pesisir mulai ditinggalkan. Kereta api menjadi transportasi primadona dengan jadwal yang sibuk.

Melihat antusiasme masyarakat terhadap perkembangan kereta api, pemerintah kolonial membuka sebuah trip kereta api khusus wisata dari Pelabuhan Emmahaven ke Padang Panjang, Fort de Kock hingga ke Payakumbuh. Pembukaan jalur kereta api wisata ini seiring dengan tingginya minat orang Eropa untuk menelusuri wilayah dataran tinggi yang molek, berdasarkan informasi dari buku catatan perjalanan karangan L.C. Westenenk yang berjudul Acht Dagen In de Padangsche Bovenlanden. Buku ini merupakan sebuah buku panduan wisata yang mempromosikan pariwisata Sumatera Barat mulai dari Padang hingga ke Harau di Payakumbuh, dengan narasi yang cukup detail. Kereta api wisata ini cukup diminati oleh pelancong Eropa.

Untuk tarif tiket kereta api tersebut perusahaan kereta api memungut biaya f. 5,90 untuk satu kali trip perjalanan. Harga ini hampir sama dengan dua bulan gaji kuli kontrak di Ombilin saat itu. Bahkan pada masa krisis ekonomi global tahun 1930 saja, kereta api wisata ini tetap beroperasi. Padang Panjang, Fort de Kock hingga ke Harau menjadi destinasi vacantie yang paling diminati. Bahkan, Fort de Kock atau Bukittinggi telah didapuk sebagai daerah wisata sejak kereta api pertama kali melintasi wilayah itu, dan terus bertahan dengan label Kota Wisata hingga seabad kemudian. Udara yang sejuk, alam yang asri, dan suasana tenang yang jauh dari hiruk pikuk urusan administrasi menjadikan wilayah itu menjadi tempat tetirah favorit. Sementara itu, perekonomian masyarakat tumbuh subur di sekitar wilayah stasiun, yang kemudian berkembang menjadi daerah metro kecil yang gemerlap dengan cepatnya perputaran roda ekonomi masyarakat setempat. Toko-toko, gudang, restoran, hingga warung kecil tumbuh dengan pesat.

Lalu zaman berubah. Di Eropa sana perang dunia bergolak dan mengundang pasukan Jepang datang ke Indonesia. Tidak lama kemudian sekutu dan Belanda menyusul datang sambil membawa api perperangan. Indonesia bergolak. Sumatera Barat babak belur dihantam perang. Tidak ada lagi kereta api wisata, penumpang, pun kereta api batubara. Lambaian tangan ucapan selamat tinggal menghilang dari peron-peron kereta, berganti wajah lesu ketakutan dan kelaparan pengungsi yang menyelamatkan diri dari front pertempuran, yang saat ini masih kerap disebut oleh orang-orang tua yang saya temui di wilayah sekitar stasiun dan pasar Kayu Tanam.

Setelah berbincang panjang dengan beberapa orang di Pasar Kayu Tanam, saya memutuskan melanjutkan perjalanan ke Padang Panjang. Dengan menumpang bus kecil, menjelang azan Maghrib saya sampai di gerbang Stasiun Padang Panjang. Melewati Lembah Anai hingga Padang Panjang, rel kereta api yang fenomenal dan banyak disebut dalam berbagai catatan dan laporan itu masih terlihat di beberapa titik, namun hanya sebagai onggokan besi bekas saja. Banyak yang sudah ditutupi semak belukar. Karat dan pelapukan terlihat pada rel dan jembatan yang membentang di Lembah Anai. Beberapa terowongan bahkan telah runtuh dimakan waktu, dan ditimpa pepohonan. Di Padang Panjang, stasiun tidak lagi gemerlap seperti seabad yang lalu. Ketiadaan batubara tampaknya mengubah banyak hal. Dari kejauhan rel kereta api tidak terlihat begitu jelas, karena ditumbuhi rerumputan. Sunyi sekali di sekitar stasiun. Hanya terlihat dua orang pejalan dengan anjingnya menyusuri rel kereta api.

The Crossroad, begitu anggota Palang Merah sekutu memberi istilah untuk stasiun kereta api Padang Panjang itu. Persimpangan jalur kereta yang sibuk, ramai, dan gemerlap. Bahkan di masa perang persimpangan ini masih tetap sibuk dan ramai, oleh para korban perang. Tidak lagi ada toko-toko, gudang dan warung-warung yang ramai dikunjungi di sekitar stasiun. Hanya di beberapa stasiun, terutama yang berada di pusat kota yang tampak masih hidup dan tumbuh menjadi wilayah yang cukup ramai. Kini, tersiar kabar bahwa jalur kereta api Kayu Tanam ke Padang Panjang akan dioperasikan kembali. Setelah mati suri selama beberapa dekade, barangkali sebentar lagi peluit kereta akan kita dengar di sini, di dataran tinggi Sumatera Barat. Stasiun Padang Panjang suatu hari akan kembali menjadi stasiun persimpangan yang sibuk, membawa pelancong menikmati sejuknya udara sambil menyesap segelas kopi.

Saya perlahan-lahan masuk ke jalur rel kereta api yang terkenal di masa lalu itu. Sekarang jalur ini telah diresmikan sebagai situs Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto (WTBOS), sebagai bagian dari proyek Tiga Serangkai yang dicetuskan oleh pemerintah Belanda lebih seabad yang lalu. Tiga Serangkai dimaksud meliputi industri pertambangan batubara di Sawahlunto, yang dibawa keluar dari Sawahlunto dengan menggunakan transportasi kereta api melalui wilayah Sumatera Barat, dan sistem penyimpanan di Silo Gunung di Pelabuhan Emmahaven. Menjadi warisan dunia berarti menjadi sebuah situs yang diakui oleh dunia untuk dijaga, dirawat, dan dimanfaatkan secara bersama-sama. Mungkinkah kereta api kembali bisa dimanfaatkan masyarakat Sumatera Barat?

Seorang bapak mendekati saya dan bertanya, mencari apa? Saya ungkapkan kegelisahan saya tentang kesunyian di stasiun yang ditinggalkan ini. “Kau perhatikan baik- baik, tidak sunyi di sini. Masih sangat ramai. Coba lihat dengan mata hatimu.” Saya termangu mendengar perkataan bapak itu. Ramai? Sejauh mata saya memandang hanya ada bentangan rel berkarat yang ditumbuhi rumput, stasiun yang usang, dan deretan lokomotif dan gerbong yang entah sudah berapa puluh tahun diam seperti itu. Sayup-sayup diantara suara azan, saya mendengar bunyi peluit lokomotif ketika kereta api hendak berangkat, dan ucapan selamat jalan yang ramai. Segera saya memutuskan pergi dari stasiun itu, tanpa menoleh lagi ke belakang. Barangkali, benar kata seorang ilmuwan Jepang, benda-benda memiliki nyawanya sendiri, dan menyimpan kenangan tentang kejayaan dari masa lalu, seperti stasiun Padang Panjang. Lalu, mungkinkah kejayaan itu akan terulang kembali? (*)

Foto: Maiza Elfira

Referensi:

Fatimah Enar et al., Sumatera Barat 1945-1950. Padang: Pemda Sumbar, 1978.

Freek Colombijn. Paco-Paco Kota Padang. 2006. Yogyakarta: Ombak.

Het Ombilin-Kolenveld In de Padangsche Bovenlanden en Het Transportstelsel op Sumatra’s Westkust. Batavia: Landsdrukkerij. 1907.

Laporan BPPI pada perjuangan revolusi di Kota Padang. Naskah tidak diterbitkan hanya untuk kebutuhan lembaga.
Michiel van Ballegoijen de Jong, Stations en Spoorbruggen op Sumatra 1876-1941.Amsterdam: De Bataafsche Leeuw, 2001.

Minangkabau 1945-1950 (2 Jilid) (Jakarta: Badan Pemurnian Sejarah Indonesia- Minangkabau [BPSIM], 1978, 1981).

Republik Indonesia: Propinsi Sumatera Tengah. Djakarta: Kementerian Penerangan, 1954. Ahmad Husein, S.M. Rasjid et al, Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di

Open chat
1
Scan the code
Helpdesk
Halo 👋
Ada yang bisa kami bantu?