Gedung Societeit Harmony Padang Panjang dipenuhi banyak orang. Dari pakaiannya, tampak kebanyakan para pengunjung itu berasal dari kalangan penghulu. Mereka duduk berjejer mengelilingi sebuah tenda besar, di antara umbul-umbul yang menjulang ke udara yang menghiasi halaman klub khusus orang Eropa tersebut. Ini adalah perayaan atas pembukaan jalur kereta api pada 1892.
Setahun sebelumnya, pemerintah kolonial juga mengadakan perayaan terkait jalur kereta api. Waktu itu para penghulu diundang ke acara peresmian beroperasinya jalur kereta api Padang – Padang Panjang pada tanggal 39 Juni 1891. Ini adalah “perjalanan perayaan (festrip)”. Para pejabat dan penghulu diberi keistimewaan untuk menjajal jalur kereta yang telah resmi dioperasikan itu. Mereka menaiki kereta dari Padang ke Padang Panjang pada pukul 6.30, dan kembali ke padang pada siangnya.[1]
Rencana pembangunan jalur kereta api Padang – Padang Panjang dan perayaan yang menyertainya, nampaknya sudah dibicarakan setahun sebelumnya lagi. Pada 1890, para penghulu dari Dataran Tinggi mengadakan pertemuan dengan para insinyur kereta api di kantor pusat di Padang. Pertemuan ini berlangsung dua kali, pada 1 Oktober dan 15 Oktober 1980.
**
Seruan “Hidup Nederland” menggema di penutupan sebuah upacara selamatan di Sawahlunto. Selamatan itu adalah perayaan yang diinisiasi pemerintah kolonial atas gagalnya pemberontakan buruh pada 1926-27 di Sawahlunto. Sebagaimana layaknya upacara tradisional yang sakral, tiga ekor kerbau dan seekor sapi dipotong di Pasar Muaro Bodi. Selamatan pada 22 Juli 1927 itu diikuti para penghulu dan karyawan perusahaan. Mulai dari asisten residen dan istrinya, kontrolir, masyarakat umum, serta para pejabat pribumi seperti Demang Sawahlunto.
Selamatan ini diadakan sebagai rasa syukur atas kembalinya lagi kehidupan masyarakat yang normal. Berkat bantuan pemerintah Belanda, pemberontakan kaum buruh komunis yang mengancam status quo itu, berhasil diatasi. Keadaan kembali normal dan damai. Para elit tradisional itu memberi keris antik pada pejabat Belanda sebagai ungkapan terima kasih. Dan pejabat itu memuji setinggi langit dan bergembira atas penolakan penduduk di sekitar Sawahlunto terhadap komunisme.[2]
Perayaan lainnya berlangsung hampir satu dekade kemudian. Memasuki 1930-an, perusahaan tambang terus mengalami kerugian dan hampir kolaps, karena berbagai sebab. Pemerintah berniat menutup tambang pada 1934. Rencana penutupan tambang itu ditentang oleh para pejabat tambang, petinggi pemerintahan kota, serta para penghulu. Mereka membentuk Komite Aksi untuk menolak rencana tersebut dan mengajak bertemu pemerintah di Padang yang dihadiri 100 orang dari berbagai kalangan. Komite mengajukan mosi penolakan penutupan tambang ke pemerintah. Misi mereka berhasil. Pada 1935 pemerintah kolonial memutuskan untuk melanjutkan operasi tambang.
Dan, sekali lagi, perayaan diadakan. Di perayaan pada 30 Agustus itu, para penolak penutupan tambang mengungkapkan rasa syukur atas keputusan pemerintah. Pemerintah dianggap tidak hanya menyelamatkan perekonomian Sawahlunto namun juga Sumatera Barat umumnya.[3]
**
Membuat perayaan-perayaan serta upacara dan arak-arakan dengan merupakan salah satu metode pemerintah kolonial untuk menguatkan aristokrasi lokal yang hirarkis, sekaligus memperkuat gagasan mengenai kewajiban sosial kaum dari para elit tradisional. Dengan begini,pemerintahan tidak langsung yang mereka jalankan, bisa dijalankan lebih efektif dan efisien.[4]
Para penghulu yang dianggap berjasa diperlakukan sedemikian rupa demi meningkatkan otoritas mereka. Bahkan upacara kematian penghulu yang berjasa itu, diselenggarakan besar-besaran, dengan upacara (perayaan) ala militer dengan tembakan puluhan meriam.[5]
Pemerintah kolonial menyadari bahwa para pemegang otoritas lokal sulit menerima propaganda modern agar tunduk pada Belanda, karena itu mereka lebih memilih membiayai atau mensponsori berbagai bentuk perayaan dengan melibatkan elit tradisional dan membuat mereka seolah-olah menjadi pusat dari perayaan-perayaan itu. “Pendekatan budaya” macam ini juga jauh lebih hemat dibanding penaklukan militer. Setelah perang Padri, Belanda semakin sadar bahwa para penghulu adalah aliansi potensial. Mereka mulai mempelajari budaya dan sistem adat[6] dan memodifikasinya untuk memudahkan aliansi tersebut.[7]
**
Setelah berhasil membuat kesepakatan yang tidak adil dengan para Penghulu Kubang, mendapat sebidang besar tanah Ulayat Nagari, Pemerintah Belanda kini punya kekayaan luar biasa di bawah kakinya: Batu Bara. Sejak memastikan bahwa terdapat kandungan batubara dengan kualitas tinggi dalam jumlah besar di Cekungan Ombilin, mereka telah membuat rancangan besar untuk mengeksploitasi emas hitam itu sejadi-jadinya. Mega Proyek pembangunan tambang, jalur kereta api, dan pelabuhan yang tercanggih dan paling modern di zamannya.
Prinsip ekonomi mereka sederhana: Keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya. Karena itu mereka menekan harga produksi batubara sampai titik terbawah—terutama upah tenaga kerja. Megaproyek itu memerlukan puluhan ribu tenaga kerja yang akan membuat keuntungan mereka semakin kecil jika semuanya dibayar dengan layak. Dan mengubah narapidana menjadi pekerja paksa adalah solusi paling jitu. Namun mereka memerlukan juga pekerja dengan skill tertentu. Setelah kesulitan mencari tenaga kerja lokal, mereka kemudian mendatangkan para pekerja kontrak dari Pulau Jawa. Mereka yang datang kebanyakan karena ditipu.
Mereka bekerja dalam kondisi kerja yang amat buruk, bahkan jauh lebih buruk dari yang dialami Kuli Kontrak di Deli. Mekanisme kontrol, serta hukuman-hukuman fisik, terutama di pertambangan, jauh lebih intens dan brutal jika dibandingkan dengan pusat-pusat eksploitasi buruh lainnya seperti di Deli, dan berkebalikan dengan kondisi pekerja di tambang batubara di Jepang yang justru menempatkan pekerja tambang sebagai profesi prestisius.
Ketika mereka berhasil mendongkrak produksi, tak ada perayaan-perayaan. Yang ada disediakannya rumah perkumpulan warga di mana pertunjukan-pertunjukan kesenian digelar sebagai ‘opium’ penghilang derita sesaat, serta perjudian yang dikelola pemerintah di mana mereka mengambil kembali hasil kerja seminggu seorang buruh di meja judi agar mereka tetap terus bekerja dan memperpanjang kontrak.[8]
Tak ada perayaan ketika mereka mati. Sebagian orang rantai mayatnya dibiarkan membusuk di dalam lubang tambang, sebagian lagi bahkan dikuburkan dengan nisan tanpa nama. Saat mereka mulai berorganisasi, mendirikan surat kabar-surat kabar anti-kolonial, dan kemudian merancang memberontak untuk menghentikan penghisapan oleh Belanda yang disokong sebagian elit pribumi, kekalahan merekalah yang dirayakan.
**
Manggulung akan segera menaiki tiang gantungan di Penjara Sawahlunto. Ia adalah salah satu pemimpin Pemberontakan 1926-27 yang dijatuhi hukuman mati. Sesaat sebelum mengalungkan tali gantungan, ia sampaikan kata-kata terakhirnya:
“Kawan2 sebentar lagi kita akan bertjerai, berpisah buat selama-lamanja. Perdjuangan saja minta kawan2 teruskan sampai belanda terusir, tulang dan darah daging saja, akan mendjadi rabuk untuk menjuburkan perdjuangan Rakjat dan kawan-kawan di kemudian hari.”
Setengah abad kemudian, setelah penjajah Belanda berhasil diusir dan Indonesia merdeka, digelarlah upacara peringatan untuk memperingati Pemberontakan Silungkang. Upacara sederhana ini diadakan PKI pada awal Januari 1955. Pesan Manggulung di atas disampaikan kembali oleh saksi mata di hari eksekusi dalam upacara tersebut.[9] Inilah salah satu dari sedikit ‘perayaan’ untuk mereka, buruh yang membangun Sawahlunto dengan kerja, keringat dan darahnya, di bawah sistem kolonial yang super eksploitatif. (*)
Foto cover: Perayaan Pembukaan Jalur Kereta Api di Gedung Societeit Harmony Padang Panjang tahun 1892. Direproduksi dar Lindayati, dkk. “Kota Sawahlunto, Jalur Kereta Api, & Pelabuhan Teluk Bayur: Tiga Serangkai dalam Sejarah Pertambangan Batubara Ombilin di Sumatera Barat”. (Minangkabau Press, 2107)
Catatan Kaki:
[1] Lindayati, dkk. “Kota Sawahlunto, Jalur Kereta Api, & Pelabuhan Teluk Bayur: Tiga Serangkai dalam Sejarah Pertambangan Batubara Ombilin di Sumatera Barat”. (Minangkabau Press, 2107) Hal, 131-133.
[2] Mengenai Selamatan di Sawahlunto lihat Lindayati, dkk. “Kota Sawahlunto, Jalur Kereta Api, & Pelabuhan Teluk Bayur: Tiga Serangkai dalam Sejarah Pertambangan Batubara Ombilin di Sumatera Barat”. (Minangkabau Press, 2107) Hal. 100-101.
[3] Lindayati, dkk. “Kota Sawahlunto, Jalur Kereta Api, & Pelabuhan Teluk Bayur: Tiga Serangkai dalam Sejarah Pertambangan Batubara Ombilin di Sumatera Barat”. (Minangkabau Press, 2107) Hal, 109-113.
[4] Pembahasan mengenai ini diantaranya bisa dilihat dalam Robert Cribb, “The Historical Roots of Indonesia’s New Order: Beyond the Colonial Comparison” (Paper, 2010), lihat juga Heather Sutherland, “Terbentuknya Sebuah Elit Birokrasi” (Sinar Harapan, 1983). Untuk konteks Minangkabau, salah satunya bisa dilihat di Elizabeth E Graves, “Asal-usul Elit Minangkabau Modern” (Yayasan Obor, 2007).
[5] Lihat misalnya bagaimana upacara kematian DT Batuah, DiscritctsHoofd Tilatang VI, yang meninggal pada 1870. Pemakaman tokoh yang banyak berjasa di mata pemerintah kolonial terutama karena keberhasilannya memadamkan pemberontakan Tilatang ini dihadiri para pembesar Eropa dan pembesar pribumi. Lengkapnya lihat, “Riwajat Kehidupan Datoek Batuah, Toenkoe Districtshoofd Tilatang IV Angkat Marhoem” yang disusun oleh Comite Peringatan Marhoem Datuak Batoeah. (Typ Drukkerij “Agam” Fort de Kock, tanpa tahun).
[6] Mengenai hal ini Lihat serial catatan panjang Kliestra yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia di situs garak.id.
[7] Liat paper Audrey Kahin, “Bagaimana Kolonial Mengondisikan Minangkabau” yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia di garak.id.
[8] Untuk pembahasan bagaimana proses produksi batubara Ombilin yang penuh dengan kontrol dan kekerasan demi menekan biaya produksi, serta perbandingannya dengan kondisi buruh di Deli serta pekerja tambang di belahan lain dunia, lihat Erwiza Erman, Disertasi: “Miners, Managers and the State: A Socio-political History of the Ombilin Coal-mines, West Sumatra, 1892-1996.” (Universiteit van Amsterdam, 1999)
[9] Peristiwa upacara itu dimuat oleh Harian Rakjat, 7 Januari 1955.
Trackback