Penulis: Lindayati, dkk

Penerbit: Minangkabau Press

Tahun Terbit: 2017

Halaman: 214 + xii

Bab II menjelaskan pembangunan tambang dan munculnya Sawahlunto sebagai wilayah administratif. Bab dimulai dengan pemaparan soal perencanaan penambangan batubara di Ombilin pada 1868, serta serangkaian masalah yang menyertainnya. Mulai dari soal pemilihan rute jalur kereta api yang akan dibangun guna menghubungkan tambang dengan pelabuhan, pihak yang akan membangun jalur kereta api tersebut, pihak yang akan mengelola jalur kereta dan tambang, serta ganti rugi lahan untuk tambang dan jalur kereta api tersebut. 

Setelahnya, bab ini menjelaskan mengenai diresmikannya rencana pembangunan jalur kereta api pada 1887, dibukanya tambang Sungai Durian pada 1892 yang diikuti pengerahan buruh paksa dan buruh kontrak, munculnya perkantoran serta perumahan dan fasilitas lainnya, model tambang, hingga terbentuknya Onderafdeeling Sawahlunto pada 1904.

Buku ini “memaparkan tentang perjalanan sejarah yang telah dilalui oleh kota Sawahlunto dan warganya sejak dari mulai dibukanya tambang batubara sampai sekarang” (hal 12). Sebagaimana anak judul di buku “Tiga Serangkai dalam Sejarah Pertambangan Batubara Ombilin di Sumatera Barat”, tiga bab di buku ini masing-masingnya berisi pemaparan mengenai sejarah pembukaan tambang dan perkembangan kota Sawahlunto (Bab II); pembukaan jalur-jalur kereta api Ombilin-Emmahaven (Bab III); dan pembangunan pelabuhan Teluk Bayur (Bab IV).

Selain itu bab II buku tersebut juga menyoroti berbagai hal tentang perjalanan tambang dalam tiga periode besar; masa awal (1895-1905); masa keemasan (1912-1920), masa kemerosotan (1922-1930); dan upaya pemerintah mempertahankan eksistensi tambang dalam masa-masa selanjutnya hingga 1938. 

Dalam alur yang kronologis tersebut dijelaskan mengenai naik-turun produksi batubara Ombilin serta naik-turun harga batubara, jumlah buruh yang juga fluktuatif, perkiraan keuntungan yang didapat oleh pemerintah, kecelakaan-kecelakaan di tambang, sentimen antara staf berkebanggasaan Belanda dengan staf berkebangsaan Jerman, hingga sebab-sebab merosotnya tambang Ombilin. 

Beralih ke Bab III, buku ini menyuguhkan kisah mengenai pembangunan jalur rel kereta api yang dipicu oleh pembukaan tambang.  Sejak dimulai pada 1887, pembangunan jalur kereta api Ombilin-Emmahaven rampung pada 1894. Sampai 1941, kota-kota penting di Sumatera Barat, termasuk Payakumbuh dan Pariaman, kecuali Batusangkar, telah terhubung oleh jalur kereta api dengan 22 halte dan stasiun kereta api. 

Deskripsi pembangunan rel kereta api dalam buku ini didampingi oleh keterangan mengenai pekerja paksa dan pekerja lepas yang dikerahkan untuk pembangunan, perayaan-perayaan beroperasinya jalur-jalur itu oleh pemerintah dan penghulu, serta sejumlah bencana alam yang merusak jalur kereta terutama di Lembah Anai. 

Setelah memberi gambaran soal proses pembangunan jalur kereta api, buku ini kemudian membahas dimulainya pembangunan Emmahaven (Teluk Bayur) pada Bab IV. Pelabuhan Muaro dan Dermaga di Pulau Pisang yang tidak memungkinkan berlabuhnya kapal pengangkut batubara menjadi alasan utama dibangunnya pelabuhan baru itu. Fasilitas-fasilitas bongkar-muat batubara yang efisien dibangun di Emmahaven. Mulai dari gudang penyimpanan, dermaga khusus pembongkaran batubara, hingga pembangkit listrik sebagai sumber tenaga alat-alat tersebut. 

Seperti dalam bab sebelumnya, deskripsi mengenai pembangunan pelabuhan  juga didampingi oleh gambaran mengenai pengerahan besar-besaran pekerja, baik yang dipaksa maupun yang disebut tenaga kerja bebas. Para pekerja ini terdiri dari beragam etnis, yang mulai bekerja membangun pelabuhan pada 1890—tiga tahun setelah dimulainya pembangunan jalur kereta api.  Dua tahun kemudian, pada 1892, pelabuhan diresmikan. 

Tidak hanya membongkar batubara dari Ombilin, Emmahaven juga menjadi tempat bersandarnya kapal-kapal dari Eropa yang membawa mesin-mesin pertambangan ke Ombilin via jalur kereta api yang juga telah rampung. 

Sejak mulai dibuka hingga 1930-an awal, jumlah kapal yang berlabuh terus meningkat. Beragam jenisnya. Mulai dari kapal barang, kapal perang, hingga kapal pesiar. Pendapatan pemerintah kolonial juga terus meningkat berkat cukai sejak pelabuhan didirikan. Mulai 1930-an awal, pelabuhan terus merugi seiring merosotnya perdagangan batubara dan berkurangnya jumlah kapal yang berlabuh. Memasuki 1930-an, Emmahaven memang mulai memasuki era kemerosotan.

Bab IV juga diselingi kisah pemogokan buruh pelabuhan. Pada 1925, di masa-masa kejayaan Emmahaven, 107 orang buruh dipecat karena melakukan pemogokan termasuk 3 orang pemimpin gerakan. Mereka dengan gampang diganti dengan pekerja paksa yang diambil dari tambang di Ombilin. Di masa yang sama juga terjadi sejumlah sabotase terhadap fasilitas pelabuhan, terutama rel kereta. Juga terjadi kericuhan-kericuhan kecil. 

Secara keseluruhan, buku sangat kaya dengan data. Dari panjang rel, jumlah stasiun, jumlah pekerja, dan nilai-nilai investasi untuk tambang, kereta api, dan pelabuhan, hingga taksiran untung-rugi. Data-data tersebut sangat potensial untuk dikembangkan lebih jauh. (Randi*)

Open chat
1
Scan the code
Helpdesk
Halo 👋
Ada yang bisa kami bantu?