“Dulu kami suka raun-raun naik lori, waktu masih gadis-gadis, berlima atau berenam kami,” kisah Mar (bukan nama sebenarnya). Perempuan akhir 50-an tahun itu bercerita penuh semangat, mengenang masa-masa remajanya ketika ia dan teman-teman sebaya menaiki lori dari Sungai Durian ke kawasan penyaringan batubara di Sawah Lunto.
“Tapi jangan buat nama saya, ya, nanti ada apa-apa,” pintanya saat saya tanyakan bolehkan kenang-kenangannya bersama lori ditulis. Meski kejadiannya sudah berpuluh tahun lalu, di matanya yang kelelahan tampak sepercik memori yang menghentak-hentak ingin dikeluarkan.
“Kalau sudah mau sampai ke Saringan, ada belokan, lorinya melambat, lalu kami lompat,” jelasnya lagi. “Sebetulnya ‘kan dilarang naik lori, tapi ya waktu itu masih nakal-nakal, sukanya ya begitu. Yang bawa lokomotifnya juga tau sebetulnya, tapi dibiarkan, karena dia orang sini juga”.
Waktu itu sekitar pertengahan 60-an. Lori yang ditarik lokomotif listrik, melewati lingkungan masa kecil Mar setiap hari, mengangkut batubara dari tambang di Sungai Durian ke kompleks penyaringan batubara tak jauh dari pusat Kota Sawahlunto.
“Tapi kami tidak pergi main-main ke pasar Sawahlunto, tak ada uang juga,” lanjutnya sambil menambahkan ia dan teman-temanya cuma ingin menaiki lori lalu kembali lagi ke Sungai Durian menaiki lori lainnya secara diam-diam. “Curi tumpang namanya, asik.”
Setelah agak dewasa, Mar dan beberapa warga perempuan Sungai Durian lainnya, sering ‘mengutil’ batubara yang diseret lori. Batubara itu tidak untuk dijual, tapi untuk bahan bakar bikin kerupuk atau masakan sehari-hari.
“Ada tempat di belokan, di situ bisa ambil batubara, lorinya pasti pelan, ambilnya cuma sedikit buat masak di rumah, buat goreng kerupuk. Waktu itu kadang-kadang bikin kerupuk buat dijual,” mata Mar.
“Harus hati-hati juga, bisa kesetrum, harus pakai sendal,” lanjutnya.
Tak lama setelahnya, lori diganti dengan jaringan conveyor (sabuk berjalan). Batubara di Sungai Durian makin menyusut produksinya, begitu juga di lubang-lubang tambang lainnya. hingga conveyor itu akhirnya punah pula. Bekas-bekas jalur rel lori, tak tampak lagi sisanya. Sebagian sudah dialihfungsikan sebagai perumahan, sebagian dilapisi aspal. Jalan-jalan aspal yang kini menghubungkan Saringan dengan wilayah Sungai Durian, Sikalang, memang mengikuti bekas jalur lori tersebut. Begitupun pola hunian yang juga mengikuti jalur lori.
Jejeran 25 sampai 40 lori yang diseret lokomotif listrik itu yang sering lalu-lalang, kini tinggal kenangan bagi sebagian masyarakat Sawahlunto, terutama yang dilalui jalur lori.

“Satu lori itu muatannya bisa satu ton,” kata Mbah Bewe, warga yang tinggal di sekitar Saringan. Pria 60-an tahun itu dulu sering menemani bapaknya ke tambang di Sungai Durian, menaiki lori tentu saja. Bapaknya, pria asal Cimahi, bekerja sejak 1920-an di perusahaan tambang sebagai buruh.
“Bapak kuat sekali, dia bisa tahan lori itu pakai kaki sementara saya cari kayu buat pengganjal. Percaya atau tidak, ya,” katanya saat melihat saya tak tampak kurang yakin.
Saya berjumpa Mbah BW di Taman Silo, kompleks penyaringan batubara yang sudah ada sejak zaman Belanda. Di samping Taman Silo bengkel besar tempat memperbaiki berbagai alat pertambangan berdiri terkantuk-kantuk. Tiga silo besar yang mulai didirikan pada 1970-an, menjulang dengan malas. Tempat ini lebih dikenal sebagai Saringan.
Di sinilah batu bara disimpan, disaring, dan dimuat ke gerbong-gerbong batubara untuk dipaketkan ke Teluk Bayur. Dari saringan ini, jaringan lori bercabang ke dua arah: ke arah Lubang Tambang Lunto I, II, dan III. Lalu ke arah Sungai Durian, Sawah Luwung di Sikalang, atau Jaringan ke arah Lunto, lebih dulu tutup dibanding jalur ke Sungai Durian. Dulu, di beberapa titik di sekitar Saringan, terdapat depot-depot kecil di mana lori-lori membongkar batubara atau menurunkan pekerja tambang. Dari depot-depot itu, yang sering disebut ‘bantingan’.
Seperti Mbah Bewe, umumnya remaja yang tinggal di sekitar Saringan, pernah ‘iseng’ menaiki lori. Ada jalur roli yang dibanguan melewati terowongan menembus bukit guna sampai ke Sikalang yang disebut lubang panjang sejauh 1 kilometer. Sebagian pekerja turun di terowongan, karena sejatinya terowongan itu masih bisa diambil batubaranya dengan membuat lubanga baru ke arah sisi dan kanan. Sebagian lainnya terus ke Sikalang atau ke Karang Anyar. Lori-lori dari Sungai Durian dari Sikalang juga mengangkut batubara dengan jalur yang sama.
Pak Sum juga punya kenangan tesendiri dengan lori. Ia juga suka ‘raun-raun’ ke arah Sungai Durian bersama teman-temannya menaiki lori. “Kalau libur sering naik lori ke arah Sikalang, ramai-ramai. Pulangnya naik lori lagi. Waktu itu kan cuma itu alat transportasi, mobil belum banyak” ujarnya di sambung tawa renyah.
“Itu waktu umur 12 sampai 15 tahun, kami hafal jam-jam lewatnya lori itu. Kalau bawa muatan, lorinya lambat. Kalau kosong biasanya cukup kencang. Candu-candu saja sebenarnya,” sambung Pak Sum kembali tertawa. Kadang anak-anak itu iseng. Mereka mengunci rem lori, sehingga juru mudi kebingungan lori-lori yang diseretnya tiba-tiba jadi berat.
Namun tak hanya kenangan manis dengan lori yang melekat di ingatan warga, kisah-kisah menakutkan juga beredar luas.
“Banyak yang putus jarinya tergilas roda lori, jari kaki-jari tangan,” kata Pak De Marjadi salah satu pekerja tambang pasca kemerdekaan.
Kisah-kisah itu umumnya mereka dengan dari pekerja tambang yang lebih senior dan terjadinya di masa kolonial. “Sewaktu saya bekerja, tidak ada kedengaran kecelakaan seperti itu.”
“Kadang yang bekerja di bawah (di dalam lubang) belum siap, lokomotifnya sudah jalan, tergilas lah jari kakinya, ya langsung putus. Kadang lori itu lepas kaitannya, mundur, menghantam orang-orang di bawah,” sambungannya. Tapi lagi-lagi itu kisah dari masa yang lebih lampau.
Lori memamg merupakan alat pertambangan penting sejak masa-masa awal pertambangan. Jenisnya pun berbeda-beda. Di masa awal, ada lori dengan sistem kabel tanpa lokomotif listrik. Inilah yang disebut-sebut paling rentan mengakibatkan kecelakaan. Kabel baja yang tegang, juga kerap menyambar pekerja, hingga ada yang putus tangannya.
Kini lori-lori tersebut terpajang di museum, misalnya di halaman Museum Tambang Batubara Ombilin. Lori yang dipajang adalah lori generasi terakhir dari tahun 1970an, dengan lokomotif listrik dan dengan lori-lori berbagai fungsi yang berderet di belakangnya. Lori batubara, lari pengangkut material seperti kayu, dan lori penumpang layaknya gerbang. Di bagian dalam museum, terpajang lori pengangkut kayu dari masa kolonial, lengkap dengan potongan rel lori. (*)