(Penulis: Mahatma Muhammad, Kurator Galanggang Arang)

LIMA tahun telah berlalu sejak Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto (WTBOS) diakui sebagai Situs Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO. Pengakuan ini bukan hanya penghargaan terhadap nilai sejarah dan budaya dari kawasan tambang, jalur kereta, dan Silo Gunung sebagai penyimpanan akhir Batubara di Teluk Bayur Padang, tetapi juga menjadi momentum untuk refleksi mendalam tentang arti dan dampak warisan kolonial dalam konteks modern. Melalui pameran fotografi ini, sembilan fotografer berusaha untuk mengabadikan dan menggali lebih dalam sejarah serta makna dari bangunan-bangunan kolonial di Sawahlunto. Pameran ini mengangkat berbagai aspek dari kawasan tambang, terutama di Zona A Kota Sawahlunto, serta Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK) yang tersebar dan tumbuh serta berkembang di sekitarnya. Melalui lensa fotografer, kita diajak untuk melihat, merasakan, dan memahami lebih dalam tentang perjalanan kota kecil Sawahlunto.
Sawahlunto mengalami transformasi besar sejak akhir abad ke-19 ketika pemerintah kolonial Belanda menemukan cadangan batu bara di Cekungan Ombilin, Sawahlunto, tahun 1868. Keputusan ini didorong oleh keinginan untuk memaksimalkan eksploitasi sumber daya alam di Hindia Belanda. Dengan pendirian tambang ini, desa agraris Sawahlunto diubah menjadi pusat industri tambang yang sibuk. Ribuan pekerja, orang-orang yang berasal dari berbagai daerah, latar belakang budaya, dan negara berbeda, didatangkan untuk bekerja dalam kondisi yang sangat berat dengan upah yang minim dan hak-hak yang seringkali diabaikan. Mereka tinggal di pemukiman yang dibangun oleh pemerintah kolonial, dengan fasilitas yang sangat terbatas dan pengawasan yang ketat.
Lebih dari 100 (seratus) objek cagar budaya berupa bangunan-bangunan kolonial di Sawahlunto yang masih berdiri hingga kini menjadi saksi bisu dari masa lalu tersebut. Selain lubang tambang dan kereta uap Mak Itam yang ikonik, salah satu contoh yang penting adalah bangunan cagar budaya Hoofdkantoor Van de Steenkolenmijn, kantor administrasi tambang yang megah, yang dahulu menjadi pusat kendali operasi tambang. Hoofdkantoor Van de Steenkolenmijn adalah kantor administrasi pekerja tambang Batubara di kota Sawahlunto. Gedung ini dibangun pada tahun 1916 setelah Belanda memulai pertambangan di Sawahlunto pada tahun 1867 dan berproduksi pada tahun 1892. Catatan para pekerja, upah pekerja, dan laporan keuangan perusahaan semuanya terdapat di gedung ini. Bangunan ini dirancang dengan arsitektur Eropa yang mencerminkan kekuasaan dan otoritas pemerintah kolonial. Namun, di balik keindahan arsitektur tersebut, tersembunyi realitas pahit dari eksploitasi dan penindasan. Bangunan ini bukan hanya sekadar kantor, melainkan simbol dari dominasi kolonial yang menindas dan meminggirkan masyarakat lokal.
Rumah-rumah dinas untuk para pejabat tambang Belanda adalah contoh lain dari ketidakadilan sosial yang terjadi pada masa itu. Rumah-rumah ini dibangun dengan gaya arsitektur yang sama megahnya, lengkap dengan taman-taman yang tertata rapi dan fasilitas yang memadai: kontras dengan rumah-rumah pekerja tambang yang sederhana dan sering kali dalam kondisi yang buruk, rumah dinas ini mencerminkan kesenjangan yang nyata antara kehidupan para pejabat kolonial dan para pekerja tambang.

Etnofotografi dan Dekolonialisasi

Sembilan fotografer yang notabene sebagian besar berasal dan berdomisili di Sawahlunto, seluruhnya bersepakat melakukan pendekatan etnofotografi dalam pameran fotografi ini. Hal ini memungkinkan pengunjung untuk lebih memahami konteks kebudayaan, tata hidup, pengaturan, dan komunikasi dalam kehidupan sehari-hari di balik bangunan-bangunan cagar budaya tersebut. Etnofotografi berangkat dari etnografi, yang biasanya digunakan sebagai metode penelitian yang mendalam tentang kehidupan masyarakat, dapat membantu kita untuk melihat lebih dari sekadar permukaan arsitektur. Pendekatan ini menggali cerita-cerita yang ada di balik setiap bangunan; dari kisah-kisah pekerja tambang hingga dinamika sosial di pemukiman mereka.
Pendekatan visual yang digunakan dalam pameran foto ini memungkinkan pengunjung untuk melihat keindahan estetika dari bangunan-bangunan kolonial tersebut. Melalui permainan cahaya dan bayangan, komposisi yang cukup cermat, dan perspektif yang unik, para fotografer menangkap esensi dari arsitektur kolonial yang megah namun penuh makna. Artinya, ini tentu bukan hanya tentang melihat keindahan visual, tetapi juga tentang memahami cerita dan konteks di balik setiap bangunan cagar budaya. Melalui pameran dengan pendekatan etnofotografi ini, kita dapat melihat bagaimana kehidupan sehari-hari masyarakat Sawahlunto beradaptasi dengan kondisi yang ada melalui foto-foto yang diambil dengan sensitivitas etnografis. Foto-foto yang hadir di pameran, menangkap momen-momen kecil namun penuh makna, seperti: aktivitas harian di pemukiman warga pekerja tambang, interaksi sosial di antara berbagai komunitas etnis, dan cara-cara masyarakat lokal mempertahankan budaya mereka di tengah pengaruh kolonial yang telah menahun.
Pendekatan etnofotografi juga membantu kita untuk memahami dampak jangka panjang dari kolonialisme terhadap masyarakat Sawahlunto. Bagaimana warisan kolonial mempengaruhi struktur sosial, ekonomi, dan budaya mereka hingga hari ini? Bagaimana mereka merekonstruksi identitas mereka setelah masa kolonial berakhir? Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk dijawab dalam upaya kita untuk mendekolonialisasi narasi sejarah dan memberikan ruang bagi suara-suara lokal yang selama ini terpinggirkan.

Idul Adha di Lapangan Ombilin - Willy Pangeran, 2024

Idul Adha di Lapangan Ombilin – Willy Pangeran, 2024

Fotografer Willy Pangeran, misalnya, memotret peristiwa shalat Idul Adha di lapangan Ombilin. Foto yang diambil tampak atas dari lapangan yang dibangun tahun 1901 ini, difungsikan oleh masyarakat yang khususnya tinggal di Pasar Remaja, Kampung Teleng, Saringan, dan Tangsi Baru untuk shalat Iduladha dan tentu saja beragam aktivitas lainnya. Sunil Devanto, memotret Sawahlunto dari Puncak Polan, yang lengkap dengan visual arsitektur bangunan-bangunan serta pemandangan Bukit Barisan. Lewat narasi dan visual fotonya, Sunil mencoba menjabarkan mengapa Sawahlunto juga kerap disebut Hongkong di Malam Hari.

Ingatan Sizing Plant - Sunil Devanto, 2023

Ingatan Sizing Plant – Sunil Devanto, 2023

Willy dan Sunil juga mengambil objek foto atribut WTBOS lainnya, Sizing Plant, tempat operasi mesin pencuci batu bara sekaligus menjadi lokasi pengelompokan batu bara sebelum dikirim ke Silo untuk disimpan. Bangunan ini berada di kawasan Saringan. Sejak tak lagi beroperasi, lokasi di sekitar Sizing Plant dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas warga kota, di antaranya untuk lokasi pameran produk UMKM dan Kriya Seni kreasi dari komunitas warga kota. Soal Kriya Seni dari batu bara, fotografer Khairunas M Abdi menangkapnya dengan baik.

Kriya Emas Hitam Ombilin - Khairunas M Abdi, 2022

Kriya Emas Hitam Ombilin – Khairunas M Abdi, 2022

Di lokasi yang sama di sekitar Sizing Plant, saat ini terdapat Wall Climbing Silo setinggi 40 meter dan pernah digunakan untuk kejuaran nasional panjat tebing. Lokasi ini pernah menjadi tempat gelaran beberapa helatan seperti gelaran pertunjukan wayang kulit dan Sawahlunto International Music Festival (SIMFest). Bila Willy fokus pada objek bangunan, Sunil secara khusus mengambil foto saat Damkar (Pemadam Kebakaran) Kota Sawahlunto memberikan simulasi kepada anak SD tentang respon darurat saat kebakaran terjadi.
Bangunan cagar budaya lainnya, tampak pada foto Rocky Eko, Huddiyal Ilmi, dan Syukri. Rocky memotret bangunan penyuplai air untuk operasional batubara yang sudah ada sejak 1920 di era kolonial Belanda, di mana saat ini dialihfungsikan menjadi PDAM untuk Desa Rantih. Huddiyal Ilmi memotret Kampung Cina atau yang lebih dikenal dengan Pasar Remaja, lengkap dengan arsitektur bangunan jendela bergaya Eropa yang terdapat di lokasi tersebut. Sementara Syukri mencoba membingkai Silo dari kacamata narasi masyarakat, di mana bangunan Silo tersebut kerap disamakan dengan baterai yang tegak berdiri dan siap untuk dipergunakan untuk “menghidupi” berbagai hal.

Pasar Remaja di Kala Siang - Iing Patopang, 2017

Pasar Remaja di Kala Siang – Iing Patopang, 2017

Foto-foto yang dihadirkan fotografer, seolah ingin memberikan makna baru yang lebih inklusif dan adil pada warisan kolonial ini. Pengunjung dapat melihat bagaimana masyarakat lokal beradaptasi dengan kondisi kolonial, bagaimana mereka mempertahankan identitas budaya mereka, dan bagaimana mereka merekonstruksi identitas mereka setelah masa kolonial berakhir dan aktivitas pertambangan diakuisisi oleh negara. Pendekatan ini juga membantu untuk memahami dampak jangka panjang dari kolonialisme dan bagaimana kita dapat mendekolonialisasi narasi sejarah tersebut.
Upaya untuk dekolonialisasi juga tampak dan menjadi proses penting dalam memahami dan mereinterpretasi warisan kolonial pada pameran. Ini bukan tentang upaya menghapus jejak-jejak kolonial, tetapi lebih kepada memberikan makna baru yang lebih inklusif dan adil. Dalam konteks Sawahlunto, dekolonialisasi berarti mengakui dan menghargai kontribusi dari masyarakat lokal dan generasi keturunan pekerja tambang yang selama ini seringkali terabaikan dalam narasi sejarah. Pameran ini berupaya untuk menghadirkan suara-suara mereka yang selama ini tenggelam oleh dominasi kolonial.
Sembilan fotografer menyadari kearifan lokal dan multikulturalisme yang ada di Sawahlunto adalah aspek penting yang harus diangkat dalam proses dekolonialisasi: bahwa Sawahlunto, dengan segala keragaman dan kekayaannya, adalah contoh nyata dari bagaimana sebuah kota dapat berkembang dan bertransformasi melalui berbagai periode sejarah yang penuh tantangan. Mengangkat kisah-kisah lokal dan multikulturalisme yang ada secara organik, pameran foto ini ingin menunjukkan bahwa warisan budaya bukanlah sesuatu yang statis, melainkan sesuatu yang terus berkembang dan berubah seiring dengan waktu.
Sawahlunto bukan hanya kota tambang, tetapi juga rumah bagi berbagai komunitas etnis yang hidup berdampingan. Kehadiran etnis Minangkabau, Jawa, Tionghoa, Batak, dan lainnya telah membentuk mosaik budaya yang kaya dan dinamis. Kearifan lokal Minangkabau, dengan nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong, telah menjadi landasan bagi keberlangsungan hidup masyarakat Sawahlunto. Tradisi dan adat istiadat yang diwariskan dari generasi ke generasi mencerminkan ketahanan dan adaptasi masyarakat lokal terhadap perubahan zaman.
Interaksi antarbudaya di Sawahlunto juga menghasilkan budaya hibrida yang unik. Misalnya, adanya perpaduan antara arsitektur tradisional Minangkabau dengan elemen-elemen arsitektur kolonial Belanda dalam beberapa bangunan di Sawahlunto. Perpaduan ini mencerminkan bagaimana masyarakat lokal mampu beradaptasi dan mengambil elemen-elemen positif dari budaya lain, sambil tetap mempertahankan identitas mereka sendiri. Pengakuan terhadap keberadaan Bahasa Tansi atau juga lazim disebut Bahasa Tangsi yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Indonesia merupakan bentuk perlindungan terhadap bahasa yang lahir dari tidak kurang sepuluh bahasa etnis yang terdapat di Sawahlunto. Hal-hal tersebut turut dirangkum oleh lensa para fotografer.

Jaran Kepang Perempuan - Angelique Maria Cuaca, 2023

Jaran Kepang Perempuan – Angelique Maria Cuaca, 2023

Interaksi budaya hadir melalui karya foto dua fotografer tamu, Edy Utama dan Angelique Maria Cuaca. Edy Utama menghadirkan foto-foto prosesi multietnis, mulai dari Replika Tabuik dari Persatuan Keluarga Daerah Piaman (PKDP) yang tinggal di Sawahlunto, prosesi bajamba etnis Minang hingga potret kuliner khas masyarakat Batak Karo dan Toba yang tersaji pada sebuah gelaran peristiwa kebudayaan di kota ini. Sementara Angelique menghadirkan beberapa foto terkait seni pertunjukan tradisional yang hidup dan berkembang di Sawahlunto, mulai dari Reog, Kuda Kepang, dan wayang kulit, di mana peristiwa budayanya turut hadir pada helatan Galanggang Arang tahun 2023 lalu. Melalui fotonya, Angelique menggarisbawahi sudut pandang prosesi budaya dari berbagai bentuk kesenian tradisional tersebut, mulai dari pemain Jaran Kepang perempuan, doa dan mantra saat pembakaran kemenyan sebelum atraksi Kuda Kepang, hingga persoalan pewarisan budaya kepada anak-anak yang tertangkap melalui lensanya. Senada dengan Edy Utama dan Angelique, Syukri juga menghadirkan foto dalang wayang kulit yang ekspresif serta daya pikat musik keroncong yang berkembang di Sawahlunto.
Pameran fotografi ini juga ingin menyoroti bagaimana warisan kolonial dapat diberi makna baru yang lebih positif melalui praktik dan lakubudaya. Misalnya, bangunan-bangunan kolonial yang sebelumnya menjadi simbol kekuasaan dan dominasi, kini dapat diubah menjadi pusat-pusat budaya, aktivitas dan edukasi yang mengedepankan sejarah dan kontribusi masyarakat lokal. Frantikha Oktavianus memotret hal tersebut melalui lensa fotonya yang berjudul Reog dan Ombilin. Bagaimana kesenian rakyat tersebut terlihat gagah tampil pada ragam perhelatan besar kota di halaman Hoofdkantoor Van de Steenkolenmijn atau dikenal juga dengan nama Kantoor Ombilin Minjnen/ Kantor Utama PT. BA-UPO Sawahlunto, atau bagaimana Rocky Eko memotret pacuan kuda yang diambil saat kejuaraan nasional pacu kuda pordasi ke-57 seri II di Galanggang Pacuan Kuda Kandi. Lokasi gelanggang pacuan kuda tersebut unik, sebab sejarahnya lokasi tersebut berasal dari reklamasi tambang batubara di Sawahlunto. Foto-foto di lokasi tersebut memperlihatkan, warisan kolonial tidak lagi hanya menjadi pengingat akan masa lalu yang kelam, tetapi juga menjadi bagian dari identitas dan kebanggaan masyarakat lokal hari ini.

Dialog dan Refleksi Kritis 5 tahun WTBOS

Hal konkret dari upaya pemanfaatan properti WTBOS tentu saja adalah penggunaan Museum Goedang Ransoem, yang merupakan bangunan bekas gudang makanan untuk para pekerja tambang, sebagai lokasi pameran fotografi ini, baik di dalam maupun luar ruang. Ruang Relaksasi dan Komunitas Seni Rantai sebagai komunitas wadah bergiat tujuh fotografer muda yang terlibat dalam pameran ini, secara sadar berupaya melakukan pemanfaatan ruang publik atas properti dan atribut WTBOS. Transformasi fungsi bangunan kolonial menjadi tempat yang lebih relevan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat modern. Misalnya, gedung-gedung bekas kantor administrasi tambang kini dapat berfungsi sebagai pusat informasi dan edukasi sejarah, museum, atau pusat kegiatan seni dan budaya. Dengan demikian, bangunan ini tidak hanya menjadi monumen sejarah, tetapi juga tempat di mana masyarakat dapat belajar, berkumpul, dan merayakan identitas mereka.
Museum Goedang Ransoem ini kini pada berbagai kesempatan lain juga menjadi tempat untuk pameran, kegiatan budaya mengenang dan menghargai kerja keras para pekerja tambang, serta untuk mendidik generasi muda tentang sejarah dan warisan budaya di Sawahlunto. Dengan mengubah fungsi dan memanfaatkan bangunan kolonial ini melalui aktivasi serangkaian helatan budaya yang merespons properti dan atribut WTBOS sebagai ruang publik, kita dapat memberikan makna baru yang lebih inklusif dan menghargai kontribusi dari semua pihak yang terlibat dalam sejarah kota ini.
Melalui lensa para fotografer yang berpartisipasi dalam pameran ini, foto-foto mereka menjadi media edukasi dan refleksi. Saya kira, setiap foto yang ditampilkan tidak hanya merupakan karya seni visual, tetapi juga alat untuk menyampaikan pesan-pesan sejarah yang penting. Setiap foto adalah cerminan dari bagaimana warisan ini masih hidup dan bernafas dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Melalui deskripsi narasi visual yang informatif, setiap foto membantu pengunjung memahami latar belakang sejarah, fungsi, dan signifikansi dari objek yang ditampilkan. Pengunjung diajak untuk berinteraksi dengan sejarah melalui gambar-gambar yang disajikan, membuka ruang dialog tentang makna warisan dan masa depan kota Sawahlunto.
Kerja kuratorial penyelenggaraan helatan budaya Galanggang Arang 2023-2024 dan mungkin tahun depan, mengundang pengunjung untuk tidak hanya mengagumi keindahan visual dari atribut dan properti WTBOS yang merupakan bangunan-bangunan peninggalan kolonial, tetapi juga untuk merenungkan konteks sejarah dan sosial di baliknya. Salah satunya melalui pameran foto ini. Tim Kurator berharap dapat membuka ruang dialog yang konstruktif tentang pentingnya memahami dan menginterpretasi ulang warisan kolonial. Selaku kurator pameran foto dan helatan Galanggang Arang, kami berharap bahwa setiap pengunjung dapat merasakan kedalaman dan kompleksitas dari sejarah Sawahlunto. Setiap foto adalah undangan untuk melihat lebih dalam, untuk memahami kompleksitas sejarah, dan untuk mencari cara-cara baru dalam menghargai dan merawat warisan budaya kita.
Pada akhirnya, pameran fotografi ini adalah sebuah perjalanan. Perjalanan untuk melihat kembali masa lalu, untuk memahami bagaimana sejarah membentuk peradaban, dan upaya mencari cara baru untuk merawat dan menghargai warisan budaya kita. Melalui foto-foto yang ditampilkan, kami berharap dapat membuka pintu bagi dialog yang konstruktif dan reflektif tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan Sawahlunto. Penting bagi kami dan kita semua untuk terus menjaga dan merawat warisan budaya, serta dorongan untuk terus mendekolonialisasi narasi sejarah. Penting juga untuk terus mengkritisi dan merefleksikan warisan yang kita miliki, agar kita dapat menghargai masa lalu dengan cara yang lebih adil dan inklusif.
Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto adalah bagian penting dari sejarah Sumatera Barat dan Indonesia, tetapi kita harus memastikan bahwa cerita yang kita ceritakan tentang warisan ini mencakup semua perspektif dan suara yang ada. Hanya dengan demikian kita dapat membangun masa depan yang lebih baik, di mana warisan budaya ini menjadi sumber kebanggaan dan inspirasi bagi semua. Mari kita rayakan lima tahun penetapan WTBOS sebagai Situs Warisan Budaya Dunia dengan penuh kesadaran akan kompleksitas sejarah dan kekayaan budaya yang kita miliki. []

Open chat
1
Scan the code
Helpdesk
Halo 👋
Ada yang bisa kami bantu?