Dari sekian banyak karya tulis tentang sejarah tambang batubara Ombilin, yang berfokus membahas organisasi buruh tambang bisa dikatakan jarang sekali. Tema buruh juga kurang mendapat perhatian dalam penulisan sejarah Sumatera Barat. Penulisan sejarah Sumatera Barat periode 1900-an, lebih banyak menyoal pergerakan kaum elit dari organisasi dan sekolah keagamaan yang dilihat berhasil memodernisasi institusi-institusi tradisional seperti surau menjadi sekolah gaya barat. Atau tentang organisasi-organisasi radikal anti-kolonial seperti Sarekat Rakjat, serta sepak terjang organisasi Islam Politik seperti PERMI.
Padahal periode yang sama juga ditandai oleh munculnya organisasi-organisasi buruh di Sumatera Barat. Mulai dari organisasi buruh pelabuhan, organisasi buruh kereta api, dan organisasi buruh tambang batubara. Mereka tidak sekedar pengisi-isi lembar sejarah, mereka bukan figuran yang melakukan aksi mogok yang sporadis lalu menghilang. Bahkan dalam peristiwa sejarah sepenting Pemberontakan Silungkang 1927, peran mereka tampak tidak terlalu menonjol dibanding para pemimpin lokal dari Sarekat Rakjat.
Sebaliknya, mereka sangat terorganisir, atau setidaknya mencoba terorganisir dengan baik, memiliki tujuan-tujuan politik dan aksi untuk mencapai tujuan tersebut. Mereka menerbitkan surat kabar sendiri yang bicara pada buruh, sekaligus mewakili kepentingan buruh. Mereka merumuskan situasi secara berbeda dengan kebanyakan elit terdidik pada masa itu. Mereka punya kesadaran cukup kuat soal posisi pentingnya di tengah masyarakat kolonial. Mereka menyadari keterjajahannya, dan berhimpun tidak hanya untuk mendirikan benteng untuk melindungi kepentingan-kepentingannya, tapi menggulingkan kolonialisme.
Dan cara pandang seperti ini menyebar dengan cepat, direproduksi ulang oleh kalangan-kalangan di luar organisasi buruh. Jika Haji Datuak Batuah dilihat sebagai pelopor komunisme Islam di Sumatera Barat yang punya peran sejarah yang besar dan sejumlah pengikut yang antusias, kita juga harus ingat bahwa rekannya Natar Zainuddin sejatinya berasal dari VSTP. Natar tak hanya mengenalkan Datuak Batuah dengan komunisme, namun juga membantunya membentuk dan mengelola surat kabar serta kelompok-kelompok studi. Itu baru satu Natar.
Sejak pertamakali diberitakan melakukan aksi mogok pada 1922, organisasi-organisasi buruh di Sumatera Barat segera mendapat perhatian serius dari pemerintah kolonial yang sadar betul bahwa para buruh menyasar fasilitas-fasilitas vital kolonial seperti pelabuhan, pabrik semen, dan tambang batubara di Ombilin.
Karena itu pula, tak lama kemudian, hanya berselang 5 tahun, mereka disapu bersih. Sebagian hancur lebur, sebagian lagi bertransformasi menjadi organisasi yang lebih lunak dan ‘kooperatif’. Barangkali inilah yang membuat mereka seperti menjadi entitas yang invisible dalam sejarah Sumatera Barat. Stigma atas komunisme juga bisa dilihat sebagai salah satu sebab sepinya penulisan sejarah gerakan buruh.
Di sisi lain, penulisan sejarah soal organisasi-organisasi buruh dengan orientasi politik akomodatif pasca 1927, bisa membuat narasi besar ‘Minangkabau pemilik tradisi pemberontakan yang panjang’ terganggu, bahkan buyar. Heroisme gerakan Islam-politik radikal yang muncul pada awal-awal 1930-an yang dilihat sebagai kelanjutan tradisi pemberontakan di Minangkabau, dan diberi posisi sentral dalam penulisan sejarah Sumatera Barat di periode awal 1930-an, jelas tak bisa disandingkan dengan gerakan organisasi buruh yang lebih lembek dan lunak.
Padahal, peran, keaktoran, dan pengaruh mereka punya dampak besar dalam sejarah Sumatera Barat. Sampai taraf tertentu, ia bahkan mempengaruhi bidang-bidang di luar perburuhan.
Bahkan kajian mengenai organisasi buruh di Ombilin masih terasa begitu kurang, padahal tambang batubara itu adalah salah satu urat nadi perekonomian kolonial. Di tambang itu jugalah lahirnya Persatuan Kaoem Boeroeh Tambang–yang barangkali merupakan persatuan buruh tambang pertama di Hindia Belanda. Organisasi itu tak hanya segera mendapat pengikut, namun juga berniat mengembangkan organisasinya ke kawasan pertambangan lain di Hindia Belanda. Dari namanya, jelas mereka tak ingin membatasi organisasinya hanya untuk kalangan buruh tambang batubara. Sebaliknya, organisasi mereka diperuntukkan bagi seluruh Kaoem Boeroeh Tambang, terlepas dari jenis tambangnya.
Walau kini tersedia sumber sejarah cukup melimpah soal gerakan buruh di Sumatera Barat masa kolonial, selain karya monumental Erwiza Erman Miners, Managers and The State: A socio-political History of the Ombilin Coal-mines, West Sumatra, 1892-1996, dan beberapa karya Zaiyardam Adam yang menyinggung persoalan buruh, kita bisa berkata kepustakaan sejarah gerakan buruh di Sumatera Barat masih sangat kurang.
Meski begitu, tema gerakan buruh tetap menarik beberapa mahasiswa, salah satunya adalah Sri Pujianti dari FIB Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia. Pada 2010 lalu, ia menyelesaikan skripsi berjudul Perjuangan Kaum Buruh Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto: Dari Persatoean Kaoem Boeroeh Tambang (PKBT) hingga Vereeniging Boemiputra Staatsspoor, Tramwegen, Ombilin Mijnen en Landsautomobile op Sumatera (VBSTOL) 1925-1934.
Di tengah lowongnya kepustakaan sejarah gerakan buruh di Sumatera Barat, khususnya di Sawahlunto, skripsi ini bak harta karun. Berkisah mengenai awal-awal terbentuknya gerakan buruh yang diwakili oleh PKBT dengan surat kabarnya yang secara terang-terangan menentang kolonialisme, hingga bagaimana gerakan buruh di Sawahlunto itu terjerembab dalam politik akomodasi pasca gagalnya pemberontakan 1927 dengan VBSTOL sebagai representasinya. Dari politik perlawanan ke politik akomodasi. Demikian Sri merangkum satu dekade gerakan buruh di Ombilin yang ditulisnya.
Walau sekilas tampak seperti pengulangan dari karya Erwiza Erman, yang juga menyoroti pergeseran orientasi politik gerakan buruh di Sawahlunto sebelum dan setelah 1927, namun ada sejumlah informasi baru di dalamnya yang patut dicatat, terutama soal VBSTOL (Asosiasi Pegawai Pribumi Kereta Api, Tambang Ombilin, Tren, dan Angkutan Umum di Sumatera) dan kaitannya dengan INS Kayutanam.
Berisi lima bab dengan total halaman yang cukup tipis, yaitu 115 halaman termasuk lampiran-lampiran, Bab II skripsi ini digunakan Sri untuk menjelaskan konteks sejarah yang melatari lahirnya gerakan buruh di tambang batubara Ombilin. Hampir di seluruh Bab 2 begitu terasa pengaruh karya-karya Erwiza Erman dan Zaiyardam Zubir, di mana penekanan pada proses produksi batubara dengan buruh tambang sebagai korban (sekaligus aktor sentral) dilihat sebagai bahan bakar bagi berkobarnya gerakan anti-kolonial di kalangan buruh tambang.
Seperti dalam karya-karya Erman dan Zubir, di Bab II ini Sri juga menjelaskan pola-pola eksploitasi buruh, klasifikasi buruh tambang yang dirancang pemerintah kolonial, hingga keresahan-keresahan yang mulai muncul di kalangan buruh karena berbagai sebab seperti perlakuan kejam para mandor dan perbedaan upah di antara buruh berdasarkan klasifikasi yang dirancang pemerintah kolonial sendiri.
Di bab selanjutnya, Bab 3, Sri mulai membahas proses terbentuknya gerakan buruh yang terorganisir di Ombilin. Munculnya organisasi komunis seperti Sarekat Rakjat di Silungkang dan Sawahlunto dilihat Sri sebagai salah satu faktor penting yang mendorong terbentuknya PKBT. Kemunculan gerakan komunis di Ombilin itupun tak dilepaskan Sri dari gerakan komunis di Eropa yang kemudian menjalar ke Hindia Belanda, termasuk Sawahlunto dan sekitarnya.
Organisasi. Itulah kata kunci Bab III ini. Menurut Sri, pada 1924 saja, sudah ada beberapa organisasi buruh di Sumatera Barat seperti Sarekat Buruh Kereta Api yang berpusat di Batipuh, Sarekat Buruh Pelabuhan di Teluk Bayur (Emmahaven), hingga Persatuan Kaum Buruh Tambang di Sawahlunto.
Para pemimpin organisasi-organisasi ini, masih menurut Sri, adalah para anggota Sarekat Rakyat yang sebelumnya telah terbentuk di Sumatera Barat. Hal ini berarti sarekat-sarekat buruh itu terhubung langsung dengan Komite Sentral PKI di Jawa (hal. 39). Dengan demikian, Sri menempatkan gerakan buruh di Sawahlunto sebagai bagian dari gerakan yang lebih besar di Hindia Belanda dan belahan dunia lainnya.
Kemunculan berbagai organisasi politik di tahun-tahun awal 1920-an itu, dilihat Sri sebagai saat-saat dimulainya gerakan buruh dengan “pola-pola organisasi modern, seperti struktur politik, pembagian kerja, tujuan organisasi, dan pengerahan anggota” di Sumatera Barat (hal. 42). Di mulailah era-era rapat umum, rapat-rapat rahasia, kursus-kursus, serta upaya-upaya kaum komunis membangun kekuatan ekonomi dan persenjataan.
Di Sawahlunto, yang gerakan buruhnya menurut Sri sangat terpengaruh oleh gerakan komunis di Padang Panjang, didirikan Persatuan Kaum Buruh Tambang (PKBT) pada 12 April 1925. Pemimpinnya bernama Nawawi Arief, bekas pekerja tambang Ombilin. “Organisasi ini dibentuk dengan tujuan mempersatukan kaum buruh tambang di seluruh Indonesia” (hal, 43). PKBT juga menerbitkan surat kabar Soeara Tambang (dan kemudian Panas) sebagai saluran agitasi dan propaganda.
Statuten PKBT yang dikutip Sri dari Sorea Tambang edisi 30 April 1925, memperlihatkan bahwa organisasi ini pada awalnya memperlihatkan kecenderungan reformis. Salah satu seruan organisasi adalah “perbaikan peratoeran pekerdjaan,” dengan cara mengarsipkan dokumen-dokumen terkait perusahaan yang diikuti dengan “vergadering2 dan protes2”. Dalam statuten itu, PKBT juga menghimbau agar para buruh mendukung gerakannya baik dalam bentuk dukungan moral seperti menyebarluaskan Soeara Tambang, hingga bantuan dalam bentuk pikiran dan material. Namun seiring menajamnya kesadaran anti-kolonial di kalangan buruh tambang dan petani serta pedagang kecil di nagari-nagari sekitar Sawahlunto, politik anti-kolonial PKBT makin mengeras.
Selain Nawawi Arief, Sri juga menyoroti para pemimpin buruh lainnya yang tampaknya berasal dari berbagai latar belakang sosial dan etnis yang berbeda-beda. Ada F.A Loetan dan Ramaja yang sama seperti Nawawi dipecat perusahaan tambang karena bergabung dengan gerakan komunis. Juga disebut para pemimpin lainnya seperti Kasan Wijoyo, Idroes, Gazali, atau Rajo Bujang. Termasuk Salim Sutan Malenggang, seorang anggota VSTP yang dipecat karena mogok kerja pada 1923, yang tampaknya sudah memiliki pengalaman berorganisasi, layaknya Natar Zainuddin.
PKBT juga didukung oleh kalangan Haji, seperti Haji Mahmud dan Haji Bahuadin.[1] Para Haji yang umumnya pedagang ini, tampaknya menjadi salah satu tulang punggung organisasi. Keanggotaan organisasi ini memang tidak dibatasi di kalangan buruh tambang batubara saja. Sri juga mencatat adanya juru tulis Rumah Sakit Sawahlunto bernama Salim Abdul Munaf yang cukup aktif di organisasi.
Tak ada angka pasti jumlah anggota organisasi ini dari kalangan buruh tambang batubara. Tampaknya para buruh yang bergabung merahasiakan identitasnya untuk menghindari pemecatan yang makin marak semenjak berdirinya PKBT dan beredarnya Soera Tambang yang dibagikan gratis untuk para anggota PKBT.
Sama seperti surat kabar anti-kolonial lainnya, Soeara Tambang dan Panas, ditulis untuk rakyat kebanyakan. Karena tulisan-tulisan di dua koran inilah para pemimpin PKBT ditangkapi aparat kolonial dengan tuduhan “menyebarkan hasutan” pada para buruh untuk membenci pemerintah dan memberontak.
Setelah sempat lolos dari upaya penangkapan, Nawawi Arief dihukum 3,5 tahun penjara pada Agustus 1925. Sebagai editor Soeara Tambang, ia dituduh ikut menyebarkan kebencian dan dikenai persdelict. Nawawi Arief dipenjarakan di Cipinang, namun Soeara Tambang terus terbit dengan Idroes sebagai redaktur barunya dan PKBT beralih kepemimpinan ke Kasan Wijoyo.
Memasuki 1926, tensi politik makin tinggi, meski rapat-rapat mulai dilarang dan koran-koran dibredel. Seruan-seruan untuk mengambil alih tambang Ombilin mulai terdengar dari para buruh tambang: “tambang harus dikitakan.” Seruan ini disambut antusias oleh penduduk di Nagari-nagari sekitar tambang yang tertekan dalam banyak segi karena kehadiran tambang. Mereka adalah para pedagang lokal, ulama, guru-guru, hingga pemimpin adat, yang kini mendukung gagasan mengangkat senjata. Dan dukungan itu makin mengeras menjelang akhir tahun 1926.
Semua itu akhirnya menuntun mereka mengikuti suatu rapat rahasia di Sawahlunto pada malam pergantian tahun di mana mereka mematangkan rencana pemberontakan. Rencana itu disusun dengan detail, mulai dari pembagian kelompok dengan tugasnya masing-masing.
Pemberontakan pecah di banyak titik di Sawahlunto dan sekitarnya pada 1 Januari 1927 dan dipukul balik dengan keras oleh aparat kolonial yang telah mendapat bocoran soal rencana pemberontakan itu. 1300 orang ditangkap bersama ratusan bom, beberapa senjata api dan senjata tajam.
Dalam bab ini, Sri mulai menggunakan sumber-sumber primer yang bisa dikata langka, baik edisi Soeara Tambang yang diterbitkan PKBT sendiri, serta surat kabar-surat kabar berbahasa Melayu lainnya yang punya tendensi anti-kolonial yang kuat seperti Djago-djago, hingga koran-koran yang tergolong ‘netral’ seperti Pertimbangan.
Sayangnya, Sri, seperti Erman dan Zubir, tidak memberi gambaran lebih utuh dan lengkap soal tidak meletusnya pemberontakan para buruh tambang di Sawahlunto. Apa yang membuat gerakan buruh, yang sebelumnya tampak sangat siap untuk menggulingkan pemerintahan lokal, seperti menunda atau malah menolak keluar dari tansi-tansinya untuk ikut dalam arus pemberontakan di Nagari-nagari sekitar. Ini adalah pertanyaan penting yang jawabannya masih mengambang dan tidak memuaskan.
Bab 4 kemudian digunakan Sri untuk menjelaskan munculnya gaya politik baru gerakan buruh pasca gagalnya pemberontakan 1927. VBSTOL yang sebenarnya telah terbentuk pada 1922, tiba-tiba muncul mengisi kekosongan kepemimpinan buruh setelah PKBT hancur. Organisasi buruh yang sebelumnya antara ada dan tiada kini jadi wadah baru bagi kaum buruh, ketika mereka mengaktifkan lagi organisasinya pada 1928.
Dimulailah masa-masa ‘politik akomodasi’ kaum buruh. Krisis ekonomi pada awal 1930-an, ikut mempengaruhi perubahan orientasi gerakan buruh di Ombilin, ketika para petinggi tambang berkebangsaan Eropa diganti dengan para Indo demi penghematan biaya operasional tambang.
Orang-orang Indo ini lebih dekat dengan para buruh dibanding petinggi berdarah Eropa totok. Mereka menguasai bahasa Melayu, Jawa dan Minang dan lebih kenal dengan dunia buruh, memanfaatkan itu semua untuk menjalin hubungan dengan para buruh dan pemimpinnya baik pemimpin VBSTOL, maupun pemimpin organisasi-organisasi buruh yang bermunculan pasca 1927.
Ada beberapa organisasi buruh baru yang muncul pada masa-masa peralihan orientasi gerakan buruh ini, terutama di akhir-akhir 1930-an. Selain VBSTOL yang sudah ada sebelumnya, kini ada organisasi bernama Asosiasi Personil Pribumi Pertambangan, Club Silaturahim, serta Klub Personil Pribumi Pertambangan (SIPOM).
Berbeda dengan PKBT, organisasi-organisasi buruh baru ini lebih bersahabat dengan pemerintahan kolonial. Saat meminta kenaikan upah dan perbaikan kondisi kerja, mereka melakukannya dengan cara-cara persuasif.
Para pekerja paksa, lapisan buruh yang paling potensial untuk menggalang pemberontakan, diasingkan pasca 1927 di suatu tansi khusus. Keberadaanya perlahan dikurangi, dan digantikan dengan tenaga kerja lepas.
VBSTOL, yang sedari awal menunjukkan sikap politik akomodasi, makin diakomodir oleh pengelola tambang dan pemerintah kolonial. Organisasi yang awalnya bernama Organisasi Pegawai Kereta Api Bumiputra (VBPSS ini, diisi oleh para pribumi pegawai negeri kolonial. Mereka menempati posisi yang cukup menguntungkan dalam struktur masyarakat tambang Sawahlunto, mereka hanya satu tingkat di bawah para pekerja dan petinggi perusahaan yang kini kebanyakan diisi oleh para Indo.
Ketika ingin memperluas cakupan keanggotaan, para pengurus VBPSS mengubah nama organisasinya menjadi VBSTOL pada 1929 di mana para pegawai bumiputra yang tersebar di berbagai bidang pekerjaan, seperti operator trem dan pengemudi mobil dinas kolonial, bisa mendaftar sebagai anggota.
Berbasis di Padang, organisasi ini dipimpin oleh A Rachman, dengan beberapa cabang di kota-kota penting di Sumbar, termasuk di Sawahlunto, di mana jumlah keanggotaannya terus meningkat sejak 1930-an awal.
Sembari menuntut beberapa perubahan terkait kesejahteraan para anggotanya dengan cara baik-baik, organisasi ini juga membuat beberapa upaya untuk menaikkan taraf hidup anggotanya meski tanpa bantuan pemerintah, seperti program “Tolong Menolong” di mana para anggota bakal mendapat pertolongan ekonomi jika dibutuhkan yang diambil dari uang kas organisasi.
Program itu dirancang untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar pensiunan pegawai serta para pegawai yang kena pecat. Semua dilakukan tanpa pendanaan dari pemerintah–perkembangan yang pastinya sangat membuat gembira para teknokrat kolonial yang sejak awal 1900-an mengimpikan munculnya masyarakat jajahan yang bisa mengurus diri sendiri, tahu balas budi, dan tidak membuat repot pemerintah.
Pada 1926, VBSTOL yang waktu itu masih bernama VPBSS, bekerjasama dengan M Sjafe’i mendirikan INS Kayu Tanam. Committee Derma INS dibentuk khusus untuk menyalurkan donasi ke sekolah tersebit. Banyak pihak ikut serta dalam pendirian sekolah ini, mulai dari pemimpin VPBSS, Asisten Demang hingga Mantri Polisi yang mengawal proses pendirian sekolah ini hingga diresmikan pada 1 Agustus 1926 oleh orang-orang yang sama.
Para petinggi VBSTOL dan Sjafe’i sendiri, berharap sekolah ini mampu melahirkan individu-individu mandiri dengan keahlian masing-masing, yang tidak bergantung kepada pihak manapun. Setelah berjalan 4 tahun, INS dianggap sukses. INS cabang Sawahlunto pun didirikan pada 1931 dengan dukungan para saudagar.
Seperti PKBT, VBSTOL juga punya koran bernama Pertimbangan yang diterbitkan di Padang sejak 1929. Surat kabar ini sebagian besar isinya berita tentang berbagai kegiatan sosial VBSTOL. Sebagai organisasi resmi dan korannya yang juga resmi, VBSTOL dan Pertimbangan bisa bergerak leluasa. Organisasi itu, serta tulisan-tulisan di Pertimbangan, sama sekali bukan ancaman bagi pemerintah kolonial.
VBSTOL mulai mengalami kemunduran pada awal 1930-an. Krisis ekonomi global memukul Hindia Belanda. Eksistensi organisasi yang bergantung pada iuran anggotanya ini tergoncang ketika pemerintah kolonial memangkas upah pegawai pribumi hingga 20%. Iuran anggota macet jadinya. Para pegawai kolonial anggota VBSTOL lebih memilih berhemat dan memprioritaskan keuangan keluarga ketimbang organisasi. Pendanaan INS dihentikan pada 1932. Kemunduran terus terjadi hingga akhirnya organisasi ini bubar pada 1934.
INS yang telah benar-benar mandiri, bergabung dalam gerakan ‘perlawanan tanpa kekerasan’ yang digalang oleh K.H Dewantara bersama Taman Siswa-nya demi menolak Ordonansi Sekolah dari pemerintah kolonial.
Di Bab 5, Sri menyimpulkan bahwa gerakan buruh radikal di Sawahlunto dipicu perkembangan organisasi-organisasi komunis di Sumatera Barat sejak awal 1920-an. PKBT adalah bagian dari perkembangan tersebut. Setelah gerakan ini hancur pasca pemberontakan 1927, model gerakan buruh yang akomodatif terhadap kebijakan pemerintah kolonial pun muncul.
VBSTOL memakai model politik yang akomodatif ini dan mengerahkan energinya untuk bergerak di bidang pendidikan. Berdirinya INS adalah salah satu bentuk gerakan buruh baru tersebut.
Kedua organisasi tersebut dilihat Sri lahir dari dua konteks sejarah yang berbeda. “PKBT lahir dan berkembeng ketika radikalisme mencapai puncaknya” kata Sri. Sementara VBSTOL muncul saat pemerintah kolonial menerapkan kontrol lebih ketat terhadap organisasi buruh dan organisasi politik. Krisis ekonomi pada awal 1930-an, ikut mempengaruhi watak kooperatif VBSTOL.
Kesimpulan Sri ini tak jauh berbeda dengan hasil studi Erwiza Erman soal pergeseran orientasi organisasi buruh di Sawahlunto dari gerakan perlawanan terang-terangan kaum buruh menjadi gerakan buruh yang lebih akomodatif.
Jika Erman hanya menyinggung sedikit VBSTOL sebagai salah satu contoh organisasi buruh dengan politik akomodatif, Sri membahas VBSTOL secara lebih lengkap. Mulai dari daftar nama para petinggi organisasi, hingga upaya organisasi ini membangun sekolah seperti INS sebagai bentuk dari ‘aktivisme baru’ organisasi buruh pasca pemberontakan komunis 1927.
Sayangnya, Sri tidak membahas lebih jauh misalnya soal bagaimana sesungguhnya para anggota VBSTOL melihat posisi mereka dalam struktur masyarakat kolonial. Apakah mereka melihat organisasinya sebagai organisasi buruh atau sebagai perkumpulan ambtenaar dari lapisan sosial yang berbeda yang sebagian besar kegiatannya bersifat a-apolitis.
Jika para ambtenaar di VBSTOL ini melihat dirinya berbeda dengan para buruh umumnya, apa yang menjadi sebabnya. Apakah cara pandang ini dibentuk dan dicangkokkan pemerintah kolonial atau sesuatu yang sifatnya alamiah?
Kalau persoalan ini diteliti lebih luas dan dalam, kita barangkali bisa mendapat gambaran soal asal-usul pengaburan atau pemisahan konseptual antara buruh dan pegawai/karyawan yang juga jadi salah satu agenda utama rezim otoriter Orde Baru yang berhasil dan dampaknya masih terasa hingga saat ini.
Skripsi ini juga kurang memberi perhatian soal dalamnya jurang perbedaan ideologis antara organisasi buruh sebelum 1927 dan organisasi buruh yang muncul setelahnya.
Demikian pula jika analisis atas hubungan antara VBSTOL dan INS diperdalam. Kita mungkin bisa mendapat gambaran lebih utuh soal hubungan antara industri pertambangan batubara kolonial dengan segala fasilitas pendukungnya dengan gerakan buruh pasca 1927 dan gerakan di ranah pendidikan di Sumatera Barat. Sejauh apa politik akomodatif VBSTOL mempengaruhi model pendidikan INS, misalnya, juga bisa dikembangkan jadi penelitian tersendiri. (*)
Judul Skripsi: Perjuangan Kaum Buruh Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto: Dari Persatoean Kaoem Boeroeh Tambang (PKBT) hingga Vereeniging Boemipoetra Staatsspoor, Tramwegen, Ombilin Mijnen en Landsautomobile op Sumatera (VBSTOL) 1925-1934.
Penulis: Sri Pujianti
Tahun: 2010.
Jumlah Halaman: 115.
Lembaga: FIB Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia.
Catatan Kaki:
[1] Sejarawan Fikrul Hanif Sufyan, yang punya kepakaran soal sejarah gerakan Islam-Komunis di Sumatera Barat, mengatakan bahwa Nawawai Arief pun menyandang gelar Haji. Saya sependapat dengannya karena NawawI Arif dalam koran-koran berbahasa Belanda disebut sering memberi “ceramah komunis” di Masjid-masjid.