Kawasan WTBOS yang merentang dari Sawahlunto hingga Teluk Bayur penuh dengan ruang-ruang publik. Stasiun-stasiun hingga bangunan-bangunan penunjangnya punya potensi untuk dikembangkan menjadi ruang publik yang diisi berbagai kegiatan kreatif oleh komunitas-komunitas penggerak di sepanjang kawasan WTBOS, salah satunya Stasiun Kereta Api Kota Solok.  

Namun bagaimana formula yang tepat untuk memanfaatkan ruang-ruang publik seperti stasiun di kawasan WTBOS, khususnya Solok? Lebih jauh, apakah ada hambatan-hambatan birokrasi dan hambatan lainnya yang kini dihadapi komunitas penggerak dan anak nagari dalam memanfaatkan ruang-ruang publik tersebut? 

Secara umum, pertanyaan-pertanyaan di atas dibahas dalam Lokakarya Pemanfaatan Ruang Publik WTBOS yang berlangsung di Terumbu Karang Resto, Kota Solo, 22 Juni 2024. Lokakarya ini adalah bagian dari rangkaian kegiatan Galanggang Arang #2 Kota Solok. 

Diikuti oleh puluhan pelaku budaya, komunitas, dan niniak mamak di sepanjang kawasan WTBOS.  Perupa Jumadil Alfi dan Handiwirman Saputra didapuk sebagai narasumber dengan Ivan Adilla sebagai moderator. 

Jumadil Alfi dan Handiwirman Saputra membuka lokakarya dengan membagi pengalamannya ketika terlibat dalam membangun ruang publik di beberapa daerah serta pengamatannya atas ruang-ruang publik di negara lain yang berhasil diubah menjadi ruang kreatif, seperti ruang pamer karya-karya rupa.

Berdasarkan pengalaman di beberapa daerah seperti Jogja, mereka berdua menekankan pentingnya peran komunitas dan masyarakat dalam membangun ruang publik menjadi ruang kreatif.  

Begitupun di negara seperti Jerman. Dalam kunjungannya ke negeri tersebut beberapa waktu lalu, Jumaldi dan Handiwirman melihat bagaimana bekas-bekas dermaga diubah oleh komunitas lokal dan para seniman menjadi ruang kreatif.

“Ada distrik 98 di Jerman, bekas pabrik militer, yang dihidupkan oleh seniman dan warga lokal menjadi ruang pameran. Kini ruang itu hidup,” kata perupa kelahiran Lintau, Sumbar, yang kini bergiat di Yogyakarta. 

“Kedua, di daerah perbatasan Berlin. Ada satu wilayah bekas konflik yang dibangun seniman dan komunitas. Hidup sebagai ruang kreatif. Dan menghilangkan stigma sebagai wilayah gelap atau kelam,” tambahnya memberi contoh lain betapa gerakan budaya bisa berdampak pada suatu komunitas. 

Setelah memberi gambaran bagaimana pemanfaatan ruang publik di tempat lain, perbincangan dalam lokakarya mengarah ke soal bagaimana pengimplementasian yang cocok dengan kawasan WTBOS seperti Stasiun Kereta Api Kota Solok. 

Peserta lokakarya seperti Afrial, mantan pegawai kereta api, yang kini juga tergabung dalam komunitas pecinta kereta api, melihat bahwa semua yang bisa terjadi di tempat lain belum tentu bisa diterapkan di Solok. 

Salah satu sebabnya adalah tidak terdokumentasikan dan terdistribusikannya kisah-kisah sejarah di balik bangunan seperti stasiun ke generasi hari ini. Hal yang sama juga diamati oleh Maria, dari Bareh Solok Heritage Network. Ia baru saja menelusuri WTBOS di Stasiun Solok. Temuannya menunjukkan banyak pelajaran yang tidak kenal lagi dengan sejarah WBTOS di Solok

Masih minimnya produksi narasi atau cerita di balik bangunan-bangunan WTBOS, dilihat sebagai salah satu hambatan dalam mendorong pemanfaatan ruang publik. 

Sebagai informasi, salah satu program Galanggang Arang #2 Solok adalah produksi buku memori kolektif WTBOS Kota Solok yang dikerjakan oleh komunitas fotografi di Solok bernama Komunitas Gajah Maharam.  

Di samping masih kurangnya produksi narasi mengenai sejarah dan budaya yang hidup di kawasan WTBOS, juga ada hambatan di tataran birokrasi.  

Yayuk Sri Budi Rahayu dari Dirjen Kebudayaan Kemdikbudtekristi yang juga ikut dalam lokakarya, memaparkan beberapa persoalan birokrasi terkait WTBOS. Namun kerumitan tersebut terus dibenahi. Telah dilangsungkan beberapa kali pertemuan antar instansi untuk menyelaraskan persepsi mengenai pengelolaan WTBOS. Ia pun optimis, kedepannya akan lebih baik. 

Peran aktif pemerintah memang mendapat sorotan dari peserta lokakarya. Komunitas-komunitas penggerak di tingkat lokal serta anak nagari, perlu bekerjasama dengan pemerintah untuk memanfaatkan secara optimal ruang-ruang publik WTBOS. 

Salah satu peserta diskusi Ermi, melihat ruang publik seperti Stasiun Solok sangat berpotensi dikembangkan. Hanya saja, komunitas tidak punya anggaran. “Jadi ide atau gagasan yang ada, tidak bisa terlaksana. Komunitas tidak bisa bergerak sendiri,” katanya sambil menekankan perlunya dorongan pendanaan dari pemerintah.

Kurator-kurator Galanggang Arang yang juga hadir dalam lokakarya juga turut memberi gambaran kegiatan aktivasi ruang publik WTBOS oleh komunitas. 

Salah satu Kurator Galanggang Arang Mahatma Muhammad menyampaikan refleksi atas kegiatan Galanggang Arang 2023 lalu, saat ia mencoba memanfaatkan ruang-ruang publik WTBOS. Beberapa ruang bisa diubah menjadi ruang pameran karya rupa dengan melibatkan masyarakat dan komunitas lokal. Tapi ia masih menilai ada beberapa hal yang mesti dibenahi. Karena itu ia sepakat untuk mencari strategi pemanfaatan ruang publik WTBOS yang benar-benar berdampak dan bersifat substantif dan inklusif. 

Sementara Kurator Galanggang Arang lainnya, Donny Eros, mengingatkan soal semangat Galanggang Arang dalam merespon situs-situs WTBOS secara kreatif dengan memanfaatkan ruang-ruang publik, dalam hal ini ruang publik digital. 

Rumusan baku tentang pemanfaatan ruang publik memang belum berhasil ditentukan. Butuh percobaan terus menerus agar pola yang ideal bisa ditemukan, di mana ruang publik benar-benar bisa memberdayakan komunitas dan masyarakat lokal dan menjadi bagian penting dari ekosistem kebudayaan yang berkelanjutan. (*)

 

Open chat
1
Scan the code
Helpdesk
Halo 👋
Ada yang bisa kami bantu?