Bayangkan sebuah pohon besar. Pohon itu sedang tumbuh, dengan akarnya, dahan-dahannya, daun-daunnya, juga buahnya. Suatu hari orang-orang asing datang, menebang pohon yang tengah tumbuh itu dekat bagian pucuknya, menebas dahan-dahannya, lalu mencangkokkan beberapa jenis pohon berbeda di sana-sini. Mereka lalu membagi-bagi pohon itu. Satu dahan untuk si penebang A, bagian pucuk untuk si B, dst. Pohon itu terus tumbuh. Meski ia bukan lagi pohon yang sama, namun akarnya, dan bagian-bagian bawahnya masihlah pohon yang lama yang tumbuh di tanah dan iklim yang spesifik.
Begitulah kira-kira gambaran perkembangan sejarah Negeri Bawah Angin atau apa yang secara umum disebut Asia Tenggara Hari ini pada abad ke-15 hingga abad ke-17–dua abad yang penuh perubahan penting.
Negeri Bawah Angin adalah suatu kawasan, suatu bentang wilayah dengan kondisi-kondisi alam yang khas dan khusus hasil dari suatu proses alam yang teramat panjang. Lembah-lembah subur di dataran tingginya menyediakan benteng alami bagi terbentuknya kantong-kantong pemukiman yang kemudian berkembang menjadi kantong-kantong kebudayaan (dan pusat-pusat kekuasaan) dengan sungai-sungainya yang lebar, laut yang penuh protein dan anginnya yang bagus untuk pelayaran serta tanahnya yang menyediakan berbagai jenis mineral alam dan logam
Sebelum bangsa-bangsa dari Barat datang menjajah, kawasan itu tengah berkembang pesat.
Satu kantong dengan kantong lainnya, dihubungkan oleh dan sungai-sungai, lautan, dan jaringan jalan setapak. Tidak hanya barang dagangan yang mereka salur dan pertukarkan, namun juga ilmu pengetahuan mulai dari kesusastraan, tata pemerintahan, pengobatan, agama, hingga teknologi pelayaran. Lautnya tidak hanya jadi penghubung ‘di rumah sendiri’, namun juga menjadi jalan raya yang menghubungkannya dengan kawasan-kawasan lain di timur dan barat yang jauh.
Itulah pohon besar, yang kita sebut saja dengan mana Pohon Asia Tenggara. Seiring waktu, lewat jaringan-jaringan penghubung itu, bibit-bibit pohon itu ikut tersebar. Pohon-pohon baru tumbuh, berkecambah, tersebar di dataran tinggi dan pesisir Negeri Bawah Angin, termasuk di bagian tengah dataran tinggi Sumatera. Kini orang menyebutnya Minangkabau.
Untuk kemudahan membaca tulisan ini, mari kita sebut saja ia sebagai Pohon Minangkabau. Anak pohon yang tengah tumbuh dan sebagaimana pohon induknya, ia pun ditebang dan dicangkok dengan jenis-jenis pohon lain.
Bagaimana arah pertumbuhan dan masa depan pohon-pohon itu tidak bisa diduga. Yang jelas, sejak bangsa-bangsa asing datang lalu menjajah, ia bukan lagi pohon-pohon yang sama, namun akarnya dan bagian-bagian bawahnya masihlah pohon yang lama yang tumbuh dan berasal dari bentang sejarah spesifik.
**
Hingga kini, kita selalu diperdengarkan kisah mengenai sejarah ‘tiga serangkai’, yang konon disebut simbol modernitas itu. ‘Tiga serangkai’ ini ialah kota Sawahlunto dengan tambang-tambang batubaranya, jaringan kereta api, dan pelabuhan Emmahaven.
Diceritakanlah seorang insinyur cerdas dan pemberani bernama De Greeve yang menemukan deposit batubara dengan kualitas nomor satu di sekitar Sawahlunto. Para teknokrat dan pemodal di Belanda lalu berdebat soal siapa yang bakal mengeruk batubara itu: negara atau swasta. Rencana-rencana eksploitasi batubara yang gigantik dan memukau bermunculan. Pihak swasta menang dengan rencana pembangunan dan anggarannya yang efektif menang. Dimulailah mega proyek pembangunan Tiga Serangkai itu.
Peralatan-peralatan paling canggih dari ‘abad uap’ berdatangan, menundukkan alam raya yang liar dan sakral itu. Bukit-bukit dilobangi, jurang-jurang dan sungai-sungai diberi jembatan besi yang kokoh, rel-rel ditanamkan, tebing-tebing tinggi bisa dilubangi dan didaki, ombak ganas pantai barat sumatera dijinakkan, turbin-turbin menerangi kota-kota.
Dimulailah suatu kisah yang ambivalen, pandangan mendua dalam melihat masa lalu kolonial. Modernitas itu telah melahirkan kota-kota yang kosmopolit, dengan para pelajar dan intelektualnya yang brilian, koran-koran milik pribumi yang membludak, serta munculnya berbagai kelompok studi. Di saat yang sama ia juga melahirkan malapetaka: ketimpangan ekonomi, penumpasan-penumpasan gerakan politik, terkikisnya adat dan agama, surau lengang, rumah gadang melapuk, tanah ulayat berkurang, keluarga-keluarga tradisional tercerai berai.
Paradoks itu juga mengitari Tiga Serangkai. Kota Sawahlunto memang menjelma kota yang masyhur, dengan rumah sakit tercanggih, bioskop dan societetnya, dan turbin listrik yang menghasilkan cahaya yang hanya bisa dikalahkan oleh Hongkong, namun ia juga dibangun di atas darah dan tulang para pekerja paksa. Demikian juga dengan jaringan rel kereta api dan Emmahaven. Keberadaannya dilihat punya kontribusi besar untuk kemajuan masyarakat, lokomotif dan gerbong-gerbongnya dan kapal-kapal itu tidak hanya mengangkut batubara tapi juga menjalarkan gagasan-gagasan baru, termasuk gagasan yang hari ini kita sebut nilai kemanusiaan. Tapi ia juga dibangun dengan perbudakan dan penghinaan atas kemanusiaan.
Kondisi-kondisi di atas adalah fakta. Namun ketika fakta-fakta sejarah itu dirangkai, seperti telah dilihat, hasilnya adalah suatu konstruksi sejarah yang ambivalen. Sebagian penulis berpuas diri dengan menyajikan fakta-fakta itu apa adanya. Menyandingkan satu fakta dengan fakta lainnya, membentangkan data sebanyak-banyaknya dan apa adanya, lalu menyerahkan penilaian pada sidang pembaca.
Sayangnya, penjelasan (eksplanasi) ala Rankean macam ini sama sekali tidak memberikan makna dan pemahaman sejarah apa-apa atas Tiga Serangkai, kecuali suatu masa lalu yang penuh paradoks. Saat membaca kisah-kisah paradoksal macam itu, orang hanya akan menjadi bimbang, gusar karena tidak punya pijakan jelas untuk memaknai sejarahnya sendiri.
Semua diperparah oleh pengabaian sejarah sebagai proses. Teks-teks mengenai sejarah ‘tiga serangkai’ umumnya menempatkan periode ‘djaman madjoe’ itu sebagai sesuatu yang jatuh begitu saja dari atas langit. Periode itu dilihat seolah tak berhubungan dengan periode sebelumnya. Meski teks-teks tersebut berupaya memberi konteks historis kemunculan si ‘tiga serangkai’, namun konteks historis itu pun disederhanakan lagi menjadi ‘semangat zaman’ (zeitgeist).
Pendekatan ala-ala filsafat idealis ini akhirnya mendorong munculnya tafsir sejarah moralis yang dikotomis: modern-tradisional/terbelakang, kejam-luhur, jahat-baik, dst. Sejarah Tiga Serangkai akhirnya tidak hanya terlepas dari periode sejarah yang mengondisikannya namun juga jadi moralis, dan serba mendua. Kisahnya adalah suatu masa silam yang mengambang dan penuh kekaburan, di mana kemajuan dan keterbelakangan, kejahatan kolonial dan keluhuran para pahlawan, bercampur baur tak keruan.
Kekacauan penulisan sejarah itu lalu berimbas ke bidang lainnya. Kebanyakan teks mengenainya, yang masih memakai pendekatan Rankean yang bercampur aduk dengan filsafat sejarah idealis itu, ditulis dalam agenda pembangunan pariwisata.
Kebingungan makin merebak ketika Tiga Serangkai itu kini dikenal sebagai Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto (WTBOS) dan menyandang status sebagai Warisan Dunia, lalu diaktivasi dengan sebuah festival.
Orang-orang menjadi gelisah. Di samping gelisah karena efek ekonomi status tersebut belum benar-benar terasa, orang-orang juga gelisah karena harus memaknai masa lalunya yang mengambang tak jelas dan penuh paradoks. Seolah-olah ia adalah bagian dari pohon yang tak punya pangkal dan akar.
Karena itulah timbul pertanyaan-pertanyaan seperti “Siapa sebetulnya pemilik WTBOS?” “Dari siapa kita mewarisinya?” “Bagaimana mungkin mewarisi yang dibikin oleh suatu sistem yang pure evil, lalu kita kini wajib menjaganya?”
Semua kegusaran itu hanya bisa dijawab jika kita kembali ke pangkal Pohon Minangkabau. Melihat bagaimana kondisi pohon itu sebelum para penebang itu datang dan hubungannya dengan pohon induknya dan pohon-pohon seketurunan lainya. Dengan kata lain, kita harus melihat kondisi-kondisi sebelum para penjajah itu datang, sebelum mereka menebang pohon itu dan mencangkokkan bagian-bagian baru. Hanya dengan cara ini kita bisa memahami sejarah WTBOS secara lebih mendalam dan bermakna.
**
Saat ini tengah beredar satu konsep yang disebut tradisional owner. Konsep ini berkembang pesat terutama di Australia dan dibangun demi mempertahankan cagar-cagar Aborigin yang terancam oleh paradigma otoritas setempat yang meleset atas ‘heritage’ dan ancaman ekspansi industri pertambangan. Di Victoria, konsep ini bahkan telah diakui secara hukum.
Mengutip Cambdrige Dictionary, tradisional owner ialah “… seseorang, atau kelompok orang, yang memiliki hubungan dengan para leluhur serta pendahulunya yang hidup di masa lalu. Para leluhur ini punya koneksi atas suatu lahan dan kawasan sebelum orang-orang Eropa datang.”[1]
Konsep ini secara umum melihat bahwa berbagai sub-suku Aborigin di Benua itu sebagai pemilik sah beberapa situs. Jauh sebelum Inggris menjadikannya daerah jajahan, orang-orang Aborgin telah ada di sana. Mereka telah membangun situs-situs, melekatkan nilai-nilai pada situs itu sesuai kebutuhan masing-masing sub-suku/komunitas lokal, termasuk klaim atas teritori, hingga membangun dan mengembangkan berbagai praktek kebudayaan yang terus diwariskan hingga kolonialisme Inggris menghambatnya. Merekalah para tradisional owner.
Apa yang penting digarisbawahi dalam konsep ini ialah penekanannya pada visi yang berkesinambungan atas masa lalu dan masa kini.
Pertama, konsep ini menekankan pada apa-apa yang yang ada sebelum Inggris datang untuk menjarah di benua tersebut, tak sebatas praktek kebudayaan yang abstrak namun juga mencakup bentang alam yang memungkinkan terbentuknya praktek-praktek budaya tersebut.
Kedua, konsep ini mulai berkembang beriringan dengan makin masifnya ekspansi industri pertambangan di beberapa Negara Bagian seperti Victoria. Para tradisional owner di Victoria mendorong diakuinya konsep tradisional owner sebagai objek hukum formal serta membangun Victorian Aboriginal Heritage Council dan mendirikan badan independen khusus terutama untuk mengurus cagar alam yang terancam pembangunan tambang.
Dengan kata lain, di balik konsep tersebut ada kesadaran bahwa sebentuk kolonialisme baru tengah mengancam mereka; bahwa kolonialisme belum sepenuhnya enyah.
Karena konsep ini melihat masa lalu dan masa kini sebagai suatu kesatuan, di saat berupaya memulihkan efek merusak kolonialisme di masa lalu, mereka juga memperjuangkan eksistensinya di masa kini. Dan penting untuk diperhatikan, sekali lagi, apa yang konsep ini tekankan adalah apa-apa yang ada sebelum kolonialisme dan industri pertambangan datang.
**
Dalam kasus WTBOS, apa-apa yang ada sebelum penjajah Belanda datang, kurang mendapat perhatian dalam berbagai literatur yang tersedia, seperti telah disinggung di atas. Jika pun ada perhatian ke arah itu, ia hanya disinggung sepintas sebagai bagian kecil dari sejarah munculnya tambang batubara dan Kota Sawahlunto. Dalam literatur seperti ini, apa-apa yang ada sebelum De Greeve datang hanya terbatas pada status bakal tambang itu sebagai ulayat atau taratak dari suatu Nagari. Karena beberapa tetua adat yang culas, atau malah diklaim punya visi cemerlang, maka dapatlah oleh Belanda konsesi pembangunan tambang.
Demikian pula dengan pembangunan rel kereta api di sepanjang kawasan WTBOS. Sebagian besar jalur kereta api itu, jika tak bisa disebut seluruhnya, adalah ulayat. Baik ulayat kaum atau Nagari.
Tapi dalam literatur-literatur yang tersedia, Ulayat atau taratak itu pun dilihat sebagai entitas yang terlepas dari proses sejarah sebelumnya, terpisah dari sejarah masyarakat yang memungkinkan adanya suatu Nagari bersama sistem kepemilikan bersama bernama ulayat itu. Ringkasnya, sejarah tentang Tiga Serangkai mengabaikan apa-apa yang ada sebelumnya sebagai suatu hasil dari proses sejarah yang panjang, yang ditulis hanya apa yang ada ketika tambang dan kota Sawahlunto mulai dibangun berikut jaringan rel kereta api dan Emmahaven sebagai sarana distribusi batubara.
Sejauh ini, begitulah sejarah WTBOS: hanya ditulis dari dimulainya proses penebangan hingga pencangkokan pohon bernama Minangkabau itu, sementara kisah tentang akarnya, bagian bawah pohonnya, yang menopang industri batubara kolonial cenderung diabaikan.
Padahal, tanpa bagian akar dan bagian bawah pohon itu, industri tambang batubara mustahil ada. Karena itu, penting untuk mengalihkan fokus ke bagian bawah pohon demi mendapat gambaran sejarah yang lebih utuh. Sejarah WTBOS mesti dilihat sebagai bagian dari suatu proses sejarah yang panjang, bagian dari ‘tunggul’ Pohon Minangkabau yang telah mereka tebang dan cangkoki itu.
Sebagai bagian dari Negeri Bawah Angin, dataran tinggi Minangkabau (serta pesisir di bagian baratnya) juga tengah berkembang seturut perubahan-perubahan ekonomi di seluruh kawasan, terutama di pesisir timur dan kota-kota bandar di Semenanjung Malaya.
Sebelum penjajah datang, di dataran tinggi Minangkabau, telah ada pusat-pusat permukiman. Gelombang demi gelombang pemukim baru terus masuk ke dataran tinggi Minangkabau melalui sungai-sungai. Mereka tak hanya terkonsentrasi di satu titik, namun menyebar di banyak titik. Secara internal, titik-titik pemukiman ini terhubung satu sama lain dalam jaringan jalan setapak, dan terus menyebar ke bagian barat pulau Sumatera. Sungai-sungai tetap menghubungkan mereka dengan dunia pesisir bagian timur pulau di mana laut dengan anginnya menyediakan jalan untuk berhubungan dengan dunia luar yang lebih jauh.
Bentang alam yang spesifik ini, tak hanya menyediakan jalur bagi terciptanya perdagangan namun juga interaksi serta pertukaran pengetahuan. Karena inilah sejarawan Anthony Reid melihat Asia Tenggara dulunya merupakan kawasan dimana pusat-pusat permukiman dan perdagangan dipersatukan oleh suatu kebudayaan yang bisa dikatakan serumpun. Kawasan ini punya banyak kesamaan dalam soal perkakas kebudayaan, seperti penggunaan pinang dalam berbagai ritual, pengobatan, hingga kemiripan organisasi sosial.[2]
Proses-proses sejarah serta proses-proses alam yang spesifik itulah yang menyediakan dasar bagi terbentuknya organisasi sosial seperti Nagari dengan tanah ulayat serta tarataknya, pasar-pasar (pakan) yang tersebar di dataran tinggi, kota-kota bandar di pesisir, serta jalur dagang yang menghubungkan semua itu. Dengan kata lain, segala infrastruktur yang dapat memuluskan pembangunan industri tambang batubara di Ombilin telah tersedia, jauh sebelum De Grevee dibilang-bilang ‘menemukan’ deposit batubara di Cekungan Ombilin. Bahkan batubara sudah dikenal masyarakat lokal sebagai ‘lidah api’ dan telah jadi barang yang diperdagangkan ke kota-kota bandar di pesisir.
Dan proses-proses itu juga tidak bisa dilepaskan dari kerja yang dicurahkan anggota masyarakat yang tersebar di pusat-pusat permukiman dan kota-kota bandar dagang di pesisir.
Karenanya, saat penjajah datang, mereka tidak menemukan kawasan terbelakang, dengan pusat-pusat pemukiman yang terisolasi satu sama lain dan dipenuhi para pemburu kepala. Sebaliknya, mereka menemukan suatu kawasan ‘siap panen’ dengan segala infrastruktur yang bisa mereka manfaatkan demi mempermudah proses panen.
Mereka melihat pohon besar yang potensial untuk dihisap. Mereka menginginkan pohon itu hidup-hidup. Tapi mereka melihat beberapa bagian yang tidak penting dan dirasa mengganggu. Mereka menebang bagian-bagian itu, lalu mencangkokkan bagian-bagian baru.
Mereka mendirikan benteng-benteng di atas kota-kota bandar yang sebelumnya telah ada. Mereka menghancurkan infrastruktur kelautan yang ada dan menegakkan armadanya sendiri di atas. Mereka membangun jalan-jalan darat di atas jalan-jalan setapak yang lebih tua.
Mereka mendirikan kota-kota berbenteng di sekitar pasar-pasar lama. Menghancurkan nagari-nagari yang menghambat, membakar lumbung-lumbung dan sawah-sawah milik komunitas yang melawan, serta menghancurkan fasilitas-fasilitas metalurgi sebanyak yang mereka bisa.
Semua itu dilakukan lewat kampanye militer besar-besaran yang penuh darah dan teror sepanjang Perang Paderi, demi menaklukkan dataran tinggi Minangkabau. Dan di atas penghancuran dan penaklukan itulah mereka membangun ‘tiga serangkai.’
Dengan demikian, apa yang dilakukan penjajah hanyalah mencangkokkan dengan cara paling brutal, jika tidak bisa disebut mengonggokkan, ‘tiga serangkai’ itu di salah satu bagian dari Pohon Minangkabau. Meski bagian atas pohon itu telah dicangkoki sedemikian rupa, bagian bawahnya, akarnya, tetaplah akar yang sama: ia adalah hasil dari proses sejarah yang panjang yang telah tumbuh dan berkembang sebelum kolonialisme datang.
Penebangan dan pencangkokan ini bukanlah ‘bisnis biasa’ yang berjalan lancar di suatu pagi yang cerah. Jikapun sebagian budayawan atau penulis sejarah menyebut dibangunnya tambang Ombilin dan jalur kereta api telah didahului konsesi dan kesepakatan yang sah, kita perlu melihatnya secara lebih kritis.
Penting untuk diingat, bahwa perjanjian atau konsensensi pembebasan lahan itu tidak diadakan dalam relasi kuasa yang setara. Sebaliknya, perjanjian itu berjalan dalam relasi kuasa yang timpang: antara penjajah dan yang terjajah, antara penakluk dan yang ditaklukkan. Berbagai konsensi itu, meminjam perumpaan Tan Malaka, adalah perundingan dengan maling yang masuk ke rumah kita sendiri dengan bedil di tangannya.
**
Tiga Serangkai yang kini disebut WTBOS itu adalah dahan-dahan baru yang dicangkokkan ke Pohon Asia Tenggara. Ia hanya mungkin ada dan hidup dengan menyedot dan mengambil alih dengan paksa jalur-jalur saripati pohon utama hasil curahan kerja anggota masyarakat sebelumnya.
Tanpa pohon utama, tanpa anatominya yang spesifik, tanpa masyarakat yang mencurahkan kerjanya agar dahan cangkokakan itu bisa terus hidup, mustahil industri batubara dan jaringan distribusinya bisa berdiri. Hanya dengan menghancurkan dan membajak apa-apa yang telah ada sebelum mereka tiba, WTBOS itu bisa ada.
Tidak hanya WTBOS yang bisa muncul setelah penghancuran dan pembajakan serupa itu. Pasca-perang Paderi, terjadi “demam tambang” dan kemudian “demam perkebunan besar”, puluhan industri pertambangan, termasuk Pabrik Semen Indarung I, serta industri perkebunan besar, juga bermunculan di Sumbar masa kolonial. Sama seperti WTBOS, industri-industri itu tak akan ada jika tanpa proses sejarah yang menyediakan segalanya bagi lancarnya pembangunan industri-industri itu.[3]
Dengan menempatkan WTBOS dalam proses sejarah panjang ini, maka kita bisa mulai membayangkan diri sebagai tradisional owner dari WTBOS. Tapi pembayangan saya belum cukup. Butuh kajian sejarah untuk memperkuat argumen guna menyokong klaim tersebut. Kajian ini tidak hanya berfokus pada bagaimana kolonialisme ‘membajak’ apa-apa yang ada sebelumnya, namun juga memformulasikan konsep tersebut sesuai konteks Sumbar. Upaya memformulasikan konsep ini, juga bertujuan untuk memeriksa kelemahan dan kelebihan konsep tradisional owner tersebut.
Terlepas dari beberapa kelemahan dan konsekuensi negatif yang mungkin muncul dari konsep ini, untuk sementara dan demi tujuan strategis ke depannya, bisakah kita bersepakat untuk melihat diri sebagai tradisional owner dari WTBOS? Para pemilik tradisional WTBOS, yang tak hanya berurusan dengan masa lalu, namun juga ancaman-ancaman masa kini seperti pihak-pihak yang punya tendensi menjadikan WTBOS sebagai situs yang menyebarkan memori soal betapa normal dan alamiahnya kolonialisme di sama lalu dan neo-kolonialisme di masa kini. (*)
Foto: Fasilitas pembongkaran batubara di Emmahaven. Reproduksi dari De Steenkolenindustrie (1917)
Catatan Kaki:
[1] Sumber lain mengenai Tradisional Owner misalnya bisa dilihat di sini: https://www.firstpeoplesrelations.vic.gov.au/traditional-owners. Bagaimana penerapan konsep ini untuk memenangkan hak tradisional orang Aborigin lihat di sini: https://www-theguardian-com.translate.goog/australia-news/2021/sep/29/indigenous-traditional-owners-win-back-daintree-rainforest-in-historic-deal?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc
[2] Lihat Anthony Reid. (2011). Asia Tenggara Tanah di Bawah Angin Jilid I: Tanah di Bawah Angin. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor dan (2014) Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid II: Jaringan Perdagangan Global. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor. Lihat juga Barbara Watson. (1995). Upstream and Downstream in Early Modern Sumatera. The Historian 3/22.
[3] Dalam esainya “Semen Padang dan Politik Ekonomi Kolonial,” sejarawan Gusti Asnan mencatat, pada 1887, belum kelewat lama setelah Perang Padri, ada 158 izin untuk pembukaan industri perkebunan besar. Kemudian pada 1904, ada 19 tambang yang beroperasi di Sumatera Barat. Lihat Gusti Asnan, “Semen Padang dan Politik Ekonomi Kolonial” dalam Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya, Vol. 1 No. 1, Juni 2015; hal 51-61.