(Reportase Angelique Maria Cuaca)

Zainul Arifin namanya.  64 umurnya. Warga sekitar memanggilnya Jai. Yang sepantaran dengannya mengenalnya ‘anak Mak Inu’, si masinis Mak Itam.

“Ayah saya dulu masinis Mak Itam. Namaya Zainuddin, orang biasanya memanggil Mak Inu,” cerita Pak Jai ketika kami bertemu di Kayutanam di masa-masa persiapan Galanggang Arang #7 di Kayutanam.

Pak Jai memiliki banyak kenangan dengan Mak Itam, selama Mak Inu menjadi masinis. Ia bahkan masih hapal nomor mesin lokomotif legendaris itu, E1060. Kenangan manis, kenangan pahit Pak Jai, menempel di lokomotif uap buatan Jerman itu.

Mak Inu, lanjut Pak Jai, dulunya adalah masinis untuk trayek Kayutanam-Padang Panjang-Sawahlunto juga ke Bukittinggi. Ayahnya biasa berangkat kerja di pagi hari dan balik besok malamnya.

“Ketika ayah saya pulang, besoknya ia ke bengkel kereta untuk servis mesin dan berangkat lagi. Ketika bekerja, ayah saya ditemani oleh stokar dan tukang rem. Jika mau menambah baro, stoklatnya di Kandang Ampek,” kenang Pak Jai soal alur kerjanya.

Mak Inu tinggal di Korong Pasar Juha. Rumahnya sekitar 175 meter dari rel. Di Nagari Kayutanam ini ada 4 korong yang dilewati rel yakni Korong Pasar Juha, Pasar Tangah, Pasar Usang, Pasar Galombang. Pak Jai adalah anak tertua dari 6 bersaudara.

Sejak kecil, Pak Jai sering mengantarkan nasi untuk bekal untuk Mak Inu di perjalanan. “Ketika kereta Mak Itam lewat, ayahnya melambatkan jalan kereta agar ia bisa mengambil bekal nasi yang sudah disediakan ibu dari uluran tangan saya,” jelasnya.

Menaiki Garobak Lenggek

Ada momen-momen yang begitu ditunggu Pak Jai. Kadang ia ikut ayahnya bekerja, naik ke kereta api. Ketika kereta melambat, ia memberikan nasi ke Ayahnya sekaligus bergegas naik ke Drasi, gerbong penumpang.

Ia duduk di Drasi, yang terletak dibelakang lokomotif. Di dalam drasi berjejer bangku kayu memanjang dan saling berhadap-hadapan. Ada juga yang duduk di tangga atau di lantai drasi.

Drasi berjumlah 2, sedangkan 3 gerbong lagi berisi hasil panen petani seperti cubadak, pisang, durian yang dibawa untuk dijual di desa sebelah. Orang-orang menyebutnya “garobak lenggek.” Beberapa gerbongnya kosong karena dari Kayutanam ke Padang Panjang tidak mengangkut batubara. Jika batubara diangkut maka gerbong yang kosong itu akan terisi.

“Saya tidak pernah bayar kereta, karena kebetulan ayah adalah masinis. Selain itu juga karena tidak punya uang.”

Waktu itu, kisah Pak Jai, uang belanjanya sehari 1 ringgit, sekitar 2 rupiah 50 sen. Sedangkan tiket kereta 5 rupiah—bisa untuk beli 5 kerupuk 5 kuah yang besar. “Waktu itu umur saya masih 10 tahun,” lanjutnya.

Kerja Sampingan Masinis

Tahun 1950-an itu, gaji sebulan Mak Inu tidak cukup untuk makan seminggu. Ia sering ke sekolah tanpa ada belanja. Ketika ayahnya pulang, ayahnya mencari sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup, cari kayu atau durian.

Ia juga membantu ayahnya untuk memikul hasil padi yang digiling dari kincir dari Pasar Juha ke Pasar Kayutanam untuk dijual di hari pasar, setiap Sabtu. Sepeda belum banyak yang punya dan gerobakpun harus disewa.

Baju dinas ayahnya juga sudah sangat lusuh dan tambal sana sini. Selain Pak Jai, beberapa warga kadang ikut berdiri di samping rel ketika kereta melambat untuk memberikan pak Masinis makanan bekal di jalan.

“Seringkali dikasih ubi, pisang. Ubinya dipanaskan dengan pembakaran batubara. Tak lama ubinya masak,” ujar Pak Jai.

Menurut pak Jai, warga memberikan makanan tersebut sebagai tanda terimakasih kepada pak masinis yang sudah bekerja mengangkut penumpang dan barang. Mungkin juga semacam solidaritas buat masinis yang mengoperasikan dan merawat lokomotif kebanggaan banyak orang itu.

Meskipun begitu, menurutnya, ayahnya bangga dengan pekerjaan sebagai masinis. Ia melakukan dengan sungguh-sungguh: “Mesin abak mantap. Kudo2 ambo kencang. Rancak, maadok sampai stasiun kacang,” kata2 ini yang ucapkan ayah pak Jai ketika itu. Kata-kata itu masih ia kenang.

Mak Inu, meninggal di usia 47 tahun pada 1975. Tak lama Setelah itu, tahun 80 an, Mak Itam diganti dengan lokomotif diesel berwarna kuning. Mereka menyebutnya dengan nama Mak Uniang. 

Pak Jai di Rumahnya di Kayutanam

 Naik Kereta ke Bioskop

Pak Jai menceritakan juga pengalamannya naik kereta. Ia paling suka melihat pemandangan ketika sampai di lembah anai. Penampakannya sama persis dengan lukisan yang dibuat Kamal Guci, yang sedang dipamerkan di ruang tunggu Stasiun.

“Ketika masuk di terowongan seperti di Silayiang dan Lubang Kalam, asap baro ini masuk ke dalam kereta. Baju putih langsung  menjadi hitam kumal. Hidung kami juga hitam kena asap baro. Kami saling menertawakan satu sama lain. Tapi saya suka bau baro, baunya khas dan wangi,” katanya.

Ketika sudah mulai ada penghasilan sendiri, Pak Jai sering naik kereta dari Kayutaman ke Padang Panjang untuk menonton film India bersama teman-temannya.

“1000 perak dulu sudah bisa nonton di bioskop Karia Padang Panjang, makan enak dan beli rokok, beserta tiket kereta pulang pergi. Biasanya ketika ada jadwal pemutaran film India,” kata Pak Jai.

“Kadang kalau kami asik bercerita bersama kawan-kawan, tidak terasa ternyata jadwal kereta terakhir sudah lewat. Akhirnya kami beramai-ramai jalan kaki dari Padang-Panjang ke Kayutanam, ya sekitar 16 km,” lanjutnya.

Stasiun Kayutaman dan Segala Keramaiannya

Dulu Stasiun Kayatanam sangat ramai, kenang Pak Jai. Banyak yang berjualan, ada yang menjual air minum dengan wadah galuak/tempurung kelapa, nasi bungkus, dan katupek dendeng rabu.

Para pedagang berjejer di pinggir stasiun untuk menjaja makanannya. Lalu di dekat tempat orang jual karcis dulunya adalah bofet yang menjual berbagai makanan dan minuman olahan masyarakat sekitar stasiun. Ada juga yang mengasong di gerbong kereta. Ekonomi hidup pada saat itu.

Area stasiun juga jadi tempat bermainnya anak-anak. Pak Jai masih ingat betapa asyiknya bermain di sekitar stasiun.

“Biasanya di sore hari setelah kereta lewat. Kami bermain bersama-sama. Laki-laki main layangan, perempuan main alek-alek,” cerita Pak Jai.

Kenangan yang Kembali Hidup

Tiga tahun sebelum meninggal, ayah pak Jai mengundurkan diri jadi masinis. Ayahnya memutuskan jadi penjaga lokomotif di stasiun. “Ayah saya menjaganya ketika malam. Juga bertugas memanaskan mesin sebelum berangkat,” kata Pak Jai.

Ma Inu lalu minta dipindah jabatan karena sudah mulai ada kerja sampingan dan hasilnya lumayan. Ayahnya membuat kincir yang tenaganya bisa untuk menumbuk padi. Hasilnya lumayan untuk menghidupi 7 anaknya.

“Ayah saya punya satu kamar di dekat stasiun. Ketika kereta dipanaskan, gaek menjaga di sini ketika malam. Pernah suatu hari api untuk memanaskan kereta mati, akhirnya kereta terlambat jalan. Saat itu ayah dimarahi oleh komandannya yang ada di Padang,”

Segala kengangan, manis-pahit bersama kereta dan stasiun itu kini dihidupkan lagi lewat gelaran Galanggang Arang #7 di Kayutanam. Anaknya, Nanda, berperan besar dalam soal ini. Cucu Mak Inu itulah yang dipercaya kawan-kawannya menjadi ketua Pelaksana Galanggang Arang #7. (*)

 

Open chat
1
Scan the code
Helpdesk
Halo 👋
Ada yang bisa kami bantu?