Tukijan merogoh saku baju kerja lusuhnya dengan hati-hati. Dikeluarkannya koran yang sudah dilipat kecil-kecil. Korannya ada dua, Panas dan Soeara Tambang. Diberikannya pada dua kawannya agar mereka bisa membaca isinya. Dua surat kabar itu diselundupkan ke dalam penjara Sungai Durian oleh Pak Nur, petugas pembagi makanan yang pastilah memperolehnya dari seorang aktivis di luar. Dialah yang menyerahkan dua surat kabar itu ke Tukijan untuk disebarkan pula ke tahanan lain.[1]
Penguasa tambang telah memasang plang larangan membawa masuk Soeara Tambang ke dalam kompleks penambangan, termasuk penjara Sungai Durian. Sejak bulan-bulan pertama 1925, pemerintah kolonial menyapu gerakan buruh di Sawahlunto. Mereka berupaya keras menjauhkan pekerja tambang dengan aktivis-aktivis komunis. Beberapa mandor dan pekerja telah dipecat dan dipenjara karena berhubungan dengan kelompok komunis, termasuk para pemimpin buruh seperti Nawawi Arief dan Martowijoso.
Penjara Sungai Durian dibuat khusus untuk mengurung para pembangkang itu. Penjara yang selesai dibangun pada 1925 itu bisa mengurung 3000 orang dan sengaja dibangun di tempat terisolir. Para pembangkang itu punya satu hal yang dianggap sangat berbahaya oleh kolonial: kemampuan mengorganisir dan memobilisasi massa disertai gagasan soal pemogokan dan kesadaran kelas.
***
Kartono dianiaya pengawas penjara Sungai Durian Pembagi makanan itu lalu dilemparkan ke dalam sel oleh seorang pengawas bernama A.G. den Heer. Djoemsan dimaki dan ditendang seorang ‘sinjo besar,’ padahal Djoemsan sudah bekerja keras sampai pukul 3. Beberapa orang tahanan lainnya di Sungai Durian dipukuli, ditendang, dan tidak dibolehkan makan oleh pengawas.[2]
Berita-berita penindasan sehari-hari terhadap pekerja seperti di atas dimuat secara rutin di Soeara Tambang dan Panas. Dua koran itu juga memberitakan pemogokan-pemogokan di dunia. Panasnya berita-berita pemogokan itu, tulis Erwiza Erman, telah dihantarkan oleh surat kabar Panas lebih dekat ke tempat-tempat orang perantaian dan pekerja kontrak di Sawahlunto. Berita perjuangan buruh melawan eksploitasi kapitalis di dunia.[3]
Soeara Tambang terbit pertamakali pada 31 Maret 1925. Koran ini diterbitkan sebulan sekali dengan kantor di Sawahlunto. Nawawi Arief mengambil posisi sebagai pemimpin redaksi. Edisi pertama Panas muncul pada 5 Agustus 1925. Koran berbasis di Silungkang ini terbit dua bulan sekali. Nawawi Arief berperan di sini sebagai editor dengan Dt Bagindo Ratoe sebagai penanggung jawab. Soeara Tambang merupakan organ Persatuan Kaum Buruh Tambang (PKBT), semenetara Panas lebih dekat dengan Sarekat Rakjat.
Para pedagang kecil di Sawahlunto, Silungkang dan sekitarnya, hingga Padangpanjang patungan untuk membiayai dua koran tersebut. Koran-koran ini diedarkan di tambang, kawasan tangsi, masjid, dan tempat-tempat umum. Para pemimpin biasanya membacakan langsung isi koran, atau berceramah berdasar isi koran. Keduanya dibagikan gratis untuk buruh, sedang kalangan lain bisa berlangganan bulanan f 1.20. [4]
Pembacanya tidak hanya terbatas di Sawahlunto, namun menyebar ke daerah lain. Sampai para pemimpin koran-koran tersebut ditangkap pada 1925 dan 1926, dua koran itu punya ratusan pembaca. Para kontributornya datang dari berbagai latar pekerjaaan. Mulai dari militer, aktivis buruh, hingga pada pedagang pribumi seperti Sulaiman Labai, Sutan Langit, serta pedagang yang juga bagian dari elit tradisional Minangkabau seperti Datuak Rajo Sampono, Datuak Bagindo Rajo, dll.[5] Apa yang menyatukan mereka ialah keyakinan bahwa sistem kolonial bisa ditumbangkan.
***
Soeara Tambang dan Panas adalah bagian dari pers revolusioner. Seperti dikatakan Rienne Subijanto (2017), koran-koran revolusioner ini berbeda dengan koran berbahasa Melayu lainnya. Para pengelola dan penulisnya adalah para aktivis yang menjadi jurnalis. Pers revolusioner bukan sekedar ruang publik untuk perdebatan filsafat: ia adalah produk material dari suatu ruang publik yang dibangun lewat perjuangan politik.
Jurnalismenya ialah kritik atas pengetahuan dan produk jurnalisme yang diproduksi di bawah kerangka kapitalisme kolonial. Jurnalismenya adalah praktek produksi pengetahuan alternatif yang berkaitan erat dengan proyek perjuangan antikolonial yang lebih luas.
Koran-koran revolusioner ini, masih mengutip Rienne, tak hanya turut membangun komunitas terbayang bernama Indonesia. Lebih dari itu, koran-koran revolusioner ini mendorongnya menjadi “komunitas terorganisir.” [6]
Koran-koran seperti ini memberitahu pada buruh tambang ombilin bahwa mereka adalah bagian dari perjuangan buruh di Hindia Belanda dan dunia. Bahwa mereka tidak sendiri dan bahwa di luar sana banyak organisasi-organisasi yang punya tujuan sama. Dan bahwa hanya dengan bersatu dalam sebuah organisasi, dan dengan aksi mogok, para buruh menyadari kekuatannya dan bisa mengubah nasibnya.
Edisi pertama Panas, 5 Agustus 1925, berisi ulasan mengenai posisi kaum buruh dan orang tertindas lainnya di dalam tatanan masyakarat kolonial yang kapitalis; soal adanya kelas penindas dan kelas tertindas. Para penulis di edisi pertama ini menyerukan pentingnya membangun gerakan yang terorganisir, melibatkan beragam etnis dan agama, melampaui batas geografis (seperti pemberontakan berbasis Nagari di masa-masa sebelumnya), serta bersifat global.
Dua minggu kemudian, edisi kedua Panas 20 Agustus 1925, memuat ulasan mengenai komunisme di Rusia serta perjuangan kaum pekerja di Pulau Jawa, pemecatan-pemecatan yang makin sering terhadap pekerja yang bergabung dengan serikat pekerja, hingga pengawasan ketat terhadap anggota militer yang memiliki hubungan dengan kelompok komunis.
Begitu juga dengan edisi-edisi Soeara Tambang. Edisi pertama koran ini, 31 Maret 1925, mengumumkan berdirinya PKBT sebagai wadah persatuan bagi kaum buruh yang merana dan ditindas, sementara hanya segelintir orang yang menikmati hasil kerja mereka. Edisi kedua, 30 April 1925, masih menyerukan pentingnya peringatan Hari Buruh sedunia bagi pekerja. Persatuan kaum buruh makin ditekankan posisi pentingnya. Koran ini menyerukan “kaum buruh sedunia, bersatulah.”
***
Dullah dan Wagiman, pekerja rumah tangga, dipecat Tuan Wijsheijer. Tuan besar yang telah hidup nyaman di Sawahlunto itu cemas karena Dullah dan Wagiman dikabarkan ikut berkumpul-kumpul di rumah Bakar.
Bakar sendiri adalah bekas mandor di tambang sekaligus agen PKBT. Bersama Doelgani, yang juga bekas mandor, ia bergerak di bawah tanah semenjak rangkaian penangkapan atas orang-orang komunis pada akhir 1924 dan awal 1925.[7] Mereka berdua dipecat karena menghasut pekerja untuk mogok.
Sejak pemerintah kolonial merepresi gerakan pada 1925, keduanya memindahkan pusat operasi ke Sungai Durian. Di sini nampaknya mereka mendistribusikan koran-koran dan selebaran, dan berhasil mengajak mandor, polisi, serta sipir penjara Sungai Durian untuk bergabung dengan gerakan. Mereka sempat merencanakan pemogokan pada Februari 1926. Rencana pemogokan itu gagal. Mereka berdua ditangkap dan dibuang ke Batavia.
Beberapa pimpinan PKBT, termasuk Nawawi Arief, telah ditangkap dan akan dikirim ke Cipinang. Ia dihukum karena memuat tulisan berjudul “Maoe Mampoes” 11 Agustus 1925. Artikel ini ditulis oleh seorang anggota PKBT dengan nama samaran dan demi menjaga etika tak bersedia membocorkan nama tersebut.[8]
Idroes mengambil posisi pimpinan PKBT dan editor Soeara Tambang menggantikan Nawawi yang dihukum[9]Ia dibantu Kasan Widjojo, seorang Mandor dari Jawa.[10] Idroes menggantikan Nawawi. Tak lama kemudian, pada penghujung 1925, Idroes juga ditangkap karena koran yang dieditorinya “menerbitkan tulisan politik.”
Tak sampai tiga bulan, pada Februari 1926, Idroes kembali ditangkap karena mengedarkan selebaran berisi hasutan melawan pemerintah.[11] Maret 1926, Soeara Tambang ditutup. Idroes kembali membuat selebaran-selebaran gelap menyoroti penindasan oleh ‘Buaya Putih’.[12] Abdul Moeloek Nasution yang mengambil alih kepemimpinan Panas, juga ditangkap dan diadili pada 20 April 1926 karena menghina pemerintah.[13]
Penangkapan-penangkapan selama Maret dan April 1926 ini, bertepatan dengan akan datangnya Hari Buruh Sedunia pada 1 Mei, dan semakin memanasnya suasana di Sawahlunto dan sekitarnya. Sejak pertengahan 1925, tidak hanya jumlah penjara yang ditambah namun juga jumlah polisi yang meningkat dua kali lipat. Pengawasan pekerja tambang dan pegawai-pegawai kolonial lainnya diperketat. Begitu juga pengawasan terhadap personel militer.
Bagaimanapun, abad sedang bergerak. Pemimpin yang tersisa, seperti Haji Mohammad Nur Ibrahim dan Ramaja, mengambil alih gerakan dan memulai kerjasama dengan Sarekat Djin serta Sarekat Hitam. Kelompok ini berhasil menggalang 3 kali pemogokan besar pada Mei 1926 yang diikuti ratusan buruh. Pemogokan-pemogokan itu diikuti hingga 300 pekerja,[14] kaum tertindas yang bergerak hendak mengubah dunia lama yang menindas. (*)
Foto: Pekerja di lubang tambang di Ombilin, direproduksi dari De Steenkoolenindustrie (1917)
Catatan Kaki:.
[1] Erwiza Erman (2008). Pekik Merdeka dari Sel Penjara dan Tambang Panas. Pemerintah Sawahlunto. Hal. 40
[2] Soeara Tambang edisi 1 dan 2; Panas, edisi 1 dan 2.
[3] Erwiza Erman (2008). Pekik Merdeka dari Sel Penjara dan Tambang Panas. Pemerintah Sawahlunto. Hal. 41.
[4] Sri Pujiyati, Skripsi. Perjuangan Buruh Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto: Dari Persatoean Kaoem Buruh Tambang (PKBT) hingga Vereeniging Boemipoetr Staatspor, Tragewaen, Ombilinmijnen en Landsautomobileddirnsteop Sumatera (VBSTOL) 1925-1934. (Depok: UI, 2022). Hal. 4.
[5] Erwiza Erman. (1999). Miners, managers and the state: A socio-political history of the Ombilin coal-mines, West Sumatra, 1892-1996. [Thesis, fully internal, Universiteit van Amsterdam]. Hal. 99.
[6] Diskusi lebih jauh mengenai pers revolusioner lihat Rianne Subijanto, Enlightment and the Revolutionary Perss in Colonial Indonesia. International Journal of Communication 11 (2017), 1357-1377.
[7] Erwiza Erman (2008). Pekik Merdeka dari Sel Penjara dan Tambang Panas. Pemerintah Sawahlunto. Hal. 45.
[8] Sri Pujiyati, Skripsi. Perjuangan Buruh Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto: Dari Persatoean Kaoem Buruh Tambang (PKBT) hingga Vereeniging Boemipoetr Staatspor, Tragewaen, Ombilinmijnen en Landsautomobileddirnsteop Sumatera (VBSTOL) 1925-1934. (Depok: UI, 2022). Hal. 47-48
[9] Ibid hal, 50.
[10] Erwiza Erman. (1999). Miners, managers and the state: A socio-political history of the Ombilin coal-mines, West Sumatra, 1892-1996. [Thesis, fully internal, Universiteit van Amsterdam]. Hal. 101
[11] Sri Pujiyati, Skripsi. Perjuangan Buruh Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto: Dari Persatoean Kaoem Buruh Tambang (PKBT) hingga Vereeniging Boemipoetr Staatspor, Tragewaen, Ombilinmijnen en Landsautomobileddirnsteop Sumatera (VBSTOL) 1925-1934. (Depok: UI, 2022). Hal 8
[12] Ibid, hal. 50
[13] Sin Po 6 Mei 1926 No. 4828.
[14] Erwiza Erman. (1999). Miners, managers and the state: A socio-political history of the Ombilin coal-mines, West Sumatra, 1892-1996. [Thesis, fully internal, Universiteit van Amsterdam]. 102-103
Trackback