Transportasi memiliki peran sentral dalam mendorong kemajuan pertumbuhan ekonomi. Ia tidak sekedar menjadi kendaraan saja, namun menjadi nadi yang dapat memompa kehidupan masyarakat. Kereta api menjadi alat transportasi yang dapat menggerakkan perekonomian masyarakat sejak masa Kolonial Belanda. Sama halnya dengan pembangunan jalur kereta api di Pulau Jawa, pemerintah kolonial juga membincangkan terkait pembangunan jalur kereta api sebagai alat transpor, sebelum menjalankan pertambangan batubara Ombilin di Sumatera Barat.
Sawahlunto memiliki kekayaan batubara yang berlimpah dan cukup untuk dikonsumsi selama beberapa abad. Berdasarkan jumlah kandungan batubara, Dr Verbeek menyebutkan jumlah keseluruhan batubara di Sawahlunto mencapai 200 juta ton yang setara dengan negara penghasil batu bara lainnya, yaitu Inggris (225 juta ton), Jerman (109 juta ton), Prancis (32 juta ton), dan Belgia (28 juta ton) yang dilansir dari Soerabaiasch Handelsblad pada 5 Oktober 1902.
Namun, pemerintah kolonial merasa kebingungan cara mendistribusikan batubara ini, mengingat kondisi geogradi daera Sawah Lunto sendiri yang berada di daerah dataran tinggi pada bagian tengah Bukit Barisan. Oleh karena itu, di tugaskanlah Ir. Cluysenaer untuk melakukan penelitian terkait lokasi yang cocok pembangunan jalur kereta api sebagai alat transportasi batubara menuju pelabuhan.
Pada tahun 1878 diputuskan rute pembangunan jalur kereta api dari Sawahlunto menuju pelabuhan Teluk Bayur. Kemudian beberapa tahun berikutnya, ditetapkan undang-undang perkeretaapian Sumatera Barat dan tercantum dalam Staatsblad van Nederlandsch-Indie No. 163 tanggal 6 Juni 1887.
Hal ini menjadi dasar undang-undang perkeretaapian Sumatera Barat dan dikeluarkan Surat Keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda tentang Dinas Perkeretaapian Sumatera Barat pada 17 September 1887.
Pembangunan rel Kereta Api
Dalam bulan September 1887, Dinas Perkeretaapian Sumatera Barat mulai melakukan pembangunan tempat tinggal untuk para pekerja yang akan didatangkan dari pulau Jawa. Para pekerja yang didatangkan yaitu seorang insinyur kepala, sembilan insinyur yang dua orang diantaranya sebagai personil pekerjaan umum, tiga orang ahli bangunan, 24 orang pengawas dan pengawas rendah.
Pada Dinas Permesinan (kundigen dienst) ditempatkan seorang insinyur mesin dan ahli mesin, serta ditambah dengan 18 orang tenaga administrasi. Dengan demikian pembangunan jalur kereta api sudah bisa terlaksana pada akhir tahun 1887. Pelaksanaan pembangunan ini dimulai dari pembagian pembangunan trace kereta api. Sebelum melakukan pembangunan, pekerjaan pertama yang harus dilakukan adalah menentukan area yang layak untuk pembangunan jalur kereta menuju Ombilin dan menuju Fort de Kock. Ombilin merupakan salah satu area penambangan batubara yang berada disepanjang batang (sungai ombilin) oleh karena itulah diberi nama dengan daerah pertambangan Ombilin.
Pembangunan jalur kereta api sepanjang 155, 5 km tersebut sesuai dengan saran dari Ir. Cluysenaer dan pembangunannya dilakukan secara bertahap. Pertama dilakukan pembangunan jalur dari Emmahaven (Teluk Bayur)- Padang dan Padang-Padang Panjang yang panjangnya 67,5 km, diresmikan pada 30 Juli 1891.
Pembangunan tahap kedua dilakukan untuk jalur Padang Panjang menuju Solok sepanjang 53 km dan jalur Solok menuju Muaro Kalaban sepanjang 23 km. Jalur kereta api ini diresmikan pada 01 Oktober 1892.
Pembangunan jalur ketiga dilakukan di area Muaro Kalaban menuju Sawah Lunto sepanjang 12 km dan diresmikan pada 1 Januari 1894. Kemudian, dibangun tiga jalur kereta api lainnya, yaitu dari Padang Panjang ke Bukittinggi terus ke Payakumbuh dan Halaban, dilanjutkan pembangunan dari Lubuk Alung ke Pariaman terus ke sintuk, serta dari Padang terus ke Pulau Aia.
Dalam pembangunan rel kereta api ini, pemerintah juga mendapatkan kesulitan dalam melakukan pembebasan lahan dengan masyarakat pribumi. Hal ini juga dilatarbelakangi oleh tanah ulayat, sehingga pembebasan lahan harus mendapatkan persetujuan dari seluruh anggota keluarga.
Masalah pembebasan lahan ini menyebabkan pemerintah harus mengeluarkan biaya yang lebih banyak. Anggaran awal pembangunan berjumlah f. 17.7 juta, hingga akhirnya membengkak menjadi f. 22 juta. Oleh karena itu, pada tanggal 1 Oktober 1890 insinyur Perkeretaapian harus melakukan pertemuan dengan para penghulu dari Padang Dataran Tinggi di Kantor Pusat Kereta Api di Padang.
Pengoperasian Kereta Api
Setelah permasalahan dan pembangunan ini berhasil diselesaikan, maka pada tanggal 1 Juli 1891 jalur Pulau Air menuju Padang Panjang sudah mulai beroperasi pertama kali. Kemudian diikuti dengan beroperasinya Jalur Padang Panjang menuju Bukittinggi pada 1 November 1891.
Pada tanggal 1 Juli 1892, jalur kereta api dari Padang Panjang menuju Solok juga mulai beroperasi dan diikuti dengan beroperasinya jalur Solok menuju Muara Kalaban. Kemudian pada 1 Oktober 1892 jalur dari Padang menuju Emmahaven juga mulai beroperasi bersamaan dengan pembukaan pelabuhan pengiriman batubara Emmahaven.
Kemudian, jalur kereta Api berhenti beroperasi karena aktivitas tambang batubara Ombilin mengalami kerugian pada sejak tahun 1931 sebesar f. 1.86/ton dan meningkat menjadi f. 1.91/ton batubara. Total kerugian mencapai 13 juta gulden yang dihitung dari tahun 1922-1932.
Meski demikian aktivitas dari Perkeretaapian masih tetap berlanjut walaupun di jalur yang berbeda. Sehingga sampai saat ini kita masih bisa menikmati kontribusi bangsa kolonial terhadap Perkeretaapian di Sumatera Barat.
Khusus untuk jalur kereta api yang berada di Sawahlunto, saat ini telah dialihfungsikan menjadi museum. Sehingga jika berkunjung ke sana, Anda seakan dapat ikut merasakan aktivitas yang pernah terjadi di stasiun Ombilin tersebut tempo dulu.
Referensi
Lindayanti, dkk, Kota Sawahlunto, Jalur Kereta Api, & Pelabuhan Teluk Bayur: Tiga Serangkai dalam Sejarah Pertambangan Batubara Ombilin di Sumatera Barat, Padang: Minangkabau Press, 2007.
Lindayanti, dkk, Pertambangan dan Pengangkutan Batubara Ombilin Sawahlunto Pada Masa Kolonial, Laporan Akhir, Pusat Studi Humaniora, 2015.
(Firga)