Industri pertambangan batubara Ombilin menjadi tulang punggung ekonomi pemerintah kolonial dan memberikan dampak yang signifikan terhadap perkembangan pemerintahan Sawahlunto. Namun, di balik kilauan sumber daya alam yang berlimpah dan kontribusi ekonomi yang signifikan tersebut, tersembunyi kisah yang pelik para pekerja tambang yang bekerja keras di bawah tanah.
Mereka melakukan kerja paksa untuk menambang emas hitam di bumi Sawahlunto tersebut. Mereka rela bekerja tanpa digaji oleh pemerintah kolonial Belanda dan hanya mendapatkan makanan, tempat tinggal dan pelayanan kesehatan. Upah buruh tidak diperhitungkan karena perusahaan menggunakan tenaga kerja orang tahanan.
Pola Perekrutan Buruh-buruh
Buruh pekerja batubara tersebut juga dikenal dengan sebutan “orang rantai” karena selama bekerja kakinya dirantai. Mereka sebagian besar berasal Jawa, namun juga ada yang berasal dari tahanan seperti orang Cina, Sunda, Madura dan Bugis.
Selain itu, Pemerintah Kolonial Belanda juga merekrut buruh secara kontrak dari Singapura (terutama buruh Cina). Kemudian mereka juga memperkerjakan pekerja dari Jawa dan penduduk setempat sebagai buruh lepas atau buruh harian. Mereka harus bekerja keras siang dan malam di lokasi penambangan.
Mereka hanya diberikan waktu bebas beberapa jam saja untuk tidur saja. Karena mereka harus bekerja di lokasi tambang yang sangat panas, sehingga banyak diantara mereka yang terserang penyakit.
Berdasarkan catatan dari seorang misionaris J.J Wijnveldt, saat pertama kali dia datang ke Sawahlunto, ia menemukan 400 orang rantai dalam keadaan sakit dan mereka ditempatkan di barak yang menyedihkan. Selain itu, di lokasi tambang Durian juga ditemui orang-orang rantai dalam keadaan sakit, jika diperkirakan mereka berjumlah antara 600-700 orang.
Pada tahun 1900-an, tambang batubara mengalami kekurangan tenaga kerja. Hal ini disebabkan karena banyaknya orang rantai yang telah habis masa hukumannya dan mereka meninggalkan Sawahlunto. Sehingga perusahaan harus mendatangkan tenaga kerja dari Cina. Mereka merekrut para kuli melalui Ijonk A Soe yang merupakan kantor perekrutan kuli orang Cina dari Swatow untuk didatangkan ke tambang Ombilin.
Akan tetapi, kuli-kuli muda yang didatangkan dari Cina tersebut terlalu lemah untuk pekerjaan tambang dan tidak tahan terhadap Sawahlunto. Hal ini mengakibatkan sebagian besar dari kuli tersebut terserang penyakit dan harus dirawat di Rumah Sakit Sawahlunto dan Durian. Angka kematian kuli Cina juga cukup tinggi, karena selain terserang penyakit, kematian mereka juga disebabkan oleh hukuman rotan.
Persediaan Kebutuhan Buruh
Untuk memenuhi persediaan kebutuhan makan di area penambangan dari tahun 1894-1895, maka perusahaan mengadakan lelang terbuka di Fort de Kock. Lelang ini khusus untuk menyediakan makanan dan sirih bagi pekerja paksa yang bekerja di tambang batubara Ombilin.
Kemudian juga diadakan lelang dari ‘Petroleum’ untuk penerangan di tempat tinggal buruh paksa. Selain itu, lelang ini juga menyediakan makanan ekstra untuk pekerja yang sakit.
Pada tahun 1902, penambangan batubara mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini memberikan dampak yang positif kepada buruh dan sarana serta prasarana di Sawahlunto.
Salah satu sarana dan prasarana yang diperbaiki ialah jalan setapak yang menghubungkan Sawahlunto dan Durian dibuat lebih lebar. Kemudian barak pekerja paksa yang atap seng diberi plafon dan dindingnya yang semula dari pelupuh juga diperbaharui, serta lantai barak yang awalnya tanah juga di semen.
Selain itu, penampungan air di area tambang Waringin dan Durian juga diperbaiki, air jernih dari pegunungan dialirkan ke tempat penampungan air pekerja paksa. Karena sebelumnya, akibat air yang tidak sehat pekerja tambang sering sakit disentri.
Barak kuli kontrak dan pekerja letaknya saling berdekatan. Namun, barak pekerja paksa dikunci setelah pukul 18.00, sedangkan untuk barak pekerja bebas tetap terbuka.
Perbaikan makanan untuk para kuli juga dilakukan, sehingga tidak ada lagi kuli yang tidak mendapatkan makan dalam waktu delapan jam. Di area penambangan, kuli juga mendapatkan makanan, seperti ketupat yang dapat langsung dimakan tanpa harus bersentuhan dengan tangan yang kotor.
Penerangan dalam barak secara berangsur-angsur juga sudah diperbaiki, yang awalnya lampu minyak tanah perlahan menjadi penerangan listrik. Dengan demikian, keamanan di area tambang Durian juga dapat ditingkatkan.
Pada tahun 1903, tangsi-tangsi para kuli telah memiliki kamar mandi. Mereka juga telah mendapatkan jatah libur pada hari Minggu. Kemudian, setelah mendapatkan upah mereka juga dapat bermain dadu antar mereka. Baik di Sawah Lunto maupun di Durian disediakan gamelan yang sengaja dipesan untuk pekerja tambang orang jawa.
Perlawanan Buruh
Pada tahun 1926, para pekerja sering melakukan aksi mogok kerja, seperti yang terjadi pada tanggal 5 Mei sebanyak 300 orang pekerja paksa di penjara Durian menolak bekerja di tambang bawah tanah, kemudian pada 20 Mei sebanyak 350 orang pekerja paksa merobohkan pintu penjara dan melarikan diri ke Kampung Lubang Tembok.
Efek dari pemogokan kuli ini menyebabkan berkurangnya produksi batubara. Apabila pada tahun 1924 jumlah produksi batubara sebanyak 606.423 ton dan pada 1925 menurun menjadi 539.328 ton dan pada 1926 menurun menjadi 488.482 ton.
Puncak perlawanan rakyat terhadap Belanda terjadi pada 31 Desember 1926, saat Belanda sedang merayakan tahun baru. Perlawanan diadakan secara serentak di 18 nagari sekitar Silungkang. Namun perlawanan ini gagal dan banyak pemimpin dari perlawanan ini ditahan, dihukum dan diadili di Sawahlunto.
Kemudian pada tahun 1938 penggunaan tenaga kerja kombinasi buruh sekaligus tahanan berakhir, pengiriman tahanan untuk dipekerjakan sudah dihentikan. Tenaga kerja orang rantai telah digantikan dengan buruh bebas. Sehingga hal ini juga memberikan perubahan yang signifikan terhadap aktivitas tambang.
Referensi
Lindayanti, dkk, Kota Sawahlunto, Jalur Kereta Api, & Pelabuhan Teluk Bayur: Tiga Serangkai dalam Sejarah Pertambangan Batubara Ombilin di Sumatera Barat, Padang: Minangkabau Press, 2007.
Lindayanti, dkk, Pertambangan dan Pengangkutan Batubara Ombilin Sawahlunto Pada Masa Kolonial, Laporan Akhir, Pusat Studi Humaniora, 2015.
(Firga)
Foto sampu: koleksi Museum Situs Lubang Tambang Mbah Soero