Di penghujung 1945, segerombolan juru rawat di sebuah rumah sakit di Padang kabur ke luar kota menaiki kereta api.  Mereka adalah juru rawat perempuan dan laki-laki yang meninggalkan ‘tugas’ merawat tentara Sekutu yang terluka karena pertempuran yang makin intens dengan milisi anti-Belanda. Padang, saat itu adalah garis depan pertempuran. Revolusi tengah berlangsung. 

Masthor adalah salah satu juru rawat ‘desertiran’ tersebut. Dengan perasaan cemas, ia bersama keloga-koleganya, termasuk kekasihnya, Djusair Hamzah, memasuki gerbong kereta api hendak ke Pariaman.

Stasiun Padang dipenuhi militer Belanda. Mereka merazia para penumpang, memeriksa barang-barang, dan menangkapi penumpang yang dicurigai sebagai ‘mata-mata’ atau penyelundup senjata. 

Karena memang tidak berniat untuk bergabung dengan tentara pejuang yang sebagiannya juga tengah mundur ke kota-kota di luar Padang, mereka aman-aman saja. Mereka dibolehkan berangkat. 

“Pelarian itu sangat mendebarkan hati. Setiap gerbong diperiksa oleh Polisi Militer Belanda”, tulis Masthor di Catatan Kecil di Tengah Hiruk-pikuk Revolusi. (hal 33, tanpa tahun). 

**

Itu bukan pertamakalinya Masthor berurusan dengan kereta api. Pada masa penjajahan Jepang, ia masuk ke sekolah perawat dan segera dikirim ke Logas, Riau, untuk merawat para romusha yang dipaksa bekerja membangun rel kereta api.

Di sanalah ia melihat neraka, di sana pula pandangannya tentang dunia mulai tergoncang. Orang-orang mati hanyalah statistik bagi Jepang. Mereka yang sekarat dirawat dengan pengobatan seadanya. Yang hampir-hampir sakit, dirawat agar dapat hidup sehari dua hari lagi demi membangun rel. Para tentara Jepang memperlakukan semua orang di sana sebagai manusia kelas dua, termasuk dirinya, yang kerap menerima dan menyaksikan kekejaman yang tak pernah dibayangkannya. 

Setelah kembali dari tugas di Neraka Logas, ia bekerja di sebuah rumah sakit umum di Padang sebagai perawat. Pekerjaan itu terus dilakoninya hingga Proklamasi diumumkan di Jakarta hingga mendaratnya sekutu di Padang lalu mengambil alih rumah sakit tersebut. 

Peperangan pecah di sana-sini di Kota Padang dalam skala beragam. Korban berjatuhan. 

Di rumah sakit itu ia ditugaskan merawat tentara Inggris dan Belanda yang terluka karena berbagai pertempuran dengan pasukan anti-Belanda: para pemuda revolusioner. 

Ada guncangan batin yang tak terungkapkan oleh kata-kata dalam biografi tersebut, ketika mereka harus merawat orang yang diam-diam mereka benci. Masthor memang tak mengatakannya secara eksplisit. 

Yang jelas, saat itu ia dan teman-temannya telah mendengar kabar tentang badan-badan pemuda dan milisi-milisi militer yang berjuang untuk mengusir sekutu dan Belanda dari Padang. Merekapun membentuk kelompok dan mulai menyelundupkan obat-obatan untuk pejuang. 

Tapi mereka masih memandang diri lebih sebagai simpatisan. Mereka tahu mengenai “pejuang-pejuang kita di luar” sana. Tapi belum memutuskan untuk terjun langsung ke medan pertempuran. Mereka hanya ingin kabur karena mulai cemas aktivitasnya menyelundupkan obat-obatan mulai terendus. 

Bagi Mashtor sendiri, pelarian itu adalah juga adalah romansa: ia ingin mengamankan Djusair  pujaan hatinya keluar dari Padang yang sudah tak aman, lalu mengantarkannya pulang kampung ke Lubuk Basung dalam keadaan aman. Ia ingin menjadi pahlawan bagi sang kekasih.

**

Di jalur rel Padang-Pariaman itulah romansa bersemi. Di sampingnya duduk sang pujaan hati. Di luar dia beberapa kali melihat “pejuang-pejuang kita”, melihat para pemuda yang “bersedia mengorbankan jiwa raganya” demi kemerdekaan. 

“Mengapa saya harus berdiam diri?” 

Pertanyaan itu terus mengganggunya selama di atas kereta. Pertanyaan yang muncul dari akumulasi pengalamannya saat di Logas dan saat harus merawat tentara sekutu. 

Momen penting dan menentukan dalam hidup Masthor terjadi di atas kereta api. Di atas kereta api itu ia berjanji akan menikahi kekasihnya suatu saat nanti. Di atas kereta api itu pula ia memutuskan untuk terjun ke medan perang sebagai ‘tentara kesehatan’. 

**

Setelah turun di Pariaman, mengantarkan kekasihnya ke Lubuk Basung dengan dokar, ia segera bergerak ke Bukittinggi, berjalan kaki sejauh 60 Km. Tujuannya satu: menuju Sawahlunto untuk bergabung dengan “pejuang-pejuang kita di luar sana “, untuk menjadi bagian dari sejarah Revolusi Indonesia sebagai tentara kesehatan.

Dengan kereta api, Mashtor kemudian berangkat dari Bukittinggi ke Sawahlunto. Informasi yang didapatnya sebelum ini ternyata benar. Di Sawahlunto Resimen III/Kurandji yang tengah membangun basis perlawanan, membutuhkan tentara kesehatan. 

Dipenuhi rasa bangga Masthor menulis kalau ia diterima langsung oleh pimpinan Dinas Kesehatan Resimen III/Kurandji: Dr. Reksodiwiryo, dokter bedah kenamaan yang sejak dimulainya Revolusi turun ke medan tempur untuk membangun badan-badan kesehatan rakyat dan pejuang. 

Mashtor diberi pangkat Letnan. Ia sempat kembali ke Lubuk Basung untuk menepati janjinya, menikahi Djusair. Lalu memboyongnya ke Sawah Lunto. Beberapa bulan kemudian ia ditugaskan ke Alahan Panjang sebagai Kepala Kesehatan Batalyon dengan pangkat Sersan Mayor. 

Enam bulan kemudian, Agresi Militer Belanda kedua dimulai. Perang pecah, menjangkau kawasan pedalaman seperti Alahan Panjang. Mashtor selamat dari beberapa kali penyergapan dan perang skala kecil. Istrinya terpaksa mengungsi ke sana kemari bersama 15 pengungsi lainnya, hingga akhirnya sampai di Muaro Labuah. 

Di sana mereka kembali bersama dan kembali diserang. Mashtor dan satu satuan kecil militer yang juga mundur ke Muaro Labuah sekali lagi selamat dalam perjuangannya. Serangan mortar, terjangan peluru, penyakit, kelaparan, mereka lalui bersama. Tanpa bantuan rakyat di kampung-kampung di sepanjang jalur pengungsian, semua mungkin tak akan terlewati. 

**

Mashtor mungkin memaksudkan buku biografinya, Catatan Kecil di Tengah hiruk-pikuk Revolusi

tersebut sebagai ‘catatan kecil’. Namun apa yang terkandung di dalamnya menunjukkan bagaimana rel dan kereta api, dan perjalanan kereta api itu sendiri, menjadi wahana titik balik struktur mental seseorang. 

Sebelum ditugaskan ke Logas, ia cenderung melihat kedatangan Jepang secara datar saja. Begitupun Belanda. Kolonialisme Belanda, tampak tak begitu mengganggunya.  

Dan setelah dua tiga perjalanan kereta api, Mahstor pun akhirnya menjadi bagian dari Revolusi Indonesia. Seperti yang muncul di pikirannya dalam perjalanan kereta api dari Padang ke Pariaman:  “Saya harus ikut dalam arus sejarah […] Agar tidak termenung di luar arus revolusi.“ (*)

Penulis: Randi Reimena

Open chat
1
Scan the code
Helpdesk
Halo 👋
Ada yang bisa kami bantu?