Editor: Sudarmoko

Penerbit: Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi

Tahun Terbit: 2023

Jumlah Halaman: i-xi + 213

 

Buku ini terdiri atas 9 tulisan dan 1 foto bertutur tentang Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto (WTBOS). Masing-masing tulisan dikerjakan oleh penulis dari berbagai latar keilmuan dan dengan demikian berisi beragam pendekatan keilmuan pula dalam memetakan WTBOS. Mulai dari sudut pandang sejarah, teknik lingkungan, hukum, sosiologi feminis, hingga kajian budaya. Pendek kata, buku ini berupaya memetakan WTBOS dari banyak sisi.

Tulisan Fadjar Goembira misalnya (hal, 23-36), membahas potensi sumber energi baru yang bisa dikembangkan di bekas-bekas lahan penambangan batubara terbuka. Ia melihat adanya potensi besar pemanfaatan biomassa di lahan bekas tambang dengan menanam sejumlah tanaman lokal yang dapat diolah menjadi sumber energi layaknya batubara. Akademisi teknik lingkungan ini  menyebutnya ‘Kebun Energi’. Dalam tulisannya Fadjar juga mencantumkan berbagai contoh kasus pemanfaatan energi biomassa yang cukup berhasil, baik di Sumbar maupun luar Sumbar.

Sejarawan Zaiyardam Zubir, mencoba mendorong lebih jauh penelitian-penelitian sejarah terdahulu mengenai buruh tambang. Dalam tulisannya di buku ini, ia melihat kemunculan gerakan buruh tambang Ombilin yang terdiri atas beragam etnik dari lapisan sosial bawah di masa kolonial sebagai ‘embrio nasionalisme rakyat kecil’. Nasionalisme jenis ini turut membentuk nasionalisme Indonesia, yang bagi Zaiyardam memperlihatkan bahwa nasionalisme tidak hanya dibentuk atau terbentuk di kalangan elit terdidik namun juga muncul dari bawah, dari lingkungan rakyat kecil. (hal, 37-56).

Pakar Hukum dari Universitas Andalas Charles Simabura menulis tentang pentingnya payung hukum yang tepat dalam pengelolaan WTBOS. Setelah menelaah regulasi-regulasi yang telah ada sebelumnya, yang cenderung tumpang tindih, ia mengusulkan agar WTBOS memiliki payung hukum berupa Peraturan Presiden sebagaimana payung hukum untuk Borobudur. Selain itu, Charles juga melihat pentingnya suatu badan atau lembaga yang menaungi semua Kementrian/Lembaga dalam pelindungan dan pelestarian WTBOS. Tanpa itu semua WTBOS tidak akan membawa dampak besar terutama dampak ekonomi bagi masyarakat di sekitar WTBOS. (Hal, 57-70).

Sementara itu, peneliti sastra Ivan Adilla menyoroti potensi besar Sawahlunto dan Kawasan WTBOS lainnya sebagai lanskap penciptaan beragam karya seni, sebagai sumber ilmu pengetahuan yang dapat diolah secara kreatif menjadi macam-macam karya seni. Ivan memulai tulisannya dengan menelusuri dinamika sejarah kesenian di Sawahlunto, bagaimana berbagai grup kesenian muncul dan tenggelam untuk kemudian kembali bersemi. Di dalam dinamika itu, muncul hibriditas di mana saling pengaruh antar kultur telah melahirkan bentuk-bentuk kesenian yang lahir dari suatu budaya hibrid. Kondisi hibriditas itulah yang dilihatnya punya potensi besar untuk dikembangkan lebih jauh, terutama di Sawahlunto. (hal, 71-96).

Dede Pramayoza juga mengulas pokok persoalan yang punya irisan dengan kebudayaan di Kawasan WTBOS. Berbagai aspek kebudayaan di Kawasan WTBOS, dilihatnya punya potensi besar untuk dikembangkan sebagai industri budaya. Namun ia menggarisbawahi bahwa dalam “pemanfaatan WTBOS sebagai Warisan Budaya Dunia di masa kini perlu mempertimbangkan paradigma seni dekolonial atau decolonial art”. Ini menurutnya penting guna menyebarluaskan narasi soal “bahaya laten kolonialisme” melalui beragam karya seni. Secara tidak langsung Dede juga mengingatkan agar penciptaan karya seni terhindar dari bias kolonial yang mungkin saja terjadi karena ketergantungan berlebihan atas sumber-sumber sejarah kolonial. Karena itu, ia mendorong agar penciptaan karya seni-karya seni baru di Galanggang Arang selanjutnya berangkat dari pengalaman masyarakat lokal Sumatera Barat. (hal, 134-160).

Selain tulisan-tulisan di atas, buku ini juga memuat tulisan lain yang tak kalah menariknya dan mengangkat topik yang selama ini cenderung diabaikan dalam penelitian-penelitian atau tulisan populer terkait WTBOS. Ada tulisan Kabati yang menyoroti peran perempuan dalam narasi sejarah terbentuknya Kawasan WTBOS di masa lalu, terutama soal keterlibatan perempuan dalam negosiasi-negosiasi ‘pembebasan lahan’.

Juga ada tulisan Zelfeni Wimra, dkk., yang mendedahkan hubungan dinamik antara kemunculan rel kereta api dengan institusi-institusi keagamaan seperti madrasah, surau, serta pusat- pusat ekonomi yaitu pasa atau pakan.Sementara Randi Reimena dan Heru Joni Putra mencoba menelusuri hubungan simptomatik antara representasi kelas pekerja di beberapa museum di Sawahlunto dengan kondisi kelas pekerja di Sawahlunto hari ini.

Buku yang dieditori Sudarmoko ini ditutup dengan foto bertutur Fatris MF. Fatris mendokumentasikan keadaan terkini situs-situs WTBOS mulai dari Teluk Bayur hingga Sawahlunto. Dari foto-foto yang diambilnya di sepanjang penelusuran jalur kereta api Teluk Bayur-Sawahlunto itu, kita tidak hanya mendapat gambaran soal benda-benda peninggalan Belanda namun juga kondisi masyarakat di sekitarnya. (*)

Open chat
1
Scan the code
Helpdesk
Halo 👋
Ada yang bisa kami bantu?