Penulis: Andi Asoka, dkk

Penerbit: LPTIK Unand

Tahun Terbit: 2016

Halaman: 379 

Buku yang terdiri atas VII bab ini berisi penjelasan mengenai munculnya Sawahlunto sebagai kota tambang di masa kolonial, masa-masa kejayaan dan kemerosotan Sawahlunto sebagai kota tambang, hingga upayanya untuk bangkit menjadi kota wisata tambang. 

Bab pertama buku ini lebih banyak membahas mengenai latar geografis dan topografis  Sawahlunto yang nantinya mempengaruhi munculnya pertambangan dan tata ruang kota Sawahlunto. Cekungan Ombilin yang kaya dengan kandungan batu bara dengan kualitas baik, membuat daerah tersebut berkembang menjadi area pertambangan dan kemudian memicu munculnya Kota Sawahlunto.  Sawahlunto dilihat dalam buku ini bukan sebagai lahan kosong tak produktif—sebagaimana yang diklaim Belanda secara diam-diam. Lebih dari itu, ia merupakan taratak, area persawahan yang merupakan bagian sistem kenagarian. 

Selanjutnya buku ini membahas segi-segi administratif Kota Sawahlunto. Bagaimana ia berkembang dari pemukiman penambang menjadi bagian dari sistem birokrasi Hindia Belanda sebagai bagian dari Onderafdeeling VII Koto. Jabatan-jabatan mulai diisi. Wakil Kontrolir, Kapiten untuk warga Tionghoa, dan kemudian lembaga adat juga dibentuk. Bagian ini dijelaskan dalam Bab II. Perkembangan penduduk dan meningkatnya produksi batu bara mendorong perubahan-perubahan administratif, mulai dari dibentuknya Kelarasan Sawahlunto hingga menjadi Kotapraja. Salah satu sub-bab, membahas khusus mengenai pembangunan infrastruktur kota, dari mulai stasiun, pembangkit listrik, hingga bank serta rumah sakit. 

Di Bab III, asal-muasal Kota Sawahlunto kembali dibahas. Namun dengan porsi lebih besar dan lebih detail. Bab ini memperkuat pandangan para penulisnya bahwa Kota Sawahlunto bukanlah lahan kosong, atau tanah tak bertuah. Selain area persawahan, banyaknya surau di nagari-nagari sekitar taratak itu dilihat buku ini sebagai tanda bahwa masyarakat yang mengolah sawah di area Sawahlunto pra-pertambangan, merupakan bagian dari masyarakat dengan sistem sosial keagamaan yang kompleks dan cenderung mapan. 

Selain membahas pembukaan tambang serta fasilitas penunjang aktifitas penambanga, bab III ini juga menjelaskan kondisi kerja para buruh paksa. Terdapat beberapa tabel berisi jumlah upah buruh paksa, dari awal penambangan sampai pertengahan abad ke-20. Juga dibahas mengenai kondisi kesehatan buruh lengkap dengan tabel jenis-jenis penyakitnya. Upah yang minim, kondisi kerja yang jauh dari memadai, hiburan-hiburan penguras uang yang dengan sengaja  difasilitasi Belanda menciptakan kondisi ketergantungan buruh pada perusahaan tambang. Ada pula pembahasan mengenai sebab-sebab buruh yang melarikan diri dari tambang, lengkap pula dengan tabel jumlah buruh yang melarikan diri antara 1910-1916. Serta macam-macam hukuman yang dijatuhkan pada para buruh, yang disertai tabel jumlah buruh yang mendapat hukuman antara 1925-1927. Nama-nama para pemimpin tambang dari 1891 hingga masa kini juga dicatat dengan rinci di Bab III ini. 

Bagaimana kondisi Sawahlunto di masa pendudukan Jepang, Revolusi hingga Orde Lama (saya sendiri lebih memilih menyebutnya periode 1950-an) dibahas pada Bab IV. Digambarkan upaya Jepang mengoptimalkan produksi tambang batubara yang mereka rebut dengan mudah. Dalam tahap ini, Sawahlunto dan warganya dikerahkan secara brutal agar menjadi bagian dari mesin perang Jepang. Milisi seperti Gyu Gun, sekolah-sekolah, didirikan dengan tujuan itu. 

Dalam masa Revolusi, infrastruktur yang ditinggalkan Belanda dan Jepang segera difungsikan demi menyokong Revolusi. Rumah sakit diambil alih jadi rumah sakit untuk tentara republik, begitupun gudang senjata, serta bangunan-bangunan lainnya. Pecahnya PRRI juga membawa akibat tersendiri bagi perkembangan Sawahlunto. Partai Komunis Indonesia (PKI) dan organ-organ seperti Lekra, dan organisasi seperti SOBSI dan SOKSI berkembang pesat selama periode PRRI. Setelahnya, terjadi pembalikan keadaan, ketika PKI dan segala sesuatu yang dianggap berhubungan dengannya dihancurkan di seluruh Indonesia pasca 1965. Namun penghancuran PKI di Sawahlunto relatif tidak begitu destruktif sebagaimana kota-kota lainnya di Indonesia dan Sumbar sendiri. 

Sawahlunto memasuki masa transisi pemerintahan mulai dari 1965 hingga 1998 pada Bab IV. PKI disingkirkan dari jabatan-jabatan publik. Organ-organ seperti Lekra dan serikat buruh dibekukan. Dimulailah masa Orde Baru yang panjang di Sawahlunto. Buku ini melihat adanya perkembangan positif dalam masa Orde Baru. Pendidikan semakin merata, wilayah-wilayah dimekarkan, ekonomi membaik berkat Repelita. Masalah-masalah sosial seperti cakak banyak antar nagari berhasil ditangani. 

Dalam Bab IV ini pula dijelaskan soal multikulturalisme masyarakat Sawahlunto. Masa-masa Orde Baru dilihat sebagai masa-masa penting terbentuknya masyarakat multikultur di Sawahlunto meski pada masa yang sama komunitas Tionghoa mulai meninggalkan Sawahlunto. Namun begitu “Simbol-simbol masyarakat plural yang global, seperti komputerisasi, interaksi dengan dunia luar serta majunya sistem pendidikan di tengah masyarakat justru tidak berkembang.” (Hal. 206). Jenis-jenis industri kecil di luar pertambangan juga mendapat perhatian lebih di Bab IV ini. 

Masuknya Sawahlunto ke era Reformasi dan Otonomi daerah dibahas di Bab VI. Bagaimana keadaan Sawahlunto di awal-awal masa ini digambarkan seperti ini: Kota Sawahlunto pernah mendapatkan kejayaannya pada tahun 1930-an, dengan penduduk lebih kurang 30.000,- jiwa. Namun kota ini mengalami suatu penurunan yang drastis setelah Indonesia merdeka. Masalah itu terus berlanjut sampai saat ini. Kini kota itu tertinggal dan terasing dari berbagai sisi modern dan globalisasi” (Hal. 2016).  Keadaan tersebut coba diatasi oleh pemerintah dengan mencanangkan visi “Sawahlunto 2020 menjadi Kota Wisata Tambang yang Berbudaya”. Bab-bab selanjutnya dalam buku ini menggambarkan upaya-upaya serta berbagai kendala untuk mencapai visi tersebut. 

Secara umum, buku ini sangat padat dengan data. Sebagiannya bisa dikatakan sebagai data mentah yang bisa digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu bagi peneliti dan peminat sejarah. Buku ini juga melengkapi beberapa literatur mengenai Sawahlunto karena perhatiannya yang besar pada upaya-upaya ‘menghidupkan’ kembali Sawahlunto pada masa-masa setelah reformasi. 

Open chat
1
Scan the code
Helpdesk
Halo 👋
Ada yang bisa kami bantu?