Karya tulis tentang WTBOS, umumnya membahas Kota Sawahlunto dengan segala problematikanya. Sebagian studi berfokus pada aspek-aspek perburuhan, kerja paksa, dan bentuk-bentuk opresi kolonial dalam menjalankan industri tambang, atau segi-segi lainnya seperti bahasa dan seni pertunjukan. Sebagian lagi menekankan efek-efek positif berdirinya tambang, baik di Sawahlunto sendiri maupun kawasan-kawasan lain di sepanjang jalur WTBOS.
Sejauh yang bisa ditelusuri, tak ada kajian terkait WTBOS yang memilih batasan wilayah di luar kawasan WTBOS. Namun ada satu karya sastra yang memilih wilayah pinggiran Sawahlunto sebagai latar cerita. Karya tersebut adalah cerita pendek berjudul “Lepas Seperti Ayam” karya Deddy Arsya yang terhimpun dalam buku kumpulan cerita pendek Rajab Syamsudin si Penabuh Dulang (2017: hal, 17-22).
Cerita ini berlatar di Desa Kolok Mudiak, kawasan pinggiran WTBOS, sekitar 6 km di utara Sawahlunto. Latar waktu yang dipilih Deddy ialah ketika tambang batubara Ombilin telah berhenti beroperasi.
Tokohnya sepasang suami istri yang tengah memasuki usia senja dan mulai pikun. Sang suami adalah bekas pekerja tambang. Ia sosok pekerja keras yang tak bisa berdiam diri saja. Sejak kecil ia telah terbiasa bekerja. Setelah tiba-tiba kehilangan pekerjaan, ia seperti kehilangan akal. Setiap hari ia pamit untuk pergi ke ladang atau ke sawah yang terletak jauh dari rumah mereka, dan baru pulang ketika malam hampir tiba.
Mereka punya ayam peliharaan, sekitar 7 atau 8 ekor, yang tidak bisa mereka ingat dengan persis karena mulai pikun. Ayam-ayam itu biasanya tertib. Mereka tahu cara masuk sendiri ke kandangnya berikut jadwalnya. Setiap menjelang malam, ayam-ayam itu sudah berada di kandangnya. Ayam-ayam ini punya rutinitasnya sendiri.
Tapi akhir-akhir ini, ayam-ayam itu mulai liar. Mereka, kata sang suami “sudah tak mau lagi berkandang”. Mereka makin liar dan kini suka lepas berhamburan entah kemana.Sama seperti sang suami, mereka seakan kehilangan orientasi dan meninggalkan rutinitasnya. Walau begitu, ayam-ayam itu kini tampak lebih bahagia.
Sang istri yang resah karena tingkah ayam-ayamnya, mengadu ke sang suami. Namun kata sang suami lagi, “biar saja, lepaslah saja.”
Lepas seperti ayam, mencerminkan dua hal sekaligus. Pertama, kondisi di mana orang hidup bebas dan lepas. Kedua, suatu kondisi yang penuh ketidakteraturan, kekacauan, tidak adanya kontrol, dan segala bahasa persamaannya.
Judul itu tampaknya digunakan Deddy untuk menggambarkan kondisi kedua. Setelah tambang batubara ditutup, sang suami, seperti penduduk kampung lainnya, seperti kehilangan orientasi. Tambang tempat biasanya mereka menjangkarkan hidup kini sudah tak ada. Para anak mudanya keluar dari kampung, menuju rantau karena negeri mereka sudah kehilangan sumber pekerjaan. Kampung tak lagi menjadi tumpuan hidup mereka. Sebagiannya lagi tetap bertahan, hidup seadanya dengan kondisi ekonomi yang memprihatinkan. Penduduk lainnya yang bertahan di kampung, kembali mendulang emas di sungai. Lingkungan rusak karena sebagian warga beralih profesi menjadi pendulang emas.
Begitulah kondisi wilayah pinggiran Sawahlunto ketika tambang batubara ditutup. Desa Kolok Mudiak yang ekonominya tergantung pada keberadaan tambang batubara, kini terguncang. Mereka tampaknya tidak siap ketika ketergantungan itu tiba-tiba putus. Sistem bermasyarakat tak lagi berjalan dan berfungsi seperti di masa lalu. Ekoomi macet.
Orang-orang kini lepas seperti ayam. Tepatnya dilepas ayam saja oleh perusahaan. Tanpa jaminan masa tua, dua suami itu, dan desa itu sendiri, seolah dilanda krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Inilah dampak buruk industri ekstraktif yang ingin disampaikan Deddy lewat karyanya. Bahwa industri tambang batubara itu terbatas masanya, ia bukanlah industri berkelanjutan. Bahwa masyarakat yang terlanjur bergantung padanya, kini lepas seperti ayam. Hilang akal menghadapi situasi baru, lalu melakukan apa yang bisa dilakukan untuk menyambung hidup: termasuk merusak alam.
Cerita murung ini bukanlah khayalan yang tiba-tiba saja hinggap di kepala Deddy Arsya di suatu pagi yang cerah. Lewat wawancara tidak formal melalui aplikasi percakapan, sejarawan itu mengatakan ia pernah Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kolok Mudiak pada 2009 silam.
Di sana ia mengamati perubahan yang terjadi dalam masyarakat Kolok Mudiak begitu tambang batubara ditutup—kondisi yang ia ibaratkan bak lepas seperti ayam.
Apa-apa yang diamatinya pada 2009 itu, kemudian dituliskannya dalam bentuk artikel di sebuah jurnal. Sayangnya artikel berjudul “Kolok Mudiak pada Masa Tambang Rakyat: Tinjauan Pengaruh Dunia Tambang terhadap Kehidupan Ekonomi Masyarakat Pedesaan-Pinggiran Sawahlunto” yang dimuat di Jurnal Tsaqafi, Vol. 1 No. 2, tahun 2009 itu, kini tak bisa lagi ditemukan.
Dari keterangan Deddy, berbeda dengan cerita pendeknya, artikel itu menyoroti dampak kehadiran tambang terhadap nagari-nagari di pinggiran dengan Kolok Mudiak sebagai studi kasusnya.
Saat tambang berdiri, tanah ulayat Kolok Mudiak diambil alih oleh perusahaan lewat berbagai konsesi antara elit dan pihak pemerintah. Anak nagari kemudian dipekerjakan di tambang.
Semua mungkin tampak baik-baik saja. Biarpun ulayat tak lagi ada, mereka bisa bekerja di tambang. Namun semua menjadi petaka ketika batubara habis. Tanah garapan tidak ada lagi. Dalam cerpen, sang suami diceritakan setiap hari pergi “Entah ke ladang di rimba mana.” Jika ia bersawah, maka sawahnya itu letaknya jauh “di balik rerimbun madang.” Ladang dan sawah yang jauh di tengah rimba itu, yang membuat sang suami sering pulang malam itu, bisa kita pahami dalam dua cara: bisa jadi masyarakat terpaksa manaruko wilayah baru karena tanah ulayat telah hilang atau semua itu hanyalah fantasi sang suami belaka—tanah garapan sudah benar-benar tandas, sang suami yang sudah agak pikun itu hanya berpura-pura ke ladang dan ke sawah, berpura-pura hidup dalam dunia agraris darimana ia dulu berasal. Saat ia kehilangan orientasi yakni modernitas yang dijanjikan dunia tambang, ia dengan sia-sia mencoba kembali ke dunia agrarisnya yang, malangnya, sudah digusur habis oleh tambang dan modernitasnya.
***
Sejauh yang dapat ditelusuri, seperti sudah disinggung di atas, kajian mengenai dampak industri tambang batubara di pinggiran Sawahlunto amat sangat minim. Padahal kajian seperti ini penting untuk melihat bagaimana sesungguhnya pengaruh kehadiran tambang batubara. Konon, dari lubang-lubang tambang itu menjalarlah modernitas, kebaruan, inovasi dan perubahan sosial yang positif ke seantero Sumatra Westkust atau paling tidak di sepanjang jalur WTBOS.
Lewat cerpen “Lepas Seperti Ayam” kita bisa menangkap industri tambang batubara itu layaknya tebu: manisnya di pangkal saja.
Di samping karya-karya Deddy Arsya, ada juga karya Joel S Khan. Sama seperti Deddy, ia mencurahkan perhatian dampak invasi kolonialisme di nagari-nagari di pinggir Sawahlunto. Meski tidak secara khusus membahas dampak tambang, ia juga menyinggung hal yang sama dengan Deddy: penyingkiran (eksklusi) masyarakat dengan tanah ulayatnya demi pembangunan industri tambang batubara ombilin. Dan penyingkiran itu adalah salah satu faktor yang mendorong pecahnya pemberontakan Silungkang 1927—ketika kaum tani, kekuatan paling radikal dalam nagari muncul ke permukaan, mengangkat senjata dan menyerukan pengusiran penjajah untuk selama-lamanya. (*)
Rujukan:
Arsya, Deddy. 2017. Rajab Syamsudin si Penabuh Dulang dan Cerita Lainnya. Yogyakarta: DIVA Perss.
Khan, S Joel. 2009. Kesadaran Politik Kaum Tani di Sumatera Barat: Analisis Ulang Atas Pemberontakan Komunis 1927 (Bagian I & II)