Sebelum dikirim dari Pelabuhan Teluk Bayur ke berbagai pelabuhan, batu bara hasil produksi tambang di Ombilin disimpan dulu di sebuah gudang. Masyarakat menyebut gudang itu sebagai ‘Gudang Baro’. Letaknya masih dalam kawasan Pelabuhan Teluk Bayur atau yang di masa lalu terkenal sebagai Emmahaven—salah satu pelabuhan penting di masanya. Kini gudang peninggalan kolonial itu lebih dikenal sebagai Silo Gunung.
Dulu ada dua gudang kembar di Silo Gunung, keduanya mirip dan punya fungsi sama. Satu gudang didirikan lebih belakangan dibanding satunya, namun saat ini hanya satu gudang yang tersisa. Keduanya bisa menampung 18.000 ton batubara.
Batubara yang diangkut dari Ombilin disimpan ke dua gudang itu dari rel yang terentang di atasnya. Gerbong-gerbong berisi batubara akan berhenti tepat di atas gudang dan tinggal membuka kedua pintu di sampingnya untuk menuangkan batubara. Dari gudang, batubara diluncurkan ke dermaga Emmahaven menggunakan lori setelah ditimbang terlebih dahulu.
Sebagian batubara itu khusus digunakan sebagai bahan bakar kapal, sebagian lagi disiapkan untuk kebutuhan lainnya. Kapal-kapal dari Emmahaven memasok batubara untuk kebutuhan bahan bakar kapal-kapal lainnya, sekaligus untuk kebutuhan industri lainnya seperti pabrik-pabrik atau kereta api.
Emmahaven merupakan pelabuhan dengan teknologi mumpuni di zamannya. Ia dirancang “untuk meningkatkan kecepatan pemuatan batubara dan menggantikan tenaga kerja manual yang mahal dengan mesin.”
Silo Gunung memang bagian dari rantai jalur distribusi batu bara yang merentang dari Ombilin ke Emmahaven. Dari sini batubara dari Ombilin dikirim untuk kebutuhan di Hindia Belanda, paling banyak ke Priok, Surabaya dan Sabang, serta dieskpor ke luar terutama ke Cina serta Jepang.
Di saat pelabuhan-pelabuhan lain memuat batubara dengan cara manual, dengan para pekerja yang mengangkut batubara dalam keranjang untuk dimuat ke kapal, di Emmahaven mulai dibangun fasilitas pemuatan yang dapat memuat batubara jauh lebih cepat dan efisien.
Pada 1917, berbagai fasilitas baru disiapkan dengan komponen-komponen yang dikirim dari Belanda. Crane setinggi 10 m dan dapat mengangkat 10 ton beban sedang dibangun. Crane ini dapat mengangat sebuah gerbong batubara dengan muatan 6000 kg dan menuangkan isininya dengan mudah ke atas kapal. Sebuah fasilitas bungker batubara terapung juga sedang didatangkan dari Belanda.
Dengan fasilitas tersebut, dalam satu jam 300 hingga 350 ton batubara dapat dimuat ke atas satu kapal. Jumlah ini lebih banyak dibanding kemampuan fasilitas pemuatan barubara di Pelabuhan Pulu Laut di Kalimantan yang bisa memuat 100 ton batubara perjam. Fasilitas itu juga mempermudah gerak kapal yang hendak dimuat batubara. Kapal uap, bahkan yang berbobot 7.000 ton, dapat dibawa ke fasiltas pemuatan ini dengan beberapa manuver saja.
Untuk mengoperasikan fasilitas tersebut dibangun pembangkit listrik di persimpangan jalur kereta api dengan Sungai Padang, di antara Padang dan Emmahaven. Dua buah turbo generator dengan masing-masing kekuatan 700 HP dipasang di sana—jumlah yang lebih dari cukup untuk mengoperasikan crane dan untuk penerangan pelabuhan umumnya.
Meski dibangun lebih dari dua abad yang lalu, satu gudang yang tersisa dan beberapa fasilitas lainnya di Gunung Silo, terlihat masih cukup kokoh. Gudang ini berhenti beroperasi sekitar tahun 2000-an.
Kini Silo Gunung menjadi bagian dari Kawasan Warisan Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto (WTBOS) yang ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO pada 2019 lalu. Sebagai informasi, WTBOS sendiri tidaklah terbatas pada wilayah administratif Sawahlunto saja. Ia mencakup 7 Kab/Kota (kini 8 Kab/Kota) yang terhubung oleh jalur kereta api Tambang Batu Bara Ombilin-Emmahaven. Kawasan atau Jalur WTBOS ini terbagai dalam tiga zona. Zona A adalah Kota Sawahlunto, Zona B mencakup jalur kereta api Ombilin-Emmahaven yang melintasi 7 kabupaten-kota), dan Zona C yang berarti fasilitas penyimpanan dan distribusi di Emmahaven. (Randi*)