Artikel Kiki Nofrijum

Sejak ditetapkannya Warisan Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto (WTBOS) sebagai warisan dunia UNESCO pada 6 Juli 2019, sampai kini, penelusuran jejak-jejak yang berbau perjalanan dan aktivitas tambang batu bara Ombilin itu terus dipungut satu per satu.

Bahkan secara fokus, melalui gelaran Galanggang Arang yang telah berjalan dua tahun, label Ombilin Heritage sebagai warisan dunia ini terus berupaya menjemput sisa-sisa sejarah yang tertinggal, begitupun yang bersifat pembaharuan – demi menguatkan kelangsungan ekosistemnya.

Tak terkecuali juga bagi surat kabar Haluan. Surat kabar dari Sumatra Barat ini dulunya turut serta menulis jejak perjalanan tambang batubara, khususnya pasca-kemerdekaan Indonesia. Setidaknya dalam kurun waktu tujuh tahun (1951-1957), perkembangan tambang batubara di Sawahlunto menjadi perhatian Haluan.

Mungkin saja, surat kabar ini bisa merekam lebih panjang perjalanan batubara ini, tapi, Haluan sendiri terpaksa menutup penerbitannya selama 11 tahun karena gejolak PRRI 1958. Dirasa dalam kurun waktu tersebut, jejak tambang batu bara setidaknya mampu menjadi etalase tersendiri dalam pemberitaan Haluan sebagai salah satu surat kabar tertua di Indonesia.

Sebagaimana yang dituliskan sejarawan Unand, Prof. Gusti Asnan, dalam bukunya Memikir Ulang Regionalisme: Sumatera Barat Tahun 1950-an, ia menyebutkan pada tahun-tahun 1950-an itu surat kabar Haluan tengah asyik-asyiknya mengabarkan suara-suara dari daerah, termasuk “jeritan suara” dari tambang batubara.

Begitu juga dalam buku Erwiza Erman Membaranya Batubara: Konflik Kelas dan Etnik Ombilin-Sawahlunto-Sumatera Barat (1892-1996), perjalanan tambang batu bara pasca-kemerdekaan hampir sebagian besar sumbernya mengacu kepada surat kabar Haluan.

Di fase itu, ketika kemerdekaan Indonesia baru seumur jagung, upaya pemulihan Indonesia sebagai negara yang ‘baru merdeka’ sedang gencar-gencarnya bergerak. Membangkitkan Indonesia pada masa itu juga sedang berada dalam tekanan-tekanan yang tiada hentinya dari berbagai kelompok dan daerah. Meski Belanda meninggalkan alat dan bangunan yang canggih dan bermanfaat, sebaliknya kemerdekaan pun dibebani desakan untuk segera sejahtera tanpa bantuan luar.

Penerbitan Haluan dalam kurun waktu tujuh tahun itu melihat tambang batubara dalam masa yang berat, di mana jalannya batubara berada dalam desakan parah yang dilabeli  “semangat nasionalisme”. Nasionalisasi itu justru memperburuk produktivitas batu bara, ditambah lagi desakan para buruh maupun kelompok buruh yang bergerak secara politis menuntut perbaikan kesejahteraan.

Tepat di tahun 1951, pertambangan batu bara di Ombilin sangat kritis. Beberapa bagian tambang, instalasi-instalasi seperti listrik di kampung Salak, mesin-mesin kompresor di tambang Sawah Rasau V, dan bengkel-bengkel di Sawahlunto telah dibakar oleh tentara Indonesia sebelum Belanda kembali ke Sawahlunto pada agresi militer Belanda II 1948.

Dan pastinya, batu bara Ombilin menjadi korban yang berdampak kepada kerugian yang terus-menerus. Perusahaan batu bara Ombilin di tahun 1951 rata-rata mengalami kerugian sebesar Rp250.000 setiap bulannya (Haluan, 27-3-1951).

Keterpurukan itu sesungguhnya juga telah diikuti oleh berkurangnya jumlah buruh yang mencapai 50 persen pengurangannya dibanding periode sebelum perang. Dalam rangka memperbaiki galeri-galeri tambang yang sudah disabotase, Gubernur Sumatera Tengah yang dijabat Ruslan Muljohardjo, meminta subsidi sebesar Rp40 juta kepada pemerintah pusat (Haluan, 5-9-1951).

Karena kondisi keuangan negara saat itu juga tidak menggembirakan, pemerintah tak menggubrisnya. Sebaliknya, pemerintah pusat justru merencanakan penutupannya pada bulan Oktober. Tapi rencana itu diprotes keras oleh pemimpin-pemimpin lokal dengan dalih sumber perekonomian daerah. Dan lebih simpatinya lagi akan berdampak buruk terhadap kesejahteraan buruh dan keluarganya, serta penduduk lokal.

Penutupan tambang akan membawa efek buruk lain pada perusahaan-perusahaan kereta api di Sumatra Barat, pabrik semen di Padang dan industri-industri kecil lain. Hingga akhirnya rencana penutupan pun diurungkan (Haluan, 5-10-1951).

Antara tahun 1951-1952, Kepala Jawatan Pertambangan Pusat, Ketua Parlemen dan Menteri Keuangan, Syafruddin Prawiranegara melawat ke Sawahlunto untuk menyelidiki kemungkinan-kemungkinan lanjutan pengoperasiannya. Tapi kunjungan itu hanyalah bujuk rayu melepas pintak. Lawatan itu tanpa angin segar.

Dan hal inilah yang kemudian dikritik sejadi-jadinya oleh seorang tokoh Perti dari Minangkabau yang sekaligus anggota parlemen pusat yang menyebut kunjungan itu sama sekali tak produktif dan tak membawa efek apa pun (Haluan, 11, 12, 13-3-1953).

Kala itu pimpinan perusahaan yang dijalani Sjahbuddin Sutan Radjo Nando mengajukan permintaan kepada pemerintah untuk dibelikan mesin-mesin tambang yang baru. Pemerintah pun melalui Menteri Perekonomian merespons dengan janji merehab dan memodernisir tambang. Janji ini juga muncul setelah buruh melakukan pemogokan kerja pada Februari 1953 (Haluan, 5-5-1953).

Janji itu memang ditunaikan — tapi tidak sepenuhnya. Di awal tahun 1954, rehabilitasi itu dilakukan dengan mengambil mesin-mesin bekas dari tambang-tambang yang sudah tutup seperti di tambang Lua Kulu, Kalimantan, dan tambang batu bara di Banten. Mesin pengangkut batu bara, pipa-pipa, wagon-wagon, traktor dan benda-benda bekas lainnya dipungut untuk Ombilin (Haluan, 23-2-1954).

Alhasil upaya itu tak berdampak berarti bagi kenaikan produksi. Permintaan batu bara untuk konsumen lokal saja masih tidak bisa terpenuhi. Misalnya saja Pabrik Semen Indarung di Padang sebagai konsumer terbesar, terpaksa mencari batu bara lain dari Kalimantan dan Bukit Asam (Haluan, 18-6-1954).

Menyadari betul kondisi ini, Menteri Perhubungan, Roeseno Hadikusumo, melangsungkan lawatannnya ke perusahaan kereta api Sumatra Barat dan juga tambang. Kunjungan ini tak lain tak bukan tentang rencana menutup kedua perusahaan karena kondisinya yang benar-benar miskin dan produktivitasnya yang rendah (Haluan, 28, 29-7-1954; 5, 10, 11-8-1954).

Hal ini betul-betul diprotes oleh rakyat Sumatra Barat. Kondisi semacam ini seakan menjadi bumbu awal atas mencuatnya sentimen-sentiman kedaerahan kepada pemerintah pusat. Untuk masa-masa itu, menasionalisasikan perusahaan tanpa bergantung kepada modal asing dirasa hanya memperburuk keadaan dan mengacaukan tujuan kesejahteraan.

Menanggapi itu, Pemimpin Partai Buruh Indonesia, Iskandar Tedjasukmana melemparkan kritiknya terhadap nasionalisasi pertambangan tersebut. Iskandar sudah mengira-ngira dengan cermat rehabilitasi ini akan gagal karena mengandalkan “semangat nasionalisme” saja, tanpa memperhitungkan pertimbangan-pertimbangan rasional (Haluan, 10-6-1954).

Secara masif surat kabar Haluan merekam jalannya tambang batubara di Sawahlunto pada masa 1950-an. Haluan melihat gerak batu bara dirundung berbagai desakan. Mulai dari kegagalan menasionalisasikan pertambangan, dan bahkan intervensi politik lokal dan nasional yang telah bersarang sejak pembentukan serikat buruh jelang dan pasca-kemerdekaan.

Perasaian-perasaian buruh tambang selama puluhan tahun menjadi sentuhan awal munculnya pergerakan-pergerakan dari lubang tambang. Bisik-bisik dari tokoh dan organisasi mengintervensi para buruh untuk segera mengambil “kemerdekaan” dari keterpaksaannya bekerja sebagai buruh tambang, yang pada akhirnya berujung kepada pemogokan kerja dan aksi lainnya.

Seiring dengan memasukinya tahun 1958, jalannya tambang batubara tidak lagi ada dalam pemberitaan surat kabar Haluan. Meletusnya peristiwa PRRI berimbas pada penutupan Haluan yang juga dianggap sebagai bagian dari suara pemberontakan dari Sumatra Barat. (*)

Foto: Collectie Wereldmuseum

Referensi:

Erwiza Erman (2005). Membaranya Batubara; Konflik Kelas dan Etnik, Ombilin-Sawahlunto-Sumatera Barat (1892-1996).

Gusti Asnan (2007). Memikir Ulang Regionalisme; Sumatera Barat Tahun 1950-an.

*Kiki Nofrijum berasal dari Sijunjung, Sumatra Barat. Sekarang bekerja untuk surat kabar Harian Haluan.

 

 

Open chat
1
Scan the code
Helpdesk
Halo 👋
Ada yang bisa kami bantu?