Mei 1922. Di bulan peringatan Hari Buruh Sedunia itu, koran-koran penuh berita tentang pemogokan buruh di beberapa pusat industri Hindia Belanda. Semarang, Surabaya, Batavia, dan Padang. Buruh kereta api, buruh pelabuhan, buruh percetakan, buruh kantor pegadaian, bahkan pekerja rumah sakit ikut aksi mogok.[1] Ini adalah Zaman Mogok, kata Shiraisi.
Para ‘kaum muda’ penulis di Otoesean Melajoe, resah karenanya. Soalnya para intelektual pembaharu adat Minangkabu yang dulunya mengklaim diri ‘revolusionaris demokratis’ itu, tak tahan dengan pemogokan yang dilakukan para pekerja KMP di Emmahaven—lambang kebanggaan dan kemajuan bagi sebagian elit Minangkabau ketika itu.
Di edisi 11 Mei 1922, surat kabar patron dari Soenting Melajoe ini menerbitkan editorial berisi ceramah moral bahwa pemogokan tidak sesuai dengan adat istiadat; bahwa janganlah meniru-niru pemogokan di negara lain yang moral dan adat istiadatnya berbeda. Dengan nada patronizing, mereka menunjuk ajari buruh-buruh KMP agar sebaiknya kembali bekerja saja, tidak usah mogok karena hanya akan menyusahkan diri sendiri; jangan sampai kena pecat perusahaan karena di luar sana banyak tenaga kerja yang siap menggantikan mereka.
Beberapa hari sebelumnya, awal Mei 1922, buruh-buruh KMP mogok kerja menuntut perbaikan hidup. Mereka menuntut kenaikan upah dan pemberian intensif untuk uang makan. Koran berbahasa Belanda yang menerbitkan berita ini pada 4 Mei 1922, memberi komentar bahwa permintaan uang makan tidak lazim karena gaji sudah mencakup uang makan.[2]
Pemogokan pada Mei 1922 itu bukan pemogokan buruh pelabuhan yang pertama. Sejak 1920 sudah terjadi pemogokan-pemogokan oleh buruh KPM dan buruh perusahaan tambang yang bekerja di Silo Gunung, penampungan batubara di Emmahaven.
Pemogokan pertama berlangsung di awal-awal Juni 1920. De Locomotief edisi 19 Juni 1920, memberitakan pemogokan pekerja bagian tanki [bahan bakar?]. Mereka menuntut tunjangan harian. Dan setelah negosiasi dengan perusahaan, mereka kembali bekerja. Tak dijelaskan lebih jauh apakah tuntutan mereka berhasi dipenuhi atau tidak. Yang jelas, seperti tertulis di koran itu, ini adalah pemogokan pertama di Emmahaven.[3]Berita yang sama juga dimuat di koran berbahas Belanda lainnya—berita sangat sekilas.[4]
Berita-berita di atas, punya satu kesamaan. Tidak dijelaskan berapa gaji para buruh KPM, berapa besar permintaan kenaikan gaji yang mereka tuntut, serta tidak jelas pula beberapa orang yang lakukan aksi mogok. Karenanya, para pemogok bisa digambarkan sebagai gerombolan tak jelas yang kurang tahu balas budi.
***
Masa-masa akhir 1910-an dan awal 1920-an menandai bangkitanya kesadaran pekerja di Hindia Belanda. Beberap serikat kerja sudah berdiri dengan kecendrungan politik masing-masing. Mereka berbebat di pertemuan-pertemuan dan koran-koran mengenai kondisi kerja buruh. Bangkitnya gerakan pekerja di belahan dunia lain, juga diberitakan koran-koran berbahasa Melayu dan Belanda. Para buruh harus bekerja 12 jam dalam satu hari kadang selama seminggu penuh dengan gaji jauh di bawah gaji pekerja Eropa. Gaji kecil itupun, dipotong oleh mandor mereka.Suatu jenis kesadaran baru, yang belum ada persedennya dalam sejarah Indonesia muncul: kesadaran pekerja.[5]
Kesadaran baru ini, serta organisasi-organisasi sukarela, serikat-serikat kerja dengan koran-korannya, menyiapkan kondisi bagi lahirnya gerakan buruh yang lebih maju dan radikal serta partai-partai baru yang juga militan dan radikal. Pada 1909 VSTP dibentuk dan segera menjadi salah satu sarekat kerja paling radikal di Hindia Belanda. Mereka terafiliasi dengan PKI yang juga baru saja didirikan. Sejak 1920-an awal pemogokan-pemogokan mulai diorganisir sarekat-serikat kerja di Pulau Jawa yang akan mencapai puncaknya pada 1923.
Pemogokan-pemogokan buruh pelabuhan di Padang, adalah bagian dari kebangkitan gerakan buruh di Hindia Belanda dan dunia.[6] Mereka disebut juga ‘the dockers’. The Dockers diasosiasikan dengan pekerja pelabuhan yang punya eleman kesadaran kelas yang kental, yang militan, terogranisir, dan menjadikan pemogokan sebagai salah satu alat perjuangan. The Dockers, adalah bagian penting dalam sejarah gerakan buruh di dunia. Istiliah ini lazimnya digunakan di Inggris, yang jadi populer setelah pemogokan besar-besaran puluhan ribu pekerja pelabuhan London pada 1889 yang didahului serangkaian pemogokan-pemogokan sejak awal abad 1880-an di pelabuhan-pelabuhan lainnya di Inggris. Mereka berasal dari kaum miskin dari pemukiman-pemukiman kumuh di sekitar kawasan-kawasan pelabuhan-pelabuhan di Inggris, seperti London dan Liverpool, yang bekerja dengan upah murah, dan resiko kerja yang besar. Pemogokan besar 1989 ini menandai makin solid dan terorganisirnya gerakan buruh pelabuhan.[7]
Semaoen kemudian mendirikan Serikat Pegawai Laoet Indonesia (SPLI) pada 1924 yang berbasis di Amsterdam. Ini jelas upaya Semaoen untuk mengintegrasikan gerakan buruh pelabuhan di Hindia Belanda dengan the dockers, sekaligus upaya untuk menyatukan buruh-buruh pelabuhan dalam satu serikat. Semuanya akan berujung pada penyatuan buruh-buruh dari beragam sektor dalam satu serikat besar.
***
Buruh-buruh pelabuhan yang lakukan pemogokoan di Emmavahen, kemungkinan besar adalah bagian dari Serikat Pekerja Dermaga [Haven Arbeiders Bond/HAB] yang sudah ada di akhir 1910-an. Sebagian besar pemimpinnya adalah anggota PKI dan menjadi salah satu serikat kerja paling radikal bersama VSTP, Fabrieek Bond, dan SPPH yang kelak menjelma Persatuan Kaum Buruh Tambang (PKBT) di Sawahlunto. Pada 1919 mereka menyatukan serikatnya dalam Vaksentral—semacam federasi ‘serikat-serikat kerja merah’.[8]
Dua tahun setelah pemogokan Mei 1922 di Emmahaven, serikat-serikat buruh pelabuhan berkongres di Surabaya untuk membentuk satu serikat besar untuk menyatukan berbagai serikat buruh pelabuhan. Kongres pada 19-21 Desember 1924 itu dihadiri 25 pempimpin yang mewakili 5000 anggota berbagai serikat buruh pelabuhan. Serikat pekerja transportasi lainnya juga hadir, seperti VSTP. Di hari penutupan, ada kurang lebih 4000 buruh yang hadir.
Terbentuklah Serikat Pegawai Pelaboehan dan Laoetan (SPPL), dengan Surabaya sebagai pusatnya dan berafiliasi dengan Serikat Pegawai Laoet Indonesia yang berbasis di Amsterdam yang telah dibangun Semaoen sebelumnya.
SPPL dibentuk untuk ‘melawan kapitalisme dan imperialisme.’ Ia dirancang sebagai salah satu jalan untuk mengahuspkan tatanan kolonial, menghancurkannya, dan di atas puing-puingnya buruh terbebaskan dan bisa mengatur kekuasaan. Sejak 1925, SPPL mulai aktif di pelabuhan-pelabuhan.[9] 4 Agustus 1925 mereka menggalang pemogokan umum di Pelabuhan Semarang.[10]
Serikat ini memiliki komisariat di tujuh pelabuhan di Hindia Belanda, termasuk Emamhaven, dengan A Wahab sebagai komisarisnya.[11]
***
Hanya beberapa bulan sebelumnya, A Wahab nyaris saja akan ditangkap karena dituduh memberi kesaksian palsu di sidang Magas, pemimpin awal PKI di Padang, pada akhir Oktober 1924.[12] Memang ketika SPPL Emmahaven berdiri, pemerintah kolonial baru saja melakukan penangkapan-penangkapan terhadap kaum komunis di Sumatera Westkust (juga Malang, Surabaya, dan Batavia). Magas, Dt Batuah, Natar Zainuddin, telah dihukum penjara. A Wahab adalah masisinis perusahaan kereta api negara kolonial. Sama seperti Natar, adalah anggota VSTP dan redaksi API—pers revolusioner milik PKI.[13]
The dockers Hindia Belanda ini juga punya organ media sendiri: Djangkar. Soemantri mengambil posisi sebagai pemimpin redaksi. Djangkar edisi Juli 1925 berisi artikel-artikel soal ancaman mekanisasi di pelabuhan-pelabuhan, perjuangan kaum buruh di China dan Maroko, serta kondisi kerja buruh pelabuhan yang semakin buruk: biaya transportasi dihapuskan, upah lembur tidak lagi diberikan, tidak ada tunjangan pengeluaran, tidak ada cuti 14 hari, sakit dan hari libur dipotong.
Bahwa kapitalisme tidak akan membawa kesejahteraan bagi buruh. Dan satu-satunya solusi untuk menyelamatkan kehidupan buruh adalah memperkuat serikat sendiri. Secara tidak langsung, Djangkar juga melihat pentingnya persatuan dengan kaum buruh sedunia.[14]
Sejak berdirinya SPPL di Emmahaven, pemogokan demi pemogokan terus terjadi. September 1925, 96 buruh mogok kerja.[15] 107 buruh mogok pada oktober 1925. Pemogokan ini menjalar ke pelabuhan lain seperti Belawan.[16] Karena pemogokan, KMP rugi 17.000 gulden.[17] Ini belum kerugian perusahaan batubara yang ikut terkena dampaknya. Buruh-buruh tambang Sawahlunto yang bekerja bekerja di penampungan batubara milik perusahaan tambang di Emmahaven, juga ikut aksi mogok. Mereka tampakanya dipimpin adalah unsur-unsur PKBT yang juga terhubung dengan VSTP. Salah satu pemimpin yang menonjol dan berpengaruh dalam gerakan buruh Emmahaven ini adalah Sjamsoeddin. Ia disebut baru saja datang dari Aceh.[18] Kemungkinan besar, ia adalah anggota VSTP asal Aceh sama seperi pendahulunya Natar Zainuddin.
***
Emmahaven adalah salah satu fasilitas penting ekonomi kolonial. Pelabuhan ini adalah salah satu yang tercanggih di masanya, yang dirancang untuk mempercepat distribusi barang dari luar dan meningkatkan efektifitas pengiriman batubara—komoditas amat penting bagi industri kolonial. Kolonial menginvestasikan banyak uang di sini. Dan perkembangan gerakan komunis di fasilitas vital ini, adalah ancaman serius bagi ekonomi kolonial di Hindia Belanda.
Untuk menekan kebangkitan the dockers di Emmahaven, sepanjang akhir November dan Desember 1925, aparat kolonial, sekali lagi, melakukan serangkaian penggrebekan dan penangkapan, untuk membersihkan Emmahaven dari pengaruh komunis.” Hamzah seorang anggota VSTP yang juga komunis, digeledah rumahnya. Sebuah selebaran antipemerintah ditemukan. Dia ditangkap. Abu Bakar ditangkap karena dituduh menghasut pemogokan. Juga Abdoel Moerab. Dua petugas stasiun kereta api (jelas mereka adalah bagian dari VSTP) juga ditangkap karena ada hubungan dengan komunis dan pemogokan.[19]
Samsjoeddin juga ditangkap pada masa-masa tersebut. Ia diadili di Pengadilan Negeri Padang pada 6 Januari 1926 dan dihukum 1,5 tahun penjara di Cipinang. Ribuan buruh hadir pada waktu itu menyatakan solidaritas.[20]
Tak banyak informasi yang bisa didapat soal Sjamsjoeddin. Tapi dari keterangan-keterangan saksi di pengadilan, bisa didapat gambaran bahwa ia adalah sosok propagandis ulung. Ia kerap mengadakan pertemuan-pertemuan dan “memberi ceramah komunis” kepada buruh-buruh yang hadir. Bagiamana kondisi A Wahab setelah pembersihan komunis di Emmahaven juga belum diketahui.
Yang jelas, bangkitnya gerakan buruh pelabuhan emmahevan akan memainkan peran penting di masa-masa revolusi dan kemudian PRRI. The dockers, sekali lagi adalah gerakan buruh pelabuhan bersifat global. Para buruh pelabuhan di pelabuhan-pelabuhan Australi, mogok kerja demi menghambat pengiriman senjata dan logistik untuk NICA yang ingin menjajah kembali Indonesia (*)
Foto: tempat sandaran kapal di Emmahaven (Repro dari De Steenkolenindustrie, 1917)
Catatan Kaki:
[1] Lihat misalnya, Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië 04-05-1922. Lihat juga Ingleson.
[2] “Staking” Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië 04-05-1922
[3] “Eenstaking” De locomotief 11-06-1920.
[4] “Staking” Bataviaasch nieuwsblad, 12-06-1920
[5] Untuk diskusi mengenai bangkitnya ‘worker conciusness’ di Search of Justice, hal. 49-56. Lihat juga Ingleson, Worker Union and Politic, 26.
[6] Untuk diskusi mengenagi hubungan gerakan buruh Indonesia dan Internasional silakan lihat Kankan Xie (Diseration). Estranged Comrades: Global Networks of Indonesian Communism, 1926-1932. University of California, Berkeley, 2019.
[7] Lihat John Lovell, Sail, Steam, and Emergent Dockers’ Unionisme in Britain, 1859-1914. International Review of Social History VoL. 32, No. 3 (1987), P 230-249. Lihat juga brosur berjudul The Great Dock Strikes of 1889, yang diterbitkan Unite the Union, serikat pekerja di Inggris.
[8] Semaoen, The Indonesia Movement in Netherland Indies, hal. 60
[9] Jhon Ingleson. (1986) In Search of Justice: Worker and Union in Colonial Java 1902-1926. Oxford University Pers: New York. Hal. 285
[10] Jhon Ingleson. (1986) In Search of Justice: Worker and Union in Colonial Java 1902-1926. Oxford University Pers: New York. Hal. 292
[12] Bataviaasch Nieuwsblad, 05-11-1924.
[13] Rianne Subijanto, Enlightment and the Revolutionary Perss in Colonial Indonesia. International Journal of Communication 11 (2017), 1357-1377.
[14] Djangkar Juli 1925 No 7 dalam Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers, 1925, no. 34, 19-02-1925.
[15] Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 30-09-1925
[16] De Indische courant, 13-10-1925
[17] De locomotief, 18-12-1925
[18] De locomotief, 18-12-1925
[19] De locomotief 18-12-1925
[20] De locomotief. 15-01-1926
Trackback