Sawahlunto dikenal sebagai kota multikultur di masa kini. Di sana berkembang ragam kebudayaan dengan karakteristik kota tambang yang diisi oleh masyarakat dari beragam latar budaya. Wayang Sawahlunto, misalnya, yang telah ada sejak masa kolonial dan memasukkan unsur dunia tambang dalam gambar wayang dan lakonnya.
Atau bahasa Tansi, bahasa kreol hasil inovasi kaum pekerja tambang yang beda-beda bahasanya itu. Bahasa yang seperti dikatakan penelitinya, lahir di tansi-tansi, di tempat para buruh tambang menjalani kehidupan sosial yang timpang dan selalu dalam kontrol.
Ketimpangan dan rasialisme kolonial, juga melahirkan seni pertunjukan, yaitu tonel. Drama tersebut dimainkan oleh pekerja tambang yang tinggal di kawasan Tangsi Baru dan Tangsi Tanah Lapang.
Pertunjukan tonel kemungkinan berasal dari upaya meniru toneel yang sering dimainkan di Societeit Gluck Auf Sawahlunto. Societeit-societeit seperti ini banyak di Hindia Belanda dan terkenal karena melarang ‘anjing dan pribumi’ masuk, di mana berbagai seni pertunjukan dimainkan untuk menunjukkan superioritas mereka sebagai bangsa yang beradab dan modern.
Beberapa pribumi yang diijinkan masuk sebagai pembantu, kerap mengintip-ngintip melihat permainan toneel oleh para seniman Eropa. Para pembantu inilah yang menyebarkan cerita soal toneel di Societeit ke warga tangsi.
Mereka lalu membuat pertunjukan drama yang serupa dan dipertunjukkan di gedung pertemuan warga atau gudang di Tangsi Baru. Gedung ini sengaja dibikin untuk kaum pribumi khususnya pekerja tambang saja oleh pemerintah kolonial.
Para ahli berpendapat bahwa “istilah tonel yang dilekatkan masyarakat Tansi Sawahlunto kepada salah satu genre seni pertunjukannya ini, secara etimologis besar kemungkinan berasal dari kata ‘toneel,’yang berarti drama dalam bahasa Belanda” (Pramayoza, 2015).
Salah satu ‘keunikan’ tonel Sawahlunto ini ialah dialog-dialognya lebih banyak memakai bahasa tansi. Pakaian yang digunakan para pemain juga amat sederhana, kontras sekali dengan kostum grup toneel yang main di Societeit.
Isi ceritanya pun berbeda. Jika toneel memainkan lakon Hamlet, maka cerita tonel disesuaikan dengan kehidupan sehari-hari pekerja tambang. Dede Pramayoza, dalam obrolan terkait tonel baru-baru ini, menyebutnya sebagai mockery, semacam upaya meniru kebudayaan kelas penguasa dengan tujuan olok-olok yang juga mengandung protes. Misalnya dulu ada satu lakon berjudul “C-9” atau “Sel 99”. Lakon ini menceritakan ketidakadilan dan penindasan yang dialami para pekerja paksa di kamar-kamar sel penjara orang rantai.
Saat ini, setidaknya ada dua grup tonel di Sawahlunto. Yaitu Grup Tonel Sikalang dan Grup Tonel Sungai Durian. Sebagai kesenian yang sudah dipandang sebagai ‘warisan’, grup-grup tonel terus menjaganya, baik dari segi bentuk atau cerita.
Salah satu lakon berjudul Mayang Taruna yang ditulis pemimpin grup Tonel Sungai Durian, yang dibuat tahun 1988, menceritakan seorang pemberontak dari Surabaya yang berani melawan kolonialisme, ditangkap dan dikirim sebagai pekerja paksa ke Sawahlunto.
Pertunjukan tonel sempat meredup hingga pada 2010-an, Elsa Putri E Syafril bersama pemerintah kota mengadakan lomba tonel untuk pelajar SMA. Kini tonel cukup digemari dan makin sering dimainkan. (*)
Foto: Salah Satu Adegan dalam Tonel Sawahlunto Masakini (Dokumentasi Elsa Putri E. Syafril, 2008)
Referensi:
Pramayoza, Dede. Tonel: Teatrikal Pacakolonial Masyarakat Tansi Sawahlunto. Jurnal Kajian Seni. VOLUME 01, No. 02, April 2015: 114-129
Syafril, Elsa Putri E. Diaspora Sedulur Sikep dan Keseniannya di Sawahlunto. Jurnal Ekspresi Seni, Volume16,Nomor1, Juni 2014.
Trackback