Wayang adalah salah satu jenis kesenian yang kini masih hidup di Sawah Lunto. Wayang Sawahlunto lahir sejarah kelam kerja paksa di Tambang Batubara Ombilin sekaligus hasil dari multikulturalisme masyarakat Sawahlunto. Inilah yang membuatnya berbeda dengan varian-varian Wayang lainnya di Pulau Jawa.
Wayang-wayangnya beragam secara etnis dan latar sosial. Ada wayang orang rantai, mandor, orang batak, orang keling, wayang Samin Surosentiko bahkan wayang bundo kanduang. Wayang aparat Belanda, para pengawas, serta tuan besar tambang, juga ada. Wayang-wayang terakhir ini kulitnya putih. Gunungan dan Barisannya juga menggambarkan dunia tambang dari mulai lubang tambang, kereta api, dan kompi pasukan Belanda. Tapi ada juga gunungan dengan gambar Rumah Gadang.
Wayang punakawan juga ada, tapi motif batik yang biasanya digunakan untuk pakaian wayang, dalam Wayang Sawahlunto, diganti dengan kain tenun silungkang. Begitu juga dengan wayang-wayang lainnya yang juga memakai tenun Silungkang, alih-alih batik.
Hal ini yang membedakannya dengan Wayang di Jawa. Tapi tak hanya dari segi tampilan saja, isi lakonnya juga berbeda.
Beberapa lakon Wayang Sawahlunto, seperti Lakon Orang Rantai atau Lakon Mbah Soero, menceritakan sejarah penindasan terhadap pekerja paksa dan perlawanan terhadap penindasan itu. Dengan kata lain, muatan anti-kolonialnya kentara sekali.
Dalam lakon-lakon Wayang Sawahlunto, dikisahkan saat penindasan yang dialami kian tak tertanggungkan, maka muncullah rasa senasib sepenanggungan. Para pekerja paksa mengetepikan identitas etnis dan bersatu melawan penjajah: perbedaan etnis dilampaui oleh nasionalisme anti-kolonial yang mulai terbangun.
![](https://ombilinheritage.id/wp-content/uploads/2023/11/Screen-Shot-2023-11-10-at-14.57.43.png)
![](https://ombilinheritage.id/wp-content/uploads/2023/11/Screen-Shot-2023-11-10-at-15.15.55.png)
Gunungan Wayang Sawahlunto bergambar Rumah Gadang dan Gunungan Wayang Sawahlunto dengan gambar lubang tambang dari tahun 1901. Koleksi Sajiman/Sanggar Bina Lestari
Adalah Pak De Sajiman, bersama beberapa temannya, yang menggagas lahirnya Wayang Sawahlunto sejak 2019 lalu. Ia bersama grup wayang yang dikelolanya, Bina Lestari, telah tampil di banyak tempat, terutama Sawahlunto.
“Masyarakat Sawahlunto adalah masyarakat multikultural. Kami ingin sampaikan itu lewat pertunjukan wayang,” katanya saat saya berkunjung ke sanggarnya di Sungai Durian beberapa waktu lalu. “Menyampaikan, artinya ikut melestarikan, bukan?”
Pak De Sajiman percaya, pertunjukan budaya bisa menciptakan ruang temu antar budaya dan etnis, sehingga timbullah rasa guyub dan rukun dalam masyarakat.
Wayang Sawahlunto bukanlah sesuatu yang betul-betul baru. Sejak awal 1900-an, sudah ada wayang kulit di Sawahlunto yang sengaja didatangkan Belanda untuk menghibur (baca: mengalihkan perhatian pekerja paksa). Namun kesenian itu sempat tenggelam selama beberapa dekade. Sampai pada akhir 80-an, Pak De Sajiman dititipkan sekitar 96 wayang oleh salah satu dalang sepuh di Sawahlunto.
Wayang-wayang itu merupakan warisan turun temurun dari dalang terdahulu dan pertama kali dibuat pada 1901 dengan bahan kulit kerbau. Wayang dari 1901 inilah yang jadi cikal bakal Wayang Sawahlunto hari ini.
“Sebenarnya Wayang dari 1901 itulah Wayang Sawahlunto asli. Kenapa begitu? Karena motif wayangnya sudah berisi unsur-unsur tambang, ada unsur Sawahluntonya,” jelasnya.
Pak De Sajiman kemudian memperlihatkan salah satu gunungan dengan gambar pintu masuk lobang tambang—sesuatu yang tak ada dalam khazanah pewayangan di Jawa. Wayang dari 1901 ini ukirannya juga masih kasar karena keterbatasan alat-alat pembuatan wayang.
Munculnya unsur tambang dalam Wayang Sawahlunto 1901, menurutnya mencerminkan adanya upaya menyesuaikan wayang dengan lingkungan baru. Ia percaya wayang adalah kesenian yang fleksibel dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat wayang itu hidup, dan lebih penting merespon situasi sosial di sekitarnya. Misalnya situasi multikultural di Sawahlunto.
Itulah yang kemudian mendorong Pak Sajiman untuk menciptakan bentuk-bentuk wayang baru di atas. Setelah terus mempelajari sejarah Sawahlunto, dan mulai merancang konsep baru Wayang Sawahlunto sejak 2019, pada 2021 ia dan teman-temannya menampilkan kembali Wayang Sawahlunto di ruang publik untuk pertama kali. Dengan wayang-wayang baru yang mewakili beragam etnis, dengan lakon yang baru pula.
Beberapa koleksi Wayang Sawahlunto saat ini dipamerkan di Museum Goedang Ransoem Sawahlunto hingga akhir bulan ini dalam pameran bertajuk Pameran Sejarah Lisan: Carito dari Ombilin. (*)
Trackback