Tahun ini Galanggang Arang memasuki tahun keduanya dengan mengangkat tema “Anak Nagari Merawat Warisan Dunia”, setelah tahun sebelumnya mengusung tema “Anak Nagari Merayakan Warisan Dunia”. Festival ini secara umum adalah upaya untuk mengaktivasi ekosistem Warisan Tambang Batubara Sawahlunto Ombilin (WTBOS) yang merentang dari Kota Sawahlunto hingga Pelabuhan Teluk Bayur. 

Di ruang publik kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan soal apa yang sebenarnya dirayakan, diwariskan, dan dirawat? Bahkan ada yang melihatnya sebagai perayaan atas penjajahan, pewarisan semangat kolonialisme, atau perawatan rasisme dan perbudakan.

 Yang Dirayakan

Apa yang dirayakan dalam gelaran Galanggang Arang adalah kebudayaan dalam bentuk kesenian yang hidup dan berkembang di nagari-nagari di sepanjang ekosistem WTBOS. Di Kota Sawahlunto misalnya, hidup kesenian-kesenian seperti Wayang Sawahlunto, Reog,  atau Orkes, yang dipicu oleh eksploitasi batubara. Atau komposisi musik Kureta Mandaki di Kab Padang Pariaman yang terinspirasi dari bunyi kereta pengangkut batubara yang melintasi kawasan tersebut. 

Perayaan bukan berarti glorifikasi atas kolonialisme dengan segala kekejamannya. Sama sekali tidak ada bentuk-bentuk perayaan semacam itu. Sebaliknya, perayaan-perayaan justru menjadi saluran bagi masyarakat untuk menyebarkan memori kolektif yang sifatnya anti-kolonial/anti-rasisme. Wayang Sawahlunto misalnya, yang berkisah mengenai penindasan dan penghisapan terhadap orang rantai. Dengan begitu, perayaan juga mencakup perayaan atas memori kolektif tersebut. 

Lebih jauh, Kawasan Tambang adalah konteks penting kemunculan kesenian-kesenian yang hidup di kawasan WTBOS. Tanpa ingatan terhadap kawasan itu, kesenian-kesenian itu akan dianggap sebagai hiburan belaka, bahkan lebih parah mungkin dianggap “keluhuran” yang tidak punya basis historis, yaitu sejarah penindasan dan rasisme. 

Museum-museum di Sawahlunto yang sedikit banyaknya terdongkrak eksistensinya oleh festival kebudayaan seperti Galanggang Arang, juga menjadi lebih mudah untuk menyampaikan narasi anti-kolonial/anti-rasisme. Lebih dari itu, masyarakat lokal, terutama keturunan orang rantai juga memanfaatkan perayaan seperti ini sebagai medium untuk menyampaikan kondisi mereka hari ini yang belum banyak berubah dengan kondisi leluhurnya. 

Yang Dirawat dan Diwariskan

Pada masa kolonial situs-situs itu dimaknai sebagai superioritas penjajah yang menempatkan anak jajahan termasuk pekerja paksa sebagai pihak yang inferior. Bagaimana ia dikelola, siapa yang diuntungkan, siapa yang boleh terlibat dalam mengolahnya, diputuskan oleh Kolonial secara top-down berdasarkan asumsi rasial: bahwa hanya bangsa Eropa yang cukup pintar untuk mengelolanya. Sementara masyarakat lokal atau anak jajahan hanya jadi objek pasif, sebab dianggap memiliki tingkat kepintaran yang rendah hanya karena warna kulitnya tidak putih. 

Festival budaya seperti Galanggang Arang adalah salah satu pembuka jalan untuk merebut kembali situs-situs tersebut, mengahncurkan pemaknaan lama lalu memberi pemaknaan baru atasnya, kemudian ikut ambil bagian dalam merawatnya.

Tidak hanya bangunan fisik (heritage) di sepanjang kawasan WTBOS yang perlu dirawat. Namun juga memori kolektif anti-kolonial sekaligus memori kolektif anti-rasisme yang melekat pada bangunan-bangunan fisik tersebut. 

Kita mesti menyadari, merawat ingatan tentang kolonial, tidak serta merta sama dengan meneruskan semangat kolonial. Ingatan terhadap kolonial justru dapat menjadi produksi pengetahuan anti-kolonial, atau yang disebut juga dekolonialisasi. 

Dengan demikian, terawatnya situ-situs seperti lubang tambang, museum, serta jalur kereta api, berarti terawatnya memori kolektif anti-kolonial dan anti-rasisme. Membiarkannya terbengkalai lalu hancur begitu saja, justru akan menghilangkan salah satu medium untuk mewariskan memori-memori tersebut. 

Di samping itu, merawat situs-situs WTBOS juga berarti merawat narasi multikultural karena tulang punggung pembangunan situs-situs tersebut ialah pekerja paksa dengan latar etnis yang beragam. 

WTBOS sebagai colonial heritage sudah sepantasnya direbut (reclaim), diberi makna baru, kembali menjadi milik masyarakat/anak Nagari, dan memberi dampak positif dalam berbagai bentuk. Mulai dari ekonomi hingga pemanfaatan dan pengelolaan WTBOS secara lebih inklusif. (*)