Hari ini persoalan perubahan iklim tengah jadi pembicaraan, termasuk di dunia kesejarahan. Sejak 2022 lalu, Departemen Sejarah FIB UGM telah gencar mengkampanyekan penulisan sejarah dengan pendekatan lingkungan. Serangkaian konferensi khusus membahas sejarah dan lingkungan diadakan. Lembaran Sejarah, jurnal prestisius milik departemen yang sama, menerbitkan edisi spesial sejarah lingkungan yang bisa dilihat sebagai suatu studi rintisan.
Sejarah Lintas Batas (SINTAS), sebuah kelompok studi yang digerakkan akademisi dari berbagai disiplin keilmuan, juga sedang giat-giatnya mendorong penelitian sejarah dengan topik lingkungan dan perubahan iklim. Mereka menyediakan hibah penelitian skripsi/tesis yang dananya digalang secara urun-rembuk. Gagasan dasarnya adalah “permasalahan lingkungan yang muncul saat ini tak bisa dilepaskan dari kolonialisme yang dibawa kapitalisme global.”
Ini adalah gejala baru yang menggembirakan. Sebelumnya studi-studi sejarah di Indonesia bisa dikatakan belum menaruh perhatian besar pada persoalan lingkungan dan krisis iklim. Meski studi sejarah mengenai industri pertambangan, perikanan, atau perkebunan skala besar sudah cukup banyak, namun dampak-dampak lingkungan (dan dampak sosialnya) cenderung terabaikan. Di sisi lainnya, studi-studi mengenai kerusakan lingkungan akibat industri-industri tersebut juga cenderung mengabaikan aspek historis.
Saya mengikuti gerak kesadaran baru itu dengan penuh minat dari kejauhan.
Penulisan Sejarah WTBOS Sejauh Ini
Munculnya kesadaran baru tersebut, hampir bersamaan dengan ditetapkannya bekas fasilitas penambangan batubara di Sawahlunto sebagai Warisan Dunia oleh UNESCO pada 2019 lalu. Bekas fasilitas penambangan batubara di Sawahlunto berikut fasilitas distribusinya yaitu jaringan rel kereta api Ombilin-Teluk Bayur itu, kini dikenal sebagai Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto (WTBOS). Sejak 2023 lalu, festival bernama Galanggang Arang digelar guna mengaktivasi situs-situs WTBOS. Aktivasinya dilakukan dalam berbagai bentuk ekspresi seni-budaya serta serangkaian diskusi, produksi video, foto, penelitian dan artikel, terutama artikel-artikel sejarah.
Sejauh ini ada dua mdoel penulisan sejarah WTBOS. Model pertama lebih menekankan aspek kekerasan kolonial dalam sejarah pembangunan dan pengoperasian WTBOS serta dampak-dampaknya.[1] Model kedua juga menekankan aspek kekerasan sebagai bagian integral dari sejarah WTBOS.[2]
Namun model kedua punya kecendrungan melihat WTBOS sebagai pembawa modernitas dan kemajuan bagi Sumatera Barat.[3] Kecenderungan ini mungkin didorong keinginan untuk objektif dalam menyajikan masa lalu kolonial. Namun visi sejarah tersebut punya konsekuensi rentan terjebak pada normalisasi kolonialisme.
Dalam penulisan sejarah model kedua, WTBOS dengan segala kekerasan yang melingkupinya dihadirkan tanpa latar sejarah lebih dalam dan luas. Hal ini tampak dari narasinya yang langsung bergerak ke penemuan deposit batubara di Cekungan Ombilin, lalu berlanjut ke pembangunan jaringan rel kereta api, dan pelabuah Teluk Bayur. Kehadiran fasilitas-fasilitas tersebut, dilihat membawa perubahan dan dampak yang luas. Teks-teks sejarah model kedua inilah yang lebih dominan. Ia ada di museum-musuem, mural-mural, serta jadi acuan bagi kuratorial Galanggang Arang yang kemudian diturunkan dalam berbagai bentuk mata acara. Dossier yang diajukan ke UNESCO, juga menggemakan visi sejarah yang sama.
Meski penulisan sejarah model pertama juga mengesankan WTBOS hadir begitu saja dalam sejarah, namun ia tak punya intensi untuk membangkitkan rasa kagum pada modernitas yang dibawa industri tambang kolonial. Yang mengemuka justru kebalikannya.
Apa yang membuat kedua model itu sama ialah keterbatasannya saat membicarakan dampak lingkungan kehadiran industri batubara kolonial. Bahkan model pertama yang punya tendensi dekolonial cukup kental. Terlepas dari fakta bahwa penulisan sejarah berwawasan lingkungan masihlah ‘barang baru,’ ada persoalan lain yang sifatnya lebih epistemik.
Dekolonisasi dan Isu Lingkungan
Ada satu artikel yang bisa membuka diskusi lebih jauh terkait persoalan epistemi tersebut. Artikel itu ditulis oleh Kate McGregor, Profesor sejarah University of Melbourne yang banyak menulis tentang sejarah Indonesia. Dalam artikel yang terbit di Inside Indonesia edisi Maret 2023 itu, Kate membahas bagaimana era kolonial khususnya era industri kolonial, dikenang oleh masyarakat Sawahlunto sebagaimana termanifestasi di Museum Goedang Ransoem.
Kate melihat adanya ambiguitas masyarakat dalam mengenang kolonialisme dan industri tambangnya. Di satu sisi, kolonialisme dengan kecanggihan infrastruktur pertambangannya, masih dikenang sebagai pembawa kemajuan bagi masyarakat jajahan seperti tampak dalam objek-objek bekas peralatan tambang yang dipajang secara mencolok di museum. Di sisi lainnya, industri pertambangan kolonial juga dikenang sebagai sesuatu yang muram dan menindas. Hal itu tampak dari narasi para pekerja paksa dan orang rantai, yang juga tampil dengan mencolok di museum.
Salah satu persoalan yang jadi perhatiannya ialah bagaimana memori soal orang rantai itu diproduksi. Ia melihat memori itu muncul dari bawah, dari pendekatan sejarah yang berbasis komunitas. Pendekatan ini, lanjutnya, lebih menekankan pada adaptasi dan resiliensi penduduk lokal saat berhadapan dengan kekuasaan kolonial yang telah mencerabut mereka dari akarnya. Narasi seperti itu adalah tantangan langsung bagi narasi sejarah yang diproduksi dari atas yang berfokus pada agensi kolonial bersama perubahan-perubahan yang diakibatkannya. Munculnya narasi orang rantai yang dibangun dari bawah ini, dilihat Kate sebagai bagian dari praktek dekolonisasi memori.
Tapi ada aspek lain yang perlu mendapat perhatian. Ada ranah lain yang perlu digeledah guna mendorong lebih jauh dekolonisasi atas sejarah colonial industrial heritage seperti WTBOS. Ia adalah ranah episteme, atau kerangka berpikir dalam memandang sejarah WTBOS. Dari sanalah gagasan soal ‘industri kolonial pembawa kemajuan’ berasal.
Dalam soal itu, Kate memberi insight yang sangat mencerahkan. Situs seperti WTBOS tak bisa diingat sebagai ‘pembawa kemajuan’ belaka. Cara pandang yang melihat bahwa industri pertambangan kolonial merupakan pendorong ke arah kemajuan dan pemicu serangkaian perubahan dinamis di masa lalu, menurut Kate adalah gagasan yang dicangkokkan kolonial yang harus turut didekolonisasi.
Kate benar adanya. Kolonialisme memang ingin agar objek jajahannya berfikir bahwa kemajuan atau modernitas yang dipicu dan dihasilkan oleh industri pertambangannya, adalah satu-satunya model peradaban maju yang ada di dunia ini. Ia mesti diterima sebagai sesuatu yang alamiah, meski kemajuan itu dipaksakan dengan peluru dan bayonet, meski kemajuan itu belum tentu sesuai dengan kebutuhan masyarakat jajahan, meski kemajuan itu justru telah mendegradasi lingkungan dalam jangka panjang.
Situs-situs WBTOS, kata Kate, juga harus diingat dan dikenang dalam kaitannya dengan dampak buruk industrialisasi, terutama perubahan iklim. Jika selama ini industri pertambangan kolonial cenderung dilihat terpisah dengan dampak-dampak lingkungannya, kini ia mesti dilihat sebagai bagian tak terpisahkan satu sama lain.
Dengan kata lain, secara tak langsung Kate memberi tahu bahwa dekolonisasi adalah satu kesatuan dengan upaya mengembangkan penulisan sejarah berwawasan lingkungan. Bahwa, mengutip kembali para sarjana di SINTAS, “permasalahan lingkungan yang muncul saat ini tak bisa dilepaskan dari kolonialisme yang dibawa kapitalisme global.”
Meunuju Penulisan Sejarah Dekolonial WTBOS
Bicara WTBOS berarti bicara sejarah. Bagaimana WTBOS akan dikenang hari ini dan di masa datang, sangat bergantung pada narasi sejarah yang tersedia. Festival Galanggang Arang yang punya peran krusial dalam membentuk memori atas WTBOS pun juga bergantung pada narasi sejarah yang telah ada sebelumnya.
Seperti telah dilihat, secara umum narasi sejarah WTBOS yang tersedia masih punya kecendrungan melihat industri kolonial sebagai pendorong kemajuan. Akibatnya, dampak-dampak lingkungan yang ditimbulkannya menjadi terabaikan. Hal tersebut ditambah dengan baru terbentuknya kesadaran untuk menulis sejarah berwawasan lingkungan.
Untuk melampaui dua model penulisan sejarah yang telah ada, kita butuh pendekatan sejarah yang berbeda: Pendekatan itu ialah pendekatan dekolonial. Dengan pendekatan ini, kita akan menguji tesis ‘industri kolonial membawa kemajuan’ yang sebelumnya tak pernah diuji namun diterima begitu saja.
Penelitian ini mesti berangkat dari pemahaman mendasar bahwa industri batubara kolonial harus dilihat sebagai sesuatu yang tidak alamiah dan normal. Dengan demikian, penelitian mesti menjauhkan perhatian dari kondisi-kondisi positif setelah selesainya pembangunan kompleks penambangan batubara dan segenap fasilitas penyokongnya. Sebaliknya, penelitian mesti berfokus dulu pada periode-periode sejarah sebelum adanya kompleks industri tersebut tanpa terjebak dalam pandangan romantik akan masa lalu yang jauh sebagai masa keemasan.
Sumber-sumber sekunder untuk keperluan itu tersedia dalam jumlah melimpah. Sudah banyak sarjana yang menulis tentang sejarah di Sumatera Barat dengan berbagai topik yang menyinggung periode-periode sebelum datangnya kolonialisme.
Karya-karya Gusti Asnan tentang dunia maritim pantai barat Sumatera, tentang sungai sebagai faktor sejarah, serta soal perkembangan jalur transportasi darat sejak masa pra-kolonial, misalnya, bisa memberi gambaran bagaimana kondisi alam dan sosial sebelum adanya jaringan rel kereta api.[4]
Kita juga bisa gunakan hasil studi Freek Colombijn soal tata ruang Kota Padang yang ikut dipengaruhi kehadiran pelabuhan dan jaringan rel kereta api. Dari sana kita bisa lihat betapa pembangunan Kota Padang mengabaikan sama sekali ancaman abrasi karena karena harus ikut menopang kebutuhan-kebutuhan industrial kolonial.[5]
Karya lainnya, seperti artikel Joel S Khan mengenai sebab-sebab pemberontakan Silungkang juga bisa digunakan. Secara tidak langsung studi tersebut menunjukkan adanya hubungan antara pembangunan tambang batubara di Sawahlunto, degradasi hutan ulayat, dan munculnya keresahan yang kemudian meledak dalam pemberontakan.[6]
Untuk mempertajam analisis, batasan wilayah penelitiannya pun bisa dikembangkan. Kita akan memulai dengan menempatkan Sumatera Barat sebagai bagian dari perkembangan sejarah Negeri Bawah Angin yang punya dinamika tersendiri. Bahan seperti ini bisa didapat misalnya dari studi Anthony Reid soal Kurun Niaga di Asia Tenggara.[7] Gambaran-gambaran umum mengenai kesehatan serta bentuk-bentuk kebudayaan pra-kolonial Asia Tenggara yang kental dengan nilai environmentalis yang dipaparkan dalam studi tersebut, akan menunjukkan kontras luar biasa jika dibandingkan dengan kondisi setelah datangnya kolonialisme. Perubahan ini bisa dilihat sebagai efek tidak langsung dari hadirnya industri batubara sebagai salah satu tulang punggung ekonomi kolonial.
Setelah memberi latar sejarah sebelum datangnya kolonialisme, penelitian bisa bergerak ke periode panjang setelah berdirinya fasilitas penambangan batubara. Dengan cara seperti ini, kita bisa membandingkan kondisi-kondisi lingkungan dan sosial sebelum dan setelah adanya tambang. Akan tampak apa-apa yang berubah secara tidak normal dan alamiah.
Bicara penelitian sejarah, juga berarti bicara ketersediaan sumber-sumber primer. Karena itu kita perlu bicara soal sumber primer, sebagai bahan utama untuk membangun narasi di periode panjang setelah berdirinya WTBOS.
Sumber-sumber tentang WTBOS dan Sawahlunto masa kolonial tersedia dengan cukup banyak, meski kita tetap harus hati-hati dengan bias-bias yang terkandung di sumber jenis ini.
Mari kita tinjau sedikit soal kemungkinan-kemungkinan sumber primer lain yang bisa digunakan. Saat berkunjung ke Museum Tambang milik PT Bukit Asam (PT BA), cukup banyak peta, foto, dan data mentah dari masa setelah nasionalisasi tambang yang bisa digunakan untuk kepentingan penelitian. Namun jumlahnya sangat terbatas. Sementara arsip-arsip perusahaan lainnya tak tersedia di sana. Butuh akses ke gudang arsip perusahaan.
Dalam penelitian ini sumber-sumber sejarah lisan akan punya peran krusial. Saat ke Sawahlunto untuk penelitian lapangan pada 2023 lalu, saya menemui banyak warga yang telah bersentuhan dengan lingkungan WTBOS sejak masa kecil. Pengalaman langsung mereka adalah sumber primer yang tidak hanya berharga, tapi juga penting karena berasal dari komunitas lokal. Dari sudut pandang merekalah gagasan kemajuan yang dibawa industri batubara kolonial akan betul-betul diuji.
Data-data dalam buku-buku agenda pembangunan pemerintah daerah yang tersedia sejak era Sumatera Tengah juga bisa dijadikan bahan.[8] Semua itu belum termasuk kepustakaan sastra lisan (kaba) yang juga tersedia dengan cukup banyak, serta manuskrip-manuskrip yang sangat mungkin digunakan untuk kepentingan penelitan.
Dalam melihat hubungan antara ekonomi global dan kehadiran industri batubara di Ombilin, karya-karya Gusti Asnan yang tadi disebut bisa juga digunakan. Selain itu ada juga karya lainnya seperti studi Christine Dobbin tentang perubahan ekonomi di Sumatra Barat pada masa-masa sebelum dan sesudah Perang Paderi, serta Joel S Khan mengenai perubahan ekonomi di Sumatera Barat yang meski berpusat di masa Orde Baru tapi juga membahas ekonomi di masa kolonial. Juga studi Erwiza Erman yang menekankan hubungan antara eksploitasi manusia di tambang Ombilin dan kepentingan ekonomi kolonial. Belum lagi karya soal sejarah ekonomi Indonesia dan ekonomi global yang jumlahnya sangat melimpah.[9]
Penekanan pada segi ekonomi ini penting untuk melihat bagaimana sistem ekonomi yang bekerja di balik kolonialisme dan kaitannya dengan kerusakan lingkungan jangka panjang di Sawahlunto; bagaimana ia mendorong serangkaian kampanye militer brutal di dataran tinggi Minangkabau yang disusul pendirian industri penambangan yang akhirnya membuat Sawahlunto hari ini mengalami kesulitan untuk melepaskan diri sepenuhnya dari ketergantungan pada ekonomi tambang.
Ini adalah penelitian yang tidak hanya menantang dan bisa membawa kita melihat masa lalu sendiri secara baru dan segar, tapi juga berpotensi besar memberi dampak positif.
Dengan tersedianya teks-teks sejarah yang melihat industri kolonial secara lebih kritis, maka kemungkinan lahirnya karya-karya kreatif dan akademik tentang WTBOS yang punya semangat dekolonial akan terbuka lebar. Akan tersedia legitimasi narasi sejarah bagi model perayaan yang punya pendekatan dekolonial lebih luas dan dalam yang mencakup isu lingkungan. Lewat perayaan-perayaan seperti ini, gagasan bahwa industri batubara selaras dengan kemajuan akan dipertanyakan atau bahkan ditantang.
Jika hari ini karya-karya seni dan program lainnya di perayaan seperti Galanggang Arang lebih berfokus pada respon atas sejarah kekerasan kolonial dan respon kreatif atas bekas-bekas fasilitas penambangan dan jalur kereta api, di masa datang bisa muncul seminar dan diskusi serta beragam karya yang bicara dampak lingkungan industri batubara kolonial serta efek-efeknya hari ini.
Ini pastilah kerja panjang yang tidak akan selesai hanya dengan tulisan-tulisan penuh penghakiman, jargon, serta khotbah moral. Dan kerja-kerja akademik, juga kerja-kerja kebudayan, kata teman saya, bukanlah Kantong Doraemon. (*)
Foto: Kereta gantung pengangkut batubara yang baru saja dibangun di Sawahlunto.Direproduksi dari Ir. J. Van Lier, De Steenkolenindustrie (1917, hal 41)
Catatan Kaki:
[1] Model pertama diwakili oleh Erwiza Erman. (1999). Miners, managers and the state: A socio-political history of the Ombilin coal-mines, West Sumatra, 1892-1996. [Thesis, fully internal, Universiteit van Amsterdam], karya-karya rintisan Zaiyardam Zubir misalnya, Pertempuran Nan Tak Kunjung Usai: Eksploitasi Buruh Tambang Batubara Ombilin oleh kolonial Belanda 1891-1927. Unand Press, 2006. Buku ini adalah tesisnya masternya pada 1994 di UGM. Sebagian artikel sejarah di Ombilinheritage.id, juga punya penekanan yang sama.
[2] Model kedua ini diwakili oleh antara lain, Lindayati, dkk. Kota Sawahlunto, Jalur Kereta Api, & Pelabuhan Teluk Bayur: Tiga Serangkai dalam Sejarah Pertambangan Batubara Ombilin di Sumatera Barat. (Minangkabau Press, 2107), serta Andi Asoka, dkk. Sawahlunto: Dulu, Kini, dan Esok: Menjadi Kota Wisata Tambang yang Berbudaya. (LPTIK Unand, 2016)
[4] Lihat karya-karya Gusti Asnan, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatra, (Penerbit Ombak, Jogjakarta: 2007); Sungai dan Sejarah Sumatera, (Penerbit Ombak, Jogjakarta: 2016). Untuk artikel mengenai jalur transportasi darat, terjemahannya bisa dibaca di sini.
[5] Lihat Freek Colombijn, Paco-paco (Kota) Padang: Sejarah Sebuah Kota di Indonesia Abad ke-20. (Ombak, Yogyakarta, 2006)
[6] Lihat terjemahan artikel tersebut di sini.
[7] Lihat dua jilid karangan Anthony Reid, Asia Tenggara Tanah di Bawah Angin Jilid I: Tanah di Bawah Angin (Yayasan Pustaka Obor: Jakarta, 2011) dan Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid II: Jaringan Perdagangan Global (Yayasan Pustaka Obor: Jakarta, 2014)
[8] Bahan-bahan ini antara lain terdapat pada buku-buku terbitan Djawatan Penerangan pada era Sumatera Tengah. Untuk era Orde Baru, jumlahnya mungkin lebih banyak lagi.
[9] Lihat misalnya Christine Dobbin, Gejolak ekonomi, kebangkitan islam, dan gerakan padri : Minangkabau 1784-1847. (Komunitas Bambu: Jakarta, 2008), Joel S Khan, Minangkabu Social Formation: Indonesian Peasant and World Economy. (Cambridge University, 2007.), Erwiza Erman. (1999). Miners, managers and the state: A socio-political history of the Ombilin coal-mines, West Sumatra, 1892-1996.
Referensi
Buku:
Asnan, Gusti. (2007) Dunia Maritim Pantai Barat Sumatra. Jogjakarta: Penerbit Ombak.
Asnan, Gusti. (2016). Sungai dan Sejarah Sumatera. Jogjakarta: Penerbit Ombak.
Andi Asoka, dkk. (2016). Sawahlunto: Dulu, Kini, dan Esok: Menjadi Kota Wisata Tambang yang Berbudaya. Padang: LPTIK Unand.
Colombijn, Freek. (2006) Paco-paco (Kota) Padang: Sejarah Sebuah Kota di Indonesia Abad ke-20. Yogyakarta: Ombak.
Dobbin, C. (2008). Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri : Minangkabau 1784-1847. Jakarta: Komunitas Bambu.
Erwiza, E. (1999). Miners, Managers and the state: A socio-political history of the Ombilin Coal-Mines, West Sumatra, 1892-1996. [Thesis, fully internal, Universiteit van Amsterdam].
Lindayati, dkk. (2017). Kota Sawahlunto, Jalur Kereta Api, & Pelabuhan Teluk Bayur: Tiga Serangkai dalam Sejarah Pertambangan Batubara Ombilin di Sumatera Barat. Padang: Minangkabau Press.
Reid, Anthony. (2011). Asia Tenggara Tanah di Bawah Angin Jilid I: Tanah di Bawah Angin. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor.
Reid, Anthony. (2014) Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid II: Jaringan Perdagangan Global. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor.
Zubir, Z. (2006). Pertempuran Nan Tak Kunjung Usai: Eksploitasi Buruh Tambang Batubara Ombilin oleh kolonial Belanda 1891-1927. Padang: Unand Press.
Artikel:
Khan, S Joel. (2024) Kesadaran Politik Kaum Tani di Sumatera Barat: Analisis Ulang Atas Pemberontakan Komunis 1926 Bagian I dan II. Diterjemahkan oleh Randi Reimena. Diakses 23 Mei 2024, dari https://garak.id/artikel-terjemahan/kesadaran-politik-kaum-tani-di-sumatera-barat-analisis-ulang-atas-pemberontakan-komunis-1926-bagian-ii/
Asnan, Gusti. (2024). Transportasi di Pantai Barat Sumatera pada Abad ke-19. Diterjemahkan oleh Haldi Patra. Diakses 23 Mei 2024 dari https://garak.id/artikel-terjemahan/transportasi-di-pantai-barat-sumatera-pada-abad-ke-19/