Nenek Tinar sudah tak sabar menantikan dua cucunya yang akan tampil di Galanggang Arang #7 Kayutanam. Ia bersama anak perempuannya, Yati, sudah berdiri di dekat rel, semenjak sore.
“Itu dua cucu Amak,” katanya menunjuk dua anak muda yang membopong gendang tansa bersama 148 anak muda lainnya. Malam itu, 150 penabuh tambua tansa akan memainkan karya kolaborasi berjudul ‘Kureta Mandaki’ di event tersebut. Para seniman itu berasa dari 21 sanggar di Kab. Padang Pariaman.
“Bapaknya dulu juga pemain tansa,” sambungnya.
Stasiun Kereta Api yang menjadi venue Galanggang Arang #7 itu menyimpan banyak kenangan Nenek Tinar.
Di stasiun yang didirikan pada 1891 itulah, ia dan ibunya, Siti Beram, dulu sering menjajakan makanan. Nenek yang ketika itu masih berusia 10-12 tahun, sering ikut ibunya naik kereta menjajakan makanan yang dimasak sendiri oleh ibunya kalau ia lagi libur sekolah.
“Dulu stasiun ini masih ramai, gerbong penuh orang, banyak yang naik kereta,” kenang wanita yang kini usianya mendekati 80 tahun itu soal suasana stasiun di era 1950-an dan 1960-an.
“Pagi-pagi, ada kereta dari Padang ke Padang Panjang, Bukittinggi, Solok, atau Sawahlunto,” lanjutnya. “Keretanya berhenti di sini, lalu kami naik ke gerbong, jajakan makanan ibu.”
Jajanan yang dijual ibunya biasanya adalah palai dan katupek dendeng rabu—salah satu panganan khas Padang Pariaman yang kini mulai langka. Katupek-nya (ketupat) tidak dibuat dari beras biasa, tapi dari sipuluik dengan kuah santan. Sementara dendengnya diolah dari rabu kerbau.
Jualan itu dijujung menggunakan baki atau nampan besar. Kalau lagi beruntung, jajanan ibunya bisa habis sampai di Padang Panjang, atau bahkan baru di Stasiun Kandang Ampek sudah tandas dagangannya.
“Kami naik lagi kereta ke Kayutanam kalau begitu. Kadang naik lagi ke kereta, membawa dagangan teman-teman ibu yang belum habis,” lanjutnya.
Selain membantu ibunya, Tinar sebetulnya juga senang naik kereta. Baginya naik kereta bisa menjadi pengisi liburan sekolah yang menyenangkan. Dia banyak melihat hal-hal baru di stasiun dan kota-kota yang mereka lalui.
Memang, selain Tinar dan ibunya, banyak lagi pedagang asongan di gerbong kereta pada masa-masa itu, pada tahun 1950-an. Pak Aslim, pelangsir baro di Kayutanam juga mengatakan sampai tahun 1980-an, masih banyak yang berdagang di kereta. Jualannya macam-macam, mulai dari pangan lokal, sampai nasi bungkus daun pisang, yang biasanya mereka buat sendiri dan dijajakan dengan katidiang.
“Kalau kalian anak-anak muda ini cobalah sekali-kali makan di kereta, aduh nikmat sekali,” kenangnya sambil menambahkan, karena itu pula jajanan ibunya bisa cepat habis. “Orang-orang dulu itu senang makan-makan di kereta.”
Kini PT KAI sudah tidak mengijinkan jualan di gerbong demi kebersihan dan kenyamanan.
Nenek Tinar sempat melanjutkan pekerjaan ibunya. Setelah menikah di usia 17-an, ia berhenti sebagai pedagang palai dan katupek dendeng rabu di kereta. Meski begitu, kereta api tetap penting baginya. Pisang yang ditanam suaminya di ladang mereka, ia jual ke Padang dengan menaiki kereta.
“Setelah menikah, tiap hari Rabu atau Jumat, saya ke Padang naik kereta, bawa pisang yang kami tanam. Pisangnya enak, pisang masak diperam, bukan pisang masak dikarbit seperti hari ini,” pungkasnya. (*)