Narasi sejarah tentang WTBOS di kawasan (Nagari-nagari) penyangga WTBOS sangatlah minim jika tidak bisa dikatakan miskin. Narasi-narasi tersebut lalu dibingkai sebagai ‘memori kolektif.’ Dalam apa yang disebut memori kolektif ini, narasi WTBOS di sepanjang kawasan penyangga, seperti Nagari-nagari di sepanjang Danau Singkarak hingga Stasiun Kayutanam, didominasi oleh kenang-kenangan masyarakat setempat tentang melintasnya Lokomotif Mak Itam di Nagarinya, betapa asap lokomotif itu bisa membuat hitam seisi gerbong, atau kisah soal tokoh-tokoh sejarah yang pernah menjejakkan kakinya di salah satu stasiun. Singkat kata, apa yang disebut memori kolektif itu adalah kata lain untuk romantisme.
Di sisi lain, munculnya jalur kereta api dan berdirinya beberapa stasiun di sepanjang kawasan penyangga, juga diposisikan sebagai faktor ultima yang membawa kemajuan atau modernitas ke Nagari-nagari di kawasan penyangga pada masa kolonial. Ini adalah salah satu narasi sentral yang senantiasa melekat atau dilekatkan pada tambang Ombilin dan jalur distribusi batubara yaitu kereta api beserta relnya.
Narasi-narasi di atas lalu diarsipkan dalam bentuk audio visual, lagu, atau karya rupa, yang rentan terjerembab tidak hanya pada romantisme semu namun juga visi mooi indie atas kawasan penyangga. Meski ada karya rupa seperti mural atau seni instalasi dalam gelaran Galanggang Arang di kawasan penyangga yang mencoba melampaui narasi tersebut, jumlahnya masih kalah oleh karya yang berangkat dari dua titik tolak di atas: romantisme berbalut memori kolektif dan tesis soal ‘industri tambang dan kereta api membawa kemajuan’ di Sumbar masa kolonial.
Memori Kolektif dan Tesis yang Rapuh
Memori kolektif, terbilang baru dalam percakapan akademik di Indonesia. Sejauh yang bisa ditelusuri, hanya ada satu karya tentang memori dan kaitannya dengan sejarah (Budiawan ed, 2015). Ini adalah buku kumpulan esai sejarah yang berangkat dari memori kolektif, dari bagaimana suatu masyarakat ingin mengenang suatu peristiwa sejarah. Dalam buku ini, para penulisnya tidak memperlakukan ‘memori kolektif’ sebagai kebenaran sejarah. Lebih dari itu, memori kolektif diposisikan sebagai sehimpun data mentah untuk dianalisa dengan ilmu sejarah yang diperkuat sejumlah teori dari bidang keilmuan lain, terutama Cultural Studies.
Sementara itu, di Sumbar, tesis soal ‘industri tambang dan kereta api membawa kemajuan’ telah terlanjur diterima sebagian besar intelektual, budayawan bahkan sejarawan, dengan ‘memori kolektif’ sebagai salah satu legitimasi utamanya. Padahal, seperti dijelaskan di atas, memori kolektif tidak bisa diperlakukan begitu saja sebagai kebenaran sejarah dan karenanya tak bisa dijadikan legitimasi sejarah untuk tesis tersebut.
Yang lebih penting lagi, tesis tersebut belum pernah sekalipun diuji validasinya. Kajian sejarah untuk mendukung tesis tersebut, juga belum tersedia. Tulisan-tulisan sejarah mengenai rel dan kereta api di Sumbar yang ada saat ini sifatnya lebih deskriptif naratif–bukan kajian mendalam dan komprehensif soal dampak-dampak sosial dan ekonomi yang dibawa tambang batubara Ombilin beserta jaringan distribusinya yaitu rel dan kereta api itu sendiri bagi nagari-nagari penyangga WTBOS. Karya-karya seperti ini, bahkan tidak punya tendensi untuk menghadirkan kereta api sebagai pembawa kemajuan–ia hanya berkisah soal kronologi pembangunan jaringan rel kereta api, serta serba-serbi (trivia) peristiwa sejarah di sekitar pembangunan rel. Pembahasannya tidak sampai pada analisa atas aspek-aspek perubahan sosial ekonomi setelah hadirnya jalur kereta api.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan kondisi di Inggris—tanah lahirnya kereta api. Mau pun di negara-negara bekas jajahan seperti India. Para sejarawan di negeri-negeri tersebut telah menghasilkan sejumlah studi serius tentang dampak ekonomi sosial kereta api.
Di India, ada karya Dan Bogart dan Latika Chaudhary (2011), misalnya. Studi mereka mempertanyakan “pencapaian ekonomi” yang dibawa jalur kereta api di masa kolonial India. Meski mereka mengakui jalur kereta api menghubungkan pusat-pusat ekonomi lokal dengan pusat ekonomi global dan memicu sejumlah perubahan positif, mereka menggarisbawahi bahwa kemajuan itu sifatnya terbatas: hanya dalam kurun 1850 and 1919 kereta api mampu meningkatkan produktivitas dan memajukan ekonomi India. Setelah kurun tersebut, yang terjadi adalah sebaliknya, bahkan “sulit menemukan bukti bahwa kehadiran jalur kereta api meningkatkan penghasilan” penduduk lokal.
Di Inggris, studi serius tentang dampak ekonomi dan sosial kereta api sangat melimpah. Salah satu karya tentang topik ini ditulis D. Aldcroft (1992). Hasil studinya memperlihatkan bahwa kehadiran jalur rel kereta api dalam periode Victorian, telah mengubah tatanan masyarakat dan menimbulkan paradoks. Di satu sisi, ia mengubah tatanan ekonomi (dan masyarakat) dalam arti positif. Di sisi lain, jalur kereta api telah menghancurkan kehidupan kelas pekerja di kota-kota Victorian dimana pemukiman mereka dihancurkan demi pembangunan rel kereta api. Menurutnya, inilah “social cost” yang harus dibayar, dengan kaum tertindas sebagai korbannya.
Eric Hobsbawm, dalam karya monumentalnya, The Age of Revolution: 1789-1848 (1996: 43-45),[1] juga memberi perhatian pada kemunculan rel kereta api sebagai pemicu transformasi kapital komoditas-komoditas, terutama batubara. Kereta api dan jalurnya, kata Hobsbawm, secara teknis adalah anak kandung industri pertambangan di Inggris. Ia juga hasil inovasi Revolusi Industri yang punya efek sampingan: memantik semacam imajinasi yang diserap oleh berbagai karya seni serta apa yang kita sebut hari ini sebagai ‘memori kolektif’, hingga melahirkan Railway Culture.[2]
Alih-alih melihatnya sebagai pemicu kemajuan ekonomi yang merata, Hobsbawm melihat bahwa kereta api dan jaringan rel-nya hanya mempercepat bertambahnya kekayaan segelintir orang, yaitu “rich classes.” Dengan kata lain, kereta api dan jaringan rel-nya, yang lahir dari rahim eksploitasi batubara, hanyalah sarana akumulasi kapital bagai kelas kapitalis. Ia bukan alat produksi milik dan untuk kemajuan kelas tertindas.
Melampaui Keterbatasan Memori Kolektif
Belum tersedianya kajian sejarah yang komprehensif tentang dampak kehadiran jalur kereta api di Sumbar, jelas jadi salah satu penyebab maraknya penggunaan ‘memori kolektif’ untuk membangun narasi WTBOS di sepanjang kawasan penyangga.
Sekali lagi, strategi ini sah-sah saja dipakai sembari menunggu munculnya karya yang komprehensif dan otoritatif tentang hubungan jalur kereta api dan kemajuan di kawasan penyangga.
Namun ada hal penting yang perlu kita sadari terlebih dahulu, yaitu keterbatasan memori kolektif. Ia punya beberapa kelemahan mendasar yang, seperti telah disebut di atas, bisa dengan mudah menjebak orang pada pemahaman sejarah yang romantik dan lebih parah mempraktekkan cara pandang mooi indie atas Nagari-nagari di kawasan penyangga WTBOS.
Pertama, memori kolektif itu bersifat mikro lokal dan terisolasi dari konteks sejarah yang lebih luas. Sebagai contoh, memori kolektif di kawasan penyangga yang cenderung meromantisasi kereta api dan rel-nya itu, berkebalikan dengan memori kolektif orang rantai dan keturunannya serta sebagian warga Sawahlunto. Di Sawahlunto, memori kolektif tentang WTBOS yang beredar adalah soal penghinaan, perbudakan, rasialisme, meski masih terkandung ambivalensi di dalamnya karena masih memberi ruang bagi rasa kagum atas teknologi-teknologi pertambangan dari negeri penjajah.
Untuk membangun narasi sejarah yang bulat dan koheren, termasuk tentang WTBOS, perlu untuk menghubungkan memori-memori kolektif yang tersebar di kawasan penyangga dengan konteks sejarah yang lebih luas. Tidak hanya menghubungkannya dengan memori kolektif di Sawahlunto, namun juga menempatkannya dalam kerangka kekuasaan kolonialisme bahkan dengan perkembangan kapitalisme global. Dengan meletakkan beragam memori kolektif dari kawasan penyangga dalam kerangka kekuasaan kolonialisme, maka akan tampak bahwa kereta dan rel-nya itu, tak lain adalah sarana eksploitasi Tanah jajahan. Bahwa kereta api dan rel-nya itu bukanlah perkakas canggih yang netral sifatnya. Bahwa ia dibangun bukan untuk mensejahterakan anak jajahan di nagari-nagari sepanjang kawasan penyangga.
Kedua, dalam ilmu sejarah, seperti telah disinggung sedikit di atas, memori kolektif barulah sehimpun data yang perlu diverifikasi dan dianalisis, serta dikomparasikan dengan fenomena serupa di kawasan lain di Hindia Belanda atau belahan dunia Barat. Setelah dianalisa, memori kolektif itu bisa dijadikan argumen untuk mendukung suatu tesis atau malah sebaliknya: menggugurkan tesis yang ada. Memori kolektif para penyintas 65, yang dihimpun dengan pendekatan sejarah lisan membuktikan bahwa Orde Baru memang bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan pada 65. Memori kolektif yang sama juga memberitahu betapa panjang dan berbahanya efek psikologis dan sosial politik peristiwa itu bagi para penyintas dan keturunannya.
Menghimpun dan Mengarsipkan Memori Kolektif Secara Baru
Setelah memahami betapa terbatasnya memori kolektif, dan bahwa ia tidak bisa serta merta dianggap sebagai kebenaran sejarah, kini kita bisa membahas soal bagaiamana mengambangkan memori kolektif agar menghasilkan narasi WTBOS di kawasan penyangga yang tidak hanya akan melampaui romantisme dan tesis “tambang, kereta api, dan kemajuan” yang belum pernah diuji itu, namun juga lebih kaya serta betul-betul berasal dari bawah, dari masyarakat itu sendiri.
Sepanjang gelaran Galanggang Arang 2023 dan 20204, kita telah menyimak berbagai produk audio visual (dokumenter) terkait WTBOS yang langsung atau tidak bersumber dari memori kolektif. Nyaris semua pengkarya mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya normatif pada para narasumber, seperti “Apa yang anda kenang tentang stasiun A atau stasiun B? Bagaimana perasaan Anda ketika melihat kereta api melintas? Bagaimana pengalaman Anda ketika menaiki kereta api dan segala suka dukanya? dst.”
Pertanyaan-pertanyaan ini demikian dominan dalam upaya menggali memori kolektif terkait WTBOS di kawasan penyangga (juga di Ombilin sendiri meski dalam skala lebih kecil). Para narasumber jelas akan memberi informasi sesuai pertanyaan pengkarya. Atau lebih tepatnya digiring untuk memberi kesaksian, membuka memori, tentang masa lalu kolonial beserta jalur kereta apinya yang penuh romantisme.
Karena itulah diperlukan pertanyaan yang lebih tajam saat menghimpun memori kolektif. Di sini kita bisa meminjam 4 Pertanyaan Henry Bernstein saat melakukan wawancara. Berstein menggunakan 4 Pertanyaan ini untuk membongkar diferensiasi kelas dalam masyarakat agraris. Dengan 4 Pertanyaan ini, ia ingin menantang pandangan yang kelewat naif dan romantik atas masyarakat pedesaan agraris yang cenderung egaliter dan hidup dalam harmoni. Dan dengan 4 pertanyaan ini, Berstein serta para peneliti yang menggunakanya, berhasil menunjukkan bahwa masyarakat agraris di pedesaan terdiri dari lapisan-lapisan sosial berdasarkan penguasaan tanah. Masyarakat pedesaan bukanlah masyarakat yang egaliter dan harmonis. Di sana ada hubungani tuan dan bawahan, ada yang memiliki tanah dan ada yang tak bertanah sama sekali–ini adalah ketimpangan yang di bawahnya mengendap bibit-bibit pertentangan yang pada waktu-waktu tertentu meledak dan muncul ke permukaan.[3]
Berstein dan 4 Pertanyaannya berhasil meruntuhkan narasi dominan tentang masyarakat agraris yang egaliter dan harmonis. Dengan kata lain, jika dihubungkan dengan narasi WTBOS, 4 Pertanyaaan Berstein bisa digunakan untuk tujuan yang sama namun di ranah yang berbeda: menggugat narasi-narasi sejarah dominan tentang WTBOS demi memperkaya narasi WTBOS itu sendiri.
4 Pertanyaaan Berstein tersebut adalah:
- Siapa memiliki apa.
- Siapa mengerjakan apa.
- Siapa mendapatkan apa.
- Untuk apa dan untuk siapa hasilnya.
Wawancara Kritis Memori Kolektif
Narasi romantik dan tesis ‘tambang dan kereta api membawa kemajuan’ yang mengemuka dalam narasi sejarah WTBOS di kawasan penyangga, jelas dicangkokkan dari atas. Sifatnya top-down, bukan button-up. Ia manitiak dari langik, bukan mambasuik dari bumi.
Seperti telah dibahas di atas, dua cara pandang itu bisa muncul karena belum adanya kajian yang komprehensif tentang dampak-dampak sosial ekonomi tambang dan jalur kereta apinya. Sebab lainnya, tulisan-tulisan sejarah terdahulu tentang WTBOS telah menggeneralisir semua kawasan WTBOS, yaitu Tambang Ombilin, Jalur Kereta Api, dan Emmahaven sebagai ‘tiga serangkai’.
Perubahan-perubahan yang terjadi di Ombilin hingga berdirinya Kota Sawahlunto sebagai kota tambang yang paling maju dan canggih (menurut ukuran kolonial) pada masanya, dilihat menjalar secara wajar ke nagari-nagari penyangga yang termasuk dalam jalur ‘tiga serangkai’ tadi. Kajian-kajian sejarah semacam ini lebih banyak membahas Sawahlunto. Hasilnya lalu diterapkan secara agak memaksa ke Nagari-nagari penyangga WTBOS yang hanya dibahas sepintas lalu. Dalam tulisan-tulisan sejarah semacam ini, nagari-nagari penyangga dilihat sebagai wilayah pinggiran yang tak bisa menghindar dari perubahan-perubahan yang terjadi di Sawahlunto sebagai pusat narasi, terutama kemajuan di bidang-bidang penting seperti pendidikan, kesehatan, hiburan, dan perdagangan.
Meski bukti-buktinya belum cukup kuat jika tidak bisa dikatakan tidak ada sama sekali, apa yang terjadi di Sawahlunto juga dianggap terjadi di sepanjang kawasan penyangga. Di saat yang sama, tak ada upaya penelitian dari Nagari ke nagari di sepanjang WTBOS untuk membuktikan klaim tersebut.
Terciptalah Nagari-nagari ‘tanpa sejarah’ di kawasan penyangga. Tak ada sejarah (tentang WTBOS) di nagari-nagari itu, yang ada hanya narasi ‘kemajuan’ di Sawahlunto yang diturunkan dari atas, serta ditulis dari balik meja-meja di ruang-ruang penelitian di kampus-kampus. Ketika tak ada cukup bukti untuk menopang tesis ‘tambang dan kereta api membawa kemajuan,’ maka memori kolektif dijadikan pembenaran. Dan, lagi-lagi, apa yang disebut memori kolektif ini juga diturunkan dari atas oleh para budayawan, videographer, musisi, atau penulis sejarah tertentu.
Di tengah kondisi itu, anak nagari dari Nagari-nagari sepanjang kawasan penyangga, dianggap cukup menerima saja. Mereka diperkenalkan dengan memori kolektif, digiring mewawancarai saksi sejarah WBTOS dengan metode wawancara yang sudah usang itu, lalu dianggap telah membangun narasi sejarah WTBOS di kawasan penyangga. Padahal, pada dasarnya, yang ada tetaplah situasi ‘tanpa sejarah.’
Kini Nagari-nagari penyangga WTBOS sebagiannya telah jadi bagian dari program Desa Budaya. Di tiap Nagari yang tergabung, ada sejumlah anak muda yang mengambil peran sebagai Daya Desa.
Ini adalah saat yang tepat untuk mulai membangun narasi sejarah sendiri, membangun sejarah dari bawah, untuk melepaskan diri dari narasi yang dicangkokkan dari atas.
Teman-teman Daya Desa bisa memulai membangun narasi sejarahnya sendiri dengan cara menghimpun dan mengarsipkan memori kolektif tentang WTBOS di Nagari masing-masing. Tapi semua itu harus dijalankan dengan menerapkan 4 Pertanyaan Berstein di atas.
Saat mewawancarai saksi hidup (jika ada) atau keluarga dari masinis dan pekerja kereta api masa kolonial, pertanyaannya tak bisa hanya berkisar soal kenang-kenangan indah, kenangan pahit, atau memori-memori lainnya yang tak menapak realitas. Pertanyaan wawancaranya mesti dilengkapi dengan “Apa properti yang jadi milik Bapak/Ibu di Stasiun,” misalnya. Jika ia menjawab tak ada, maka tanyakan siapa pemilik/penguasa stasiun tersebut.
Pertanyaan selanjutnya, Pertanyaan 2, menyasar pada peran si narasumber di tempat yang kini jadi situs WTBOS. “Apa yang Bapak/Ibu kerjakan di sana?” Jika ia pedagang asongan, pastilah ia menjawab “berdagang”. Jika ia dulunya masinis, tentu akan dijawabnya “Saya masinis”.
Setelahnya, kita bisa masuk ke Pertanyaan 3, pertanyaan yang paling krusial: Apa yang Bapak/Ibu dapat di sana? Narasumber pedagang mungkin akan menjawab “kadang dapat banyak uang, kadang sedikit, tak menentu.” Masinis (terutama yang bekerja di saat kereta api sudah dinasionalisasi), pastilah akan menjawab “Gaji bulanan dan uang pensiun”.
Sampai di sini, semua terlihat biasa. Namun ketika dirunut lagi ke Pertanyaan 1, kita bisa mendapat gambaran soal posisi riil si narasumber di fasilitas tersebut: bahwa di stasiun dan jalur kereta api yang berdiri dan merentang di atas tanah yang dulu ulayatnya, ia sesungguhnya tak lagi memiliki apa-apa. Karena jawaban Pertanyaan 1 hanya dua: milik Belanda atau PT KAI.
Gambaran yang ironis ini bakal semakin menajam ketika kita review lagi jawaban dari Pertanyaan 2: Bahwa para narasumber, di atas tanah yang dulu ulayatnya, hanya jadi sekrup-sekrup kecil dalam sistem kolonial yang eksploitatif.
Gambarannya akan semakin menajam jika dikaitkan dengan Pertanyaan 4r: Untuk apa serta untuk siapa hasilnya?, yang dalam konteks WTBOS tentulah batubara. Pertanyaan ini bisa juga dijawab oleh narasumber yang kemungkinan besar tahu bahwa batubara-batubara itu dan keuntungannya dibawa ke negeri Belanda. Pertanyaan ini juga bisa diajukan pada sejarawan untuk memperkuat validasinya, yang kemungkinan besar akan memberi jawaban lebih konkrit seperti nominal uang yang dihasilkan tambang dan dibawa ke Belanda.
Pertanyaan 4 ini sangat penting posisinya. Jawabannya akan menjaga terhubungnya memori kolektif di satu nagari dengan nagari lain, hubungan dengan Sawahlunto, dan akhirnya hubungan memori-memori itu dengan kolonialisme. Jawaban dari pertanyaan ini adalah perekat dari beragam memori kolektif dari tiap Nagari yang dari sana bisa ditarik suatu kesimpulan yang lebih bulat dan utuh.
Dan ketika jawaban dari Pertanyaan 4 dihubungkan dengan jawaban Pertanyaan 3, akan tampak bahwa dalam sistem ekonomi kolonial para narasumber hanya mendapat remah-remah belaka. Mereka diberi ruang untuk mendapat sedikit kue hanya agar bisa terus melanjutkan hidup sebagai sekrup-sekrup kecil dalam sistem kolonial.
Di titik ini, kita mulai menghasilkan narasi yang sungguh berbeda dengan narasi yang dihimpun dengan pendekatan memori kolektif yang salah kaprah itu. Walau belum menjadi sejarah dari bawah yang sepenuhnya utuh dan komprehensif, narasi seperti ini juga tantangan langsung bagi tesis “tambang dan kereta api membawa kemajuan.”
Dengan mengarsipkan dan menyebarkan narasi memori kolektif seperti ini, orang-orang, terutama anak nagari di kawasan penyangga WTBOS bisa bertanya: kemajuan untuk siapa yang dibawa tambang dan jalur kereta api itu? Benarkah kolonialisme yang telah membawa kita, anak jajahan, menuju terang jaman?
Juga akan terbentang jelas bahwa dalam industri batubara beserta jaringan rel kereta apinya, ada ketimpangan yang mencolok. Bahwa dalam sistem kolonial, posisi anak nagari yang dijajah ketika itu, di tanahnya sendiri, justru berada di bawah. Ada hubungan penjajah dan yang dijajah yang akan mengemuka dengan terang. Intinya, akan terbuka lebar betapa timpang dan tidak adilnya sistem ekonomi kolonial.
Tiap Nagari bisa jadi menghasilkan narasi dengan gaya berbeda-beda. Jika 22 Nagari yang tergabung dalam program Desa Budaya di sepanjang kawasan penyangga WTBOS mulai memproduksi dokumentasi-dokumentasi seperti contoh di atas, maka narasi sejarah kawasan penyangga akan makin kaya. Dan kekayaan narasi itu, betul-betul bersumber dari bawah, dari anak nagari sendiri, bukan turunan narasi bikinan kolonial atau narasi yang ditulis para akademisi dari balik meja.
Kemenangan Sejarah Dari Bawah: Berkaca dari Pengalaman Sawahlunto
(Instalasi “Di Balik Batu” karya Kaday Loket)
Dalam gelaran Galanggang Arang #2 Kota Solok (22-23 Juni 2024), terpajang satu instalasi di venue utama Stasiun Kota Solok. Karya berjudul “Di Balik Batu” ini dibuat oleh Kaday Loket.
Walau Stasiun Solok termasuk kawasan penyangga, yang hanya dilintasi batubara, tapi Kaday Loket melihat gerbong-gerbong batubara itu bukan sebatas barang biasa-biasa saja. Lebih dari itu, mereka mempertanyakan dari mana batubara itu berasal, bagaimana ia dibuat, siapa yang membuatnya, dan kemana hasilnya dibawa.
Ini adalah penerapan 4 Pertanyaan Bernstein dalam bentuk lain, yang memungkinkan Kaday Loket membuat karya yang berbeda dengan kebanyakan karya di Galanggang Arang 2023 ataupun 2024. Karya ini juga memperkaya narasi ingatan kolektif tentang WTBOS di Kota Solok yang ditulis oleh Tim Gajah Maharam.[4] Jika Tim Gajah Maharam cenderung melihat proses transit serta melintasnya kereta api pengangkut batubara dari Ombilin terkesan dilihat sebagai peristiwa biasa-biasa saja yang terpisah dari konteks sejarahnya yang lebih luas, Kaday Loket melihat sebaliknya.
Melintasnya kereta pengangkut batubara, bagi Keday Loket, bukanlah kejadian yang normal-normal saja. Ada sesuatu di balik batu(bara) yang saban hari melintasi Stasiun Kota Solok itu. Merekapun menelusuri sejarah Sawahlunto–darimana gerbong-gerbong itu datang.
Dan hasilnya ialah instalasi yang tidak hanya memperlihatkan betapa terbatas (dan merusaknya) Industri batubara, namun juga menunjukkan bagaimana proses pembuatan batubara yang penuh luka itu. Lewat karya ini, Kaday Loket ingin mengingatkan masyarakat Solok kalau batubara yang melintasi kota mereka, adalah hasil dari eksploitasi manusia, para pekerja, baik orang rantai ataupun pekerja kontrak.
Dengan kata lain, “Di Balik Batu” berhasil melepaskan diri dari memori kolektif masyarakat Kota Solok yang cenderung mengabaikan asal-usul dan proses produksi batubara di lubang-lubang gelap tamban Ombilin, sekaligus menghancurkan sifat bawaan memori kolektif yang maunya mengisolasi diri dari memori kolektif di kawasan lain.
Dalam “Di Balik Batu” kawasan penyangga seperti Stasiun Kota Solok, bukan lagi sekedar daerah perlintasan kereta api batubara yang konon membawa kemajuan itu. Lebih dari itu, “Di Balik Batu” melihat kawasan penyangga sebagai bagian integral, bagian tak terpisahkan, dari sistem eksploitasi kolonial. Ia tak lagi berkisah soal romantisme kereta api atau mempromosikan mooi indie, tapi soal penindasan dan penghisapan oleh kolonialisme yang sistemik, menyeluruh–sama sekali tidak parsial dan bersifat lokal.
Karya seperti ini, dan beberapa karya senada di Kaba Rupa, tak mungkin lahir tanpa adanya narasi sejarah dari bawah yang diproduksi dengan gencar di Sawahlunto. Sejak awal 2000-an, bahkan jauh sebelumnya, warga lokal Sawahlunto, terutama warga keturunan orang rantai, telah mulai membangun sejarah dari bawah.
Mereka mewawancarai para orang tua saksi sejarah dan yang pernah bersentuhan dengan orang rantai. Mereka menghimpun pengetahuan soal bagaimana orang rantai diperlakukan dengan tidak manusiawi, dst. Mereka memetakan narasumber dan titik-titik bersejarah, lalu dengan cekatan menjadi pemandu bagi para peneliti dari kampus-kampus. Mengingat pengetahuan mereka yang rinci dan detail, para pemandu ini sebetulnya telah mengambil peran sebagai asisten peneliti.
Mereka juga mengumpulkan arsip berupa foto-foto para orang rantai lengkap dengan nama dan suku, arsip berupa artefak rantai tangan dan rantai kaki serta kalah besi untuk leher yang beratnya mencapai 10 KG, atau artefak berupa nisan orang rantai yang hanya diberi angka registrasi bukan nama si orang rantai.
Semua mereka tampilkan di museum-museum pemerintah di Sawahlunto, dengan display yang diatur sedemikian rupa guna menghadirkan narasi orang rantai sebagai narasi utama di ruang museum. Ini belum termasuk puluhan publikasi, mural, serta patung dengan narasi orang rantai.
Saat berkunjung ke Museum Goedang Ransoem dalam suatu penelitian untuk Galanggang Arang 2023, saya bahkan menyaksikan “Pameran Carito Ombilin” yang digelar di salah satu ruangan di kompleks Museum Goedang Ransoem. Pameran ini berisi ragam konten sejarah yang ditulis serta dituturkan sendiri oleh para keturunan orang rantai. Seperangkat rantai bekas orang rantai, juga dipajang di bagian utama ruang pameran. Kurator, peneliti, dan panitia pameran, semua berasal dari warga lokal.
(Pameran Carito dari Ombilin)
Narasi orang rantai pun jadi narasi dominan di museum-museum pemerintah Sawahlunto serta di berbagai tulisan mulai dari feature ringan hingga penelitian yang serius. Mereka telah berhasil mengenyahkan narasi bikinan kolonial soal orang rantai yang dilabeli sebagai orang hukuman, para kriminal dan perusuh. Kini, dalam narasi sejarah dari bawah yang mereka bangun, orang rantai hadir sebagai orang-orang yang dipenjara karena membangkan dan menenentang berbagai kebijakan pemerintah kolonial.
Lewat sejarah dari bawah pula mereka memanusiakan kembali orang rantai yang telah didehumanisasi dengan demikian keji oleh kolonialisme.
Lagi-lagi, sejarah dari bawah di Sawahlunto, disadari atau tidak, merupakan hasil dari penerapan 4 Pertanyaan Bernstein. Narasi sejarahnya berisi soal apa yang dimiliki orang rantai, apa yang mereka kerjakan dan dapatkan, serta kemana perginya hasil kerja mereka. Soal keuntungan kolonial selama mengeksploitasi batubara di Sawahlunto, serta persoalan mengenai sistem pengupahan yang curan, kini tengah mengemuka di Sawahlunto. Sebuah kelompok yang menyebut dirinya Sedulur Sekapal, tengah mempersiapkan surat untuk pemerintah Belanda yang isinya menuntut kompensasi atas kecurangan pengupahan serta menuntut dikembalikannya keuntungan industri tambang yang dulu dibawa kabur ke Belanda.
Sawahlunto kini menyediakan sumber sejarah yang sangat kaya untuk digunakan para peneliti profesional dari lembaga atau kampus, peneliti independen, atau para jurnalis. Dan dengan menangnya narasi sejarah dari bawah di Sawahlunto, hasil-hasil penelitian dan publikasi jurnalistik juga bisa tampil secara lebih kaya, berwarna, segar, dan mengandung semangat dekolonial. (*)
Tulisan ini adalah Bagian Pertama dari rangkaian tulisan yang saya kembangkan dari materi tentang Arsip dan Pengarsipan Warga yang saya susun untuk FGD Penguatan Ekosistem Kebudayaan di Desa-desa Kawasan Warisan Dunia, di Rumah Gadang Sumpur, 31 Juli 2024.
Foto sampul: Kereta api melintas di jembatan di Lembah Anai. (htpps://digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Catatan Kaki:
[1] Buku ini pertama kali terbit pada 1962.
[2] Untuk diskusi soal ini lihat Esterino Adami (2018). Railway Discourse: Linguistic and Stylistic Representations of the Train in the Anglophone World. Cambridge Scholars Publishing: New Castle.
[3] Tentang Diferensiasi Kelas dan 4 Pertanyaaan Bernstein, silakan lihat Henry Bernstein, Dinamika Kelas dalam Perubahan Agraria,Edisi Revisi. (2019).
[4] Gajah Maharam Photography, Ingatan Kolektif Stasiun Kereta Api Solok. 2024.
Rujukan:
Aldcroft. D. (1992). “The Railway Age” dalam New Direction of Social Economic and Social History Vol II. The McMillan Press: London. Hal. 64.81.
Bernstein, Henry. (2019). Dinamika Kelas dalam Perubahan Agraria, Edisi Resvisi. Insist Perss: Yogyakarta.
Dan Bogart and Latika Chaudhary (2011). Railways in Colonial India: An Economic Achievement?.
Hobsbawm, Eric (1996). The Age of Revolution: 1789-1848. Vintage Books: New York.
Budiawan, (ed). (2015). Memori dan Sejarah: Titik Simpang dan Titik Temu. Ombak: Yogyakarta