Arsip foto digital dari masa kolonial, kini jadi salah satu tulang punggung narasi WTBOS. Hal ini sudah tampak sejak malam pembukaan Galanggang Arang pada 2023 lalu. Salah satu ruangan di venue pembukaan Galanggang Arang, dijadikan tempat khusus untuk memajang arsip-arsip foto digital. Foto-foto yang dikurasi oleh suatu tim riset ini, umumnya menampilkan kecanggihan teknologi perkeretaapian di sepanjang kawasan WTBOS serta kemajuan teknologi pertambangan di Sawahlunto.
Tanpa penjelasan selaian keterangan sumber foto serta tahun dan lokasi foto diambil, arsip-arsip foto digital ini dibiarkan bicara sendiri. Tapi suara siapa yang muncul dari dalam kumpulan foto itu? Jawabannya jelas: suara kolonial.
(Pameran Arsip Digital WTBOS di malam pembukaan Galanggang Arang 2023)
Rasanya tak perlu dikatakan lagi bahwa foto adalah satu satu medium paling efektif untuk menyampaikan pesan dan menanamkan cara pandang atau pola pikir tertentu. Sebagai sumber sejarah, posisinya juga sangat penting: ia adalah sumber primer, berisi rekaman data dari tangan pertama yang kaya akan informasi.
Tapi, sekali lagi, ia tak bisa dibiarkan bicara sendiri karena sudut pandang, gagasan, serta suaranya, hanya mewakili pihak kolonial. Sebabnya jelas, perkakas untuk memotret pada masa itu, dikuasai oleh kolonial. Sementara si terjajah, yang tak punya kuasa atas perkakas itu, suara dan sudut pandangnya direduksi dan dimanupulasi sedemikian rupa oleh kolonial. Bagaimana si terjajah ditampilkan dalam arsip-arsip foto digital itu, sepenuhnya ditentukan dan dikontrol oleh para fotografer kolinial.
Di saat bersamaan, jika ingin menampilkan atau mengkonstruksi masa lalu kolonial Indonesia lewat media visual, tak ada pilihan lain kecuali menggunakan arsi-arsip foto digital yang penuh bias itu. Tapi kondisi ini tidak selamanya membuat orang terpaksa mengikuti dan akhirnya mereproduksi dan menyebarkan cara pandang kolonial.
Karenanya, arsip-arsip foto digital dari masa kolonial itu penting untuk “diarsipkan ulang.” Dan proses kurasi punya peran sentral dalam “pengarsipan ulang” ini.
Adalah Jean German Taylor, yang secara tidak langsung, menganjurkan cara di atas ketika hendak memanfaatkan sehimpun arsip foto kolonial untuk merekonstruksi sejarah Aceh. Dalam esai panjangnya,Aceh: Narasi Foto, 1873-1930, ia memanfaatkan arsip-arsip visual berupa foto di KITLV, yang telah dikurasinya.
Dan dengan menempatkan arsip-arsip foto itu dalam konteks sejarah Aceh dan Hindia Belanda, ia membangun narasi sejarah yang lebih komprehensif. Suatu kajian sejarah yang tidak hanya berhasil menyaring narasi kolonial, namun juga menampilkan perspektif penduduk Aceh sendiri. Mulai dari masa-masa sesaat setelah kolonialisme masuk ke sana dan dampak-dampaknya, seperti desa-desa yang tak lagi tentram, hutan-hutan yang digunduli untuk perkebunan, jalan raya, dan kereta api. Disusul Perang Aceh yang brutal, masa-masa pendudukan Jepang, sampai pada era kemerdekaan ketika Aceh tak betul-betul berhenti sebagai ajang perang dengan berbagai sebab dan aktor yang berbeda.
Lewat analisa arsip-arsip foto dengan cara itu, Jean menarik kesimpulan bahwa, sejarah perlawanan Aceh yang panjang terhadap berbagai jenis kekuasan dari luar Aceh sangat terkait dengan ‘telatnya’ kawasan itu ditundukkan oleh Belanda yang menyebabkan masyarakatnya “tidak punya banyak waktu untuk berkenalan dengan Belanda atau dengan masyarakat terjajah lainnya di Hindia Belanda.” Begitupun dalam masa pendudukan Jepang yang singkat dan masa-masa revolusi yang mengikutinya. Masyarakat Aceh, kesulitan menerima otoritas di luar diri mereka sebagai pemimpinnya, baik itu organisasi maupun pemerintahan Indonesia sendiri.
Arsip Foto Bukan Entitas Netral: Ia Politis!
Dalam esai tersebut, Jean juga menjelaskan metode yang ia pakai untuk mendekati foto-foto tersebut. Pertama-tama, ia mendudukkan pemahaman soal apa itu foto. “Foto adalah catatan yang direkayasa secara canggih,” katanya, “hasil dari hubungan sekilas antara orang yang difoto dengan juru foto.” Sebagai sumber sejarah, foto dapat dimanipulasi melalui seleksi, seperti halnya dengan sumber-sumber lain.
Berangkat dari pemahaman itu, ia mengingatkan betapa pentingnya untuk tidak membiarkan arsip-arsip foto kolonial dibiarkan bicara sendiri. “Kumpulan foto masa kolonial dapat menimbulkan kesan dalam pikiran orang yang melihatnya, orang Timur itu tidak ada kaitan dengan [kemajuan] zaman dan kerjanya terbatas pada pekerjaan statis membuat kerajinan tangan, dibandingkan dengan orang Barat yang dinamis dan menguasai seluk beluk mesin uap”[1].
Meski begitu, seperti telah ditunjukkannya, arsip visual yang diproduksi oleh kolonial sekalipun bisa digunakan untuk memahami masa lalu. Namun ia menggarisbawahi satu hal terkait penggunaan arsip visual produksi kolonial. Masih kata Jean, semua foto memerlukan konteks untuk menjelaskan dan menafsirkannya.[2]
Soal inilah yang akan kita bahas dan coba praktekkan suatu saat nanti. Yaitu kurasi serta pemberian konteks atas suatu arsip foto atau sehimpun arsip foto: inilah yang saya sebut sebagai “pengarsipan ulang.”
Jika arsip-arsip visual masa kolonial dibiarkan ‘bicara apa adanya,’ salah satu dampaknya, kembali mengutip paragraf-paragraf awal tadi, adalah tertanamnya rasa rendah diri ke orang jajahan.
Begitulah arsip visual. Ibarat pisau, ia punya dua mata yang sama tajamnya. Kini semua tergantung siapa yang memegang tangkai pisau itu dan bagaimana cara memegangnya dan menggunakannya dengan tepat dan efisien.
Mengkurasi = Aksi Politis
Saat ini jumlah arsip foto digital terkait WTBOS dari masa kolonial, tersebar demikian banyak. Setidaknya ada 5 situs yang menyediakan arsip-arsip foto secara online dan bisa diunduh secara gratis:
- https://www.rijksmuseum.nl
- https://www.collectienederland.nl/
- https://collectie.wereldculturen.nl
- htpps://digitalcollections.universiteitleiden.nl
- https://www.delpher.nl
Di situs-situs itu, bisa ditemukan sejumlah arsip foto digital tentang kawasan penyangga WTBOS. Dengan kata kunci yang tepat, kita bisa temukan sehimpun data visual mengenai misalnya Stasiun Kacang di Kab Solok. Sejauh penelusuran saya, arsip-arsip foto ini sebagian besarnya, memang seperti dikatakan Jean ditujukan untuk menimbulkan rasa rendah diri orang jajahan di hadapan penjajah yang superior. Tapi penting untuk diingat, bahwa himpunan arsip itu adalah hasil kurasi suatu tim. Tim yang sadar atau tidak, telah memilih berapa dari sekian banyak foto untuk didigitalisasi dan disebarkan melalui situs-situs tersebut. Artinya, mereka tidak hanya mendigitalisasi arsip, namun juga ingin menyebarkan gagasan atau cara pikir tertentu. Seperti akan ditunjukkan di bagian bawah nanti, proses kurasi dan latar belakang sosial si pengkurasi akan menentukan hasil kurasinya dan dengan demikian menentukan narasi yang ingin ia sampaikan dan sebarkan.
Karena kegiatan mengkurasi punya posisi penting dalam pengarsipan dan penyebarannya, maka kita akan mulai pembahasan terkait kurasi. Bagaimana orang mengkurasi, akan menentukan pesan yang ingin disampaikan arsip-arsip visual, baik di ruang pameran, mau pun di ruang digital.
Foto-foto dari masa kolonial WTBOS yang beredar di sepanjang gelaran Galanggang Arang, tahun ini dan tahun lalu, adalah hasil kurasi. Di Galanggang Arang #6 Tanah Datar misalnya, sebuah bekas gudang di stasiun Sumpur diaktivasi jadi ruang publik berupa galeri pameran arsip foto digital. Beberapa arsip foto tentang WTB0S dipajang. Modernitas, kemajuan: itulah benang merah yang menghubungkan hampir semua arsip foto.
Begitu juga misalnya dengan “Pameran Memori Kolektif” di Galanggang Arang #7 Kab. Solok. Pesannya sama. Hanya saja, pameran ini menambahkan narasi berisi penilaian atau kenangan masyarakat setempat atas objek-objek dalam arsip-arsip foto tersebut; trivia seputar teknologi perkeretaapian; serta mencakup periode setelah nasionalisasi kereta api khusus untuk foto arsip mengenai Stasiun Singkarak.
Saya pun memanfaatkan arsip-arsip foto digital sebagai cover artikel-artikel di omiblinheritage.id. Dari sekian banyak foto, sebagian besarnya saya himpun dari buku-buku masa kolonial yang telah didigitalisasi dan belum begitu sering muncul alias masih segar. Saya lalu memilih beberapa untuk dijadikan cover, sesuai isi tulisan. Selain untuk memperkuat artikel, foto-foto itu saya anggap penting untuk dilihat orang banyak atau dikoleksi para penggemar foto-foto masa kolonial. Dengan begitu, pikir saya, satu lagi dan satu lagi, sumber sejarah baru terus terbuka.
Tiga kegiatan di atas punya satu kesamaan, yaitu kurasi. Di balik pameran dan arsip-arsip foto di artikel omblinheritage.id, ada seorang kurator yang menyeleksi dan memilih satu atau sepuluh dari ratusan arsip untuk ditampilkan. Di saat yang sama, ia mengenyampingkan arsip-arsip foto lainnya.
Praktek kurasi seperti ini adalah tindakan politik. Dengan memilih satu foto dan menyingkirkan foto lain, disadari atau tidak, si kurator hendak menyampaikan gagasan tertentu dengan memilih arsip yang sejalan dengan kepentingannya sembari mengabaikan arsip lainnya. Ada gagasan yang ia ingin orang lain bersetuju dengannya, dan kepentingan di sini, tak selamanya berarti negatif.
Saya sendiri melakukan hal yang sama, mengambil satu foto lalu mengabaikan yang lainnya. Saya juga tidak sepenuhnya anti dengan segala yang berbau kereta api zaman kolonial. Selain bicara kemajuan, kita juga bisa bicara soal aksi-aksi mogok buruh kereta api masa kolonial, atau aksi sabotase terhadap rel dan isi gerbong kereta api. Lagipula, kita sebetulnya belum bisa menerima sepenuhnya atau pun menolak mati-matian tesis ‘kemajuan dibawa kereta api’ sebelum adanya kajian sejarah yang serius atas topik tersebut. Bagaimana pun, kita boleh meragukannya. Karena itu saya pernah putuskan untuk menjadikan foto rel kereta api yang disabotase di Padang Sibusuk sebagai cover di salah satu tulisan yang intinya berkisah soal bagaimana masyarakat lokal menolak modernitas kolonial dan coba mengajukan modernitas/kemajuan yang berpihak pada mereka.
Meski begitu, meski setiap kurator punya kehendaknya sendiri-sendiri, di belakang praktek kurasi ada sejumlah faktor yang mempengaruhi cara si kurator ketika melakukan kurasi dan hasil akhir kurasinya. Latar belakang sosial adalah salah satunya. Penulis belakang meja yang minim sumber daya, seperti saya, misalnya, hanya bisa bergantung ke situs-situs penyedia arsip foto digital atau arsip berbentuk buku berisi foto-foto di situs-situs di atas tadi. Arsip-arsip yang sudah dikurasi oleh orang lain itu, kini harus saya kurasi lagi. Saya hanya bisa mengkurasi sumber-sumber yang terbatas yang telah dikurasi sebelumnya.
Di saat yang sama, saya tak punya akses dan sumber daya untuk datang langsung ke pusat-pusat arsip di dalam dan luar negeri, dimana tersimpan himpunan arsip foto yang jumlahnya sangat melimpah yang kemungkinan besar ada yang menampilkan sudut pandang orang jajahan. Arsip-arsip terbatas itulah tempat saya bergantung. Begitupun para pengkurasi foto lainnya di sepanjang dua tahun gelaran Galanggang Arang ini.
Latar sosial dan sejarah juga berpengaruh dalam proses kurasi. Ini terlihat dari arsip foto hasil kurasi para pengkurasi foto yang ditampilkan di sepanjang Galanggang Arang 2023-2024. Apa yang tidak ada dalam arsip-arsip foto sepanjang Galanggang Arang ialah sudut pandang orang jajahan, suara warga terjajah itu sendiri, baik di Sawahlunto maupun di Nagari-nagari kawasan penyangga WTBOS.
Setelah melihat beberapa pameran arsip foto masa kolonial, maupun pameran foto masa kini tentang WTBOS yang suatu saat akan menjadi arsip, pengkurasi dan sebagian besar pengkarya jelas memiliki jarak dengan latar sosial dan sejarah masyarakat yang spesifik di sepanjang kawasan WTBOS. Saat mengkurasi arsip-arsip foto dari masa kolonial, seperti telah disinggung di atas, yang lebih mengemuka ialah gagasan soal ‘tambang, kereta api, dan kemajuan.’
Bagaimana sesungguhnya pandangan masyarakat lokal terhadap kereta api yang memukau itu? Betulkah benda abad uap itu demikian menyihir dan memukau kawula jajahan? Kenapa para pengkurasi arsip foto di Galanggang Arang demikian percaya diri memilih arsip foto tertentu seolah rakyat badarai punya pikiran yang sama? Yang lebih penting, bagaimana menghadirkan perspektif lokal yang tidak a-historis lewat foto.
Sekali Lagi, Berkaca ke Sawahlunto
Lagi-lagi, kita harus berkaca ke Sawahlunto untuk membayangkan jawabannya. Di Galanggang Arang #3 Sawahlunto 2024 lalu, digelar pameran foto terkini tentang berbagai OPK serta beberapa situs WTBOS. Hasilnya ialah foto-foto terkini namun terlepas dari konteks sejarahnya.
Meski para pengkarya berupaya memberi teks sejarah sebagai ‘caption’ foto, tapi narasi sejarahnya sangat mengambang dan kelewat ‘netral’, bahkan para pengkarya seperti fotografer tamu Angeligue Maria Cuaca, terkesan mengabaikan kayanya referensi sejarah tentang Sawahlunto yang berarti mengenyahkan narasi kelas pekerja dan munculnya ragam bentuk seni so-called multikulturalisme, dalam foto-fotonya.
(Foto Karya Fotografer Tamu Angelique Maria Cuaca tentang Doa dan Mantra. Sumber foto: IG Galanggang Arang)
Akibatnya, saat bicara multikulturalisme Sawahlunto, foto-foto itu melepaskan konteks sejarah lahirnya multikulturalisme itu sendiri, yaitu penjajahan dan eksploitasi manusia. Sehingga multikulturalisme yang ditampilkan adalah mulitkulturalisme yang a-historis dan berpretensi menimbulkan kesan bahwa multikulturalisme itu sebagai ‘dampak baik’ kehadiran industri tambang dan jaringan kereta api.’
Seperti foto di atas, saat membahas tradisi doa dan mantra di Sawahlunto, Angelique hanya menghadirkan doa dan mantra sebagai ritual sebelum pertunjukan Jaran Kepang. Narasi ini tidak hanya parsial, namun secara tdiak langsung juga menguatkan stereotype akan timur yang salamanya penuh takhayul. Padahal, doa dan mantra di Sawahlunto tumbuh dan berkembang dalam konteks sejarah yang spesifik. Di masa lalu, fungsi utama jimat dan mantra di kalangan orang rantai, adalah manisfestasi dari kerasnya kehidupan di tambang, mulai dari pertentangan dengan etnis-etnis lain di masa-masa awal penambangan hingga brutalitas para mandor. Dalam kalimat lain, jimat dan mantra adalah produk dari situasi yang bersifat material–ia bukan hanya soal takhayul.
Sekali lagi ini menunjukkan betapa latar sosial dan historis sengan berpengaruh dalam praktek kurasi yang akhirnya membentuk wacana atau gagasan dari suatu pameran foto. Angelique tak mengalami apa yang dialami keturunan orang rantai, di saat yang sama tak punya kehendak untuk memahami lebih jauh latar historis objek fotonya. Ada jurang besar di sana, yang dalam kasus tertentu bisa diatasi dengan riset namun diabaikan mungkin karena si pengkarya merasa ‘gelasnya sudah penuh’.
Di Museum Tambang Batu Bara Ombilin, yang dimiliki dan dikelola oleh PT BA, koleksi musuemnya didominasi oleh alat-alat pertambangan pada masa kolonial hingga 19880-an. Alat-alat itu ditampilkan sebagai yang tercanggih di jamannya dan kenyaataannya memang begitu. Dan memang gagasan besar yang ingin disampaikan museum itu ialah peran besar industri pertambangan kolonial dalam memajukan Sawahlunto alias repoduksi dari narasi kolonial. Saat memasuki museum ini, kita akan langsung dihadapkan pada dua foto besar Izjerman sang Kepala Tambang dan De Greeve sang penemu batubara. Beberapa foto besar yang menampilkan megahnya bangunan-bangunan masa kolonial setelah berdirinya tambang, juga dipampangkan di bagian yang strategis. Semua dilengkapi narasi, yang lagi-lagi memberitahu jasa-jasa kolonial dalam memajukan Sawahlunto.
(Foto ruangan depan Museum Tambang Ombilin Sawahlunto)
Di sini sama sekali tak ada narasi soal pekerja tambang. Walau ada beberapa foto pekerja tambang, tapi kurator museum ini memilih arsip foto para pekerja tambang berbadan sehat dengan equipment yang lengkap, yang menjamin keselamatan si pekerja. Tampaknya foto-foto ini adalah, seperti dikatakan Jean, secama hasil rekayasa. Dengan tujuan akhir ingin menyampaikan betapa sejahtera dan amannya para pekerja tambang.
Namun semuanya akan terbalik 180% jika kita berkunjung ke museum-museum pemerintah di Sawahlunto. Di sini kita akan temui praktek kurasi yang sama sekali berbeda. Para ‘kurator’ di museum-museum ini, terutama di galeri Pusat Informasi Loebang Tambang Mbah Soero atau Museum Lubang Tambang Mbah Soero, adalah para sejarawan publik yang sebagian besar berasal dari keluarga keturunan orang rantai. Sejak 1970-an, mereka telah mulai membangun narasi sejarahnya sendiri untuk menghalau stigma orang rantai. Saat museum-museum di Sawahlunto bermunculan di awal 2000-an, mereka segera menjadi pekerja di sana. Bersama para sarjana yang simpatik dengan perjuangan mereka membangun narasi dari bawah, mereka menjadikan museum-museum itu sebagai wahana untuk menyebarkan narasi yang mereka bangun sejak lama. Dan arsip foto adalah salah satu medium utama yang mereka pilih.
Dengan pendanaan dari pemerintah, pengelola museum bisa menerbangkan salah satu kurator ke pusat arsip di Jakarta dan Belanda. Dibantu para peneliti sejarah profesional, hasilnya adalah koleksi arsip foto digital yang sama sekali berbeda. Kini di samping foto-foto kereta api dan tambang, berjejer arsip-arsip foto yang menampilkan kehidupan sehari-hari warga di Silungkang dan sekitarnya seperti foto aktivitas buru babi. Jejeran foto ini terdapat di lantai dua museum yang terbagi atas beberapa panel lengkap dengan narasinya. Panel-panel itu adalah time-line sejarah Kota Sawahlunto.
Panel-panel pertama tidak berisi foto-foto tentang upaya pertama pembukaan tambang, sebagaimana lazim ditemui di pameran foto WTBOS di luar museum, bahkan dalam suatu karya visual mapping yang berisi timeline sejarah Sawahlunto yang dimulai dari penemuan batubara oleh De Greeve di malam pembukaan Galanggang Arang 2023.
Para sejarawan lokal dari kawasan tangsi melihat sejarah mereka sendiri dengan cara berbeda. Panel-panel pertama di lantai dua Museum Mbah Soero berisi arsip-arsip foto bentang alam dan aktivitas warga di Silungkang dan Talawi. Setelah itu barulah kita temui panel-panel foto tentang tambang, kereta api, dan Kota Sawahlunto sendiri. Maksudnya jelas. Si kurator yang juga merangkap arthandler, memilih foto-foto keseharian warga dan meletakkannya di bagian awal ‘sejarah Sawahlunto’ untuk memperlihatkan bahwa Sawahlunto bukanlah lahan kosong dan liar sebelum De Greeve ‘menemukan’ deposit batubara dan berdirinya tambang serta kota. Sebaliknya, pemilihan foto dan posisinya itu ingin mengatakan bahwa sebelum pembukaan tambang, rel kereta api, dan kemudian kota, kawasan itu adalah suatu kawasan budaya, dengan warganya yang punya sistem sosial dan budaya sendiri.
Arsip-arsip foto-foto ‘daily life’ itu sebagiannya mereka ambil langsung dari Belanda, bukan dari situs-situs arsip digital. Begitu juga koleksi foto lainnya, yang dalam taraf tertentu adalah pencapaian luar biasa, yang terpajang di galeri utama Musuem Lobang Tambang Mbah Soero.
Begitu kita memasuki galeri utama di lantai bawah itu, dan memang setiap pengunjung dipandu masuk ke galeri ini sebelum dibawa menjelajah ke dalam lubang tambang, perhatian kita akan langsung tertuju pada 4 foto yang dicetak lebih besar dibanding foto-foto lainnya. 3 foto itu ialah foto orang rantai lengkap dengan nama dan suku. Orang rantai yang oleh penjajah Belanda hanya dianggap angka, hingga mati pun nisannya hanya diberi angka bukan nama, kini dihadirkan kembali sebagai manusia lewat foto-foto itu. Bahwa mereka sama seperti kita, punya nama dan suku. Pemilihan foto orang rantai yang berasal dari Minang, jelas dimaksudkan agar orang tahu bahwa eksploitasi manusia oleh kolonial tidak pandang suku dan etnis: tak hanya orang Jawa yang menjadi korban, orang Minang pun demikian.
(Galeri Utama Museum Lubang Tambang Mbah Soero: dokumentasi pribadi)
Arsip foto itu juga dilengkapi narasi yang agak provokatif. Pertanyaan di atas foto “Siapakah yang dimaksud pekerja tambang ini?” dijawab di bagian samping foto. Isinya menekankan bahwa Sawahlunto tak akan ada tanpa para pekerja paksa, dan bahwa para pekerja paksa itu bukanlah kriminal seperti dikatakan Belanda; sebaliknya mereka adalah orang-orang yang tak mau tunduk pada aturan kolonial yang menindas, mereka adalah semacam korban kriminalisasi.
(Arsip Foto Orang Rantai Lengkap dengan Nama, Suku, Kampung)
Pesan soal ‘korban eksploitasi tambang tidak mengenal etnis’ kembali muncul ketika kita melihat foto-foto di dalam kotak kaca yang ditaruh di tengah-tengah galeri. Foto-foto ini memperlihatkan orang-orang Papua yang hendak diangkut ke Ombilin. Mereka tampak dipaksa jongkok, di bawah todongan senapan tiga orang Eropa berpakaian putih yang tampak bergaya, bangga, dan demikian menikmati momen tersebut–seperti para pemburu yang tengah memamerkan hasil buruannya.
(Arsip Foto di Museum Lubang Tambang Mbah Soero. Dokumentasi Pribadi)
Demikian pula dengan koleksi arsip foto di Museum Goedang Ransoem. Di sini, salah satu foto arsip yang dicetak dalam ukuran sangat besar, memperlihatkan para anak-anak yang bekerja di dapur umum tersebut. Juga ada foto yang memperlihatkan bagaimana para perempuan dan anak-anak antri untuk mengambil makanan. Isu pekerja anak dan hubungan tuan-budak antara pengantri makanan dan pemilik makanan, begitu kentara.
(Arsip Foto di Museum Goedang Ransoem)
Begitulah sudut pandang atau suara warga dihadirkan dalam koleksi arsip foto lewat kurasi dan tata letak oleh warga sendiri. Bahwa warga sudah punya kehidupan dan kebudayaan sebelum dimulainya abad uap di Sumbar dan munculnya Kota Sawahlunto yang tersohor namun dibangun di atas diskriminasi dan penindasan; bahwa orang rantai juga manusia yang memiliki nama dan ‘basuku’; bahwa siapa saja kecuali orang-orang dari lapisan atas bisa menjadi korban ganasnya industri tambang kolonial tanpa pandang suku dan agama; dan bahwa kolonialisme bisa melakukan apa saja demi memenuhi tujuannya, termasuk mengeksploitasi anak.
Dan praktek kurasi macam itu, jelas berkaitan dengan latar sosial dan sejarah para ‘kurator’ lokal itu. Mereka memiliki cara pandang sendiri atas sejarahnya sendiri, yang terabaikan oleh para pengkurasi pameran arsip foto dan pameran foto kontemporer WTBOS sebab mereka berasal dari latar sosial dan sejarah yang berbeda.
Padahal sebagai foto-foto itu, termasuk orang Papua yang hendak diangkut ke Ombilin, sebetulnya ada di situs arsip digital Universitas Leiden: htpps://digitalcollections.universiteitleiden.nl. Tapi koleksi ini sama sekali tidak muncul di berbagai pameran Galanggang Arang. Ini adalah fakta keras yang menunjukkan betapa berpengaruhnya latar sosial dan historis dalam proses kurasi.
Membangun Pusat Arsip Sendiri
Sudut-sudut Sawahlunto kini penuh dengan narasi sejarah dari bawah, terlebih di kawasan tangsi. Narasi itu jauh dari kata memuja tambang dan kereta api, sebaliknya ia adalah tatapan sinis kepada apa yang bagi orang lain dianggap modernitas. Narasi WTBOS di Sawahlunto pun menjadi makin kaya. Tak ada narasi tunggal. Yang ada ialah kontestasi narasi yang sejauh ini berjalan dengan sehat.
(Mural di Salah Satu Tembok di Kawasan Tangsi. Dokumentasi Pribadi)
Bayangkan jika tiap-tiap Nagari di kawasan penyangga punya satu saja museum atau pusat informasi serupa itu. Jika saja 22 Nagari di kawasan penyangga WTBOS yang tergabung dalam Program Desa Budaya punya pusat arsip seperti di Sawahlunto, atau satu pusat arsip bersama, pastilah muncul berbagai kisah segar. Narasi sejarah di tiap Nagari, jika benar-benar dibangun dari bawah, pastilah amat beragam. Akan tersedia sehimpun data di pusat dokumentasi, yang bisa jadi pijakan untuk penelitian ilmiah dengan berbagai topik yang akan memproduksi narasi baru lagi. Akan tersedia pula segudang data dan narasi bagi para seniman untuk mereka olah menjadi beragam karya dengan topik yang beragam pula. Pusat arsip/dokumentasi seperti ini, bisa dibangun secara fisik bisa pula dalam bentuk situs di internet.
Namun, hingga kini narasi di kawasan penyangga WTBOS, seperti diulas di tulisan sebelumnya, sangat terbatas dan ditimba dari sumur memori kolektif yang disalahpahami sebagai realitas sejarah, yang ujungnya hanya berisi romantisme.
Semua bisa bertambah parah jika kita ingin mencari sumber lain seperti arsip foto. Dari penelusuran yang saya lakukan di 5 situs arsip digital, arsip foto kawasan penyangga cenderung terbatas jumlahnya dibanding zona inti WTBOS (kecuali kawasan penyangga yang terhitung penting secara ekonomi dan politik seperti Padangpanjang). Arsip-arsip foto itupun hanya ingin menegaskan superioritas Eropa dengan segala teknologi canggihnya sembari menanamkan rasa inferior, rasa rendah diri yang luar biasa, pada orang jajahan.
Mengarsip Ulang Foto-foto Kolonial
Tapi, untuk saat ini, kita tidak punya jalan lain. Arsip-arsip foto itu mesti dimanfaatkan sebagai sumber sejarah demi memperkaya narasi WTBOS di kawasan penyangga, membangun lebih banyak narasi sejarah dari bawah. Lantas bagaimana memperlakukan arsip-arsip foto tersebut agar sesuai dengan tujuan di atas? Agar kita tak terjebak pada eksotika semata, dan lebih parah lagi romantisme kolonialisme belaka?
Tapi kita bisa mengarsip ulang foto-foto tersebut. Fotonya kita ambil sebagai arsip, tapi substansinya kita sendiri yang isi. Ini bukan bentuk kesewenang-wenangan, melainkan hak kita. Hak bekas bangsa terjajah untuk menyuarakan apa yang sesungguhnya ia rasakan yang selama pemerintahan kolonial tidak diberi ruang. Dengan demikian, akan terlahir korpus arsip foto baru. Ia bukan sekedar reproduksi dari arsip foto digital sebelumnya: ia adalah pelurusan sekaligus pembaruan.
Ada beberapa cara yang bisa dicoba dalam mengarsip ulang foto-foto kolonial.
Pertama, memberi arsip-arsip foto itu cerita atau narasi, yang betul-betul berangkat dari bawah. Arsip foto digital, seperti telah disinggung di atas, adalah hasil kurasi seseorang atau tim. Ia sengaja dipampangkan begitu saja seolah-seolah arsip foto itu sifatnya netral. Padahal, ia punya pesan tertentu, yaitu gagasan soal kolonialisme dan modernitas. Membiarkan arsip foto digital ‘bicara apa adanya’ sama artinya dengan mengaminkan narasi bikinin kolonial.
Karena itu, penting untuk ‘mengawalnya’ dengan narasi, sekali lagi narasi yang betul-betul datang dari bawah. Dan salah satu bentuknya adalah cerita-cerita rakyat, cerita yang terus diturunkan dari generasi sebelumnya. Cerita yang punya daya tahan lama ini, lazimnya mengandung pesan penting.
Mari kita ujicoba lewat foto di bawah ini:
(Sosialisasi soal Keamanan Transportasi Kereta Api. Sumber KITVL)
Foto di atas adalah foto di Stasiun Padang Panjang antara 1933-1935. Pesannya jelas terpampang. Bahwa kereta api adalah alat transportasi paling maju, dan karena itu ia menjadi paling aman. Pesan yang disampaikan foto di atas, akan makin kuat ketika kita lihat arsip foto lainnya. Misalnya foto lokomotif melintasi sebuah jembatan di Lembah Anai pada 1890 seperti foto di bawah. Dari pemilihan sudutnya, si fotografer jelas ingin memperlihatkan betapa besi-besi kokoh itu, teknologi mereka itu, telah berhasil menaklukkan alam, menaklukkan sungai. Foto-foto sejenis yang diambil di Lembah Anai, juga ingin mengatakan hal serupa bahwa alam telah ditaklukkan, Lembah Anai yang curam dan terjal kini bisa dilalui dengan aman.
Tapi cerita rakyat yang terus hidup di Padang Panjang mengisahkan hal sebaliknya. Kecelakaan kereta api pada 1944, begitu membekas dan terus diceritakan. Sastrawan AA Navis kemudian menjadikannya sebagai latar bagi cerpennya berjudul ‘Penolong.’ Navis yang tumbuh besar di Padangpanjang, menggambarkan dengan begitu hidup cerita itu dalam cerpennya. Betapa berbahayanya turunan Silaiang Kariang di kala hujan. Licin rel, degup jantung penumpang, dan bau hangus rel yang beradu dengan roda besi yang megerem. Kereta api dan rel-nya dan jembatan besinya, belum sepenuhnya berhasil menaklukkan alam. Segala teknologi itu ada batasnya.
Demikianlah gambaran besar pandangan masyarakat atas teknologi bernama kereta api uap itu. Dan kecelakaan yang demikian terkenal dan membekas lama itu hanyalah puncak es. Beberapa koran berbahasa Belanda juga memuat beberapa berita kecelakaan kereta api, salah satunya di Stasiun Kayu Tanam pada 1920. Tapi koran-koran itu menekankan bahwa tidak ada korban jiwa dan bahwa kereta api tetaplah transportasi yang aman. Dari Mahatma Muhammad, salah satu kurator Galanggang Arang yang telah dua kali menjadikan Kayu Tanam sebagai titik festival yang diampunya, saya mendapat keterangan bahwa pola ketukan komposisi musik kureta mandaki juga merepresentasikan ketakutan para penumpang ketika kereta api dari Kayu Tanam mulai menanjak ke Lembah Anai. Dalam kemeriahan musikalnya, ternyata terselip keraguan akan kereta api. Jadi, kata Mahatma, yang mendapat keterangan itu dari para seniman pemain kureta mandaki, Komposisi Kureta Mandaki itu bukan perayaan atau sorak sorai melepas kereta mendaki, tapi juga keragu-raguan dan ketakutan akan keselamatan berkereta api.
Dengan menambahkan keterangan tentang batas-batas teknologi perkeretaapian untuk mendampingi arsip foto seperti kita contohkan di atas tadi, maka orang yang melihat arsip foto itu akan punya narasi lain untuk mereka pertimbangkan. Mereka tidak hanya mengkonsumsi narasi kolonial yang dititikkan dari atas, tapi juga narasi dari bawah untuk mereka jadikan perbandingan.
Cara kedua yang bisa dicoba adalah mendampingkan arsip-arsip foto sejenis dengan hasil kajian sejarah khusus tentang kereta api, tapi rasaya belum menungkinkan. Karya itu belum ada. Tapi cukup banyak karya sejarah yang bisa dikutip untuk memberi konteks arsip foto tersebut. Bisa dikatakan bahwa hampir setiap literatur tentang sejarah Sumatera Barat, Indonesia, dan Eropa, menempatkan kereta api sebagai alat penunjang eksploitasi kolonial, meski tidak semua literatur itu mengatakannya secara eksplisit, secara langsung. Dengan jaringan rel kereta api itulah hasil-hasil alam Hindia Belanda diangkut, dibawa ke luar. Setiap sejarawan yang waras, pastilah akan menjawab kalau jaringan rel kereta api lebih menguntungkan ekonomi kolonial.
Dan jika punya cukup banyak waktu luang, kita juga bisa memeriksa data-data sosial terkait kehadiran kereta api. Misalnya lewat artikel yang ditulis Arnold Willem Pieter (AWP) Verkerk Pistorius (artikel ini telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh sejarawan Novelia Musda di Garak.id. Baca di sini). Dua dekade sebelum Silungkang dilalui rel kereta api dan stasiunnya, Pistorius, mengunjungi Silungkang pada 1869. Ia mencatat bahwa Silungkang adalah suatu Nagari yang kaya, dengan tingkat biaya hidup yang tinggi. Ekonomi di sana mampu mengantarkan penduduknya naik haji ke Mekah, lalu pulang dan dengan bantuan orang-orang satu suku, mendirikan surau. Demikian kokohnya ekonomi lokal hingga mampu menyokong sebuah surau dengan ratusan murid. Surau itu dipimpin oleh Haji Muhammad atau Tuanku Syekh Silungkang. Pistorius juga mencatat bahwa di tak jauh dari Silungkang ia bertemu barisan panjang para rantauer’s dengan keranjang-keranjangnya yang berat serta para pengawal dengan klewang dan tombak. Meski ia tak menjelaskan bahwa para ‘orang dari rantau’ itu mereka sebetulnya adalah para pedagang, kita bisa tahu kalau Silungkang dilalui jalur dagang setapak, yang tampaknya menghubungkan pantai barat dan pantai timur Sumatera. Dalam beberapa catatan sejarah, kawasan ini juga dikenal sebagai penghasil tenun dengan benang emas yang tersohor.
Kini kita bandingkan dengan kondisi Silungkang setelah adanya rel kereta api dan tambang. Cukup banyak sumber soal ini. Studi Mestika Zed tentang pemberontakan Silungkang, misalnya, menunjukkan dengan jelas bahwa setelah kurang lebih 20 tahun dibukanya tambang di Ombilin dan dilaluinya Silungkang oleh kereta api, ekonomi lokal makin merosot. Harga beras melonjak tinggi. Para saudagar lokal merugi. Meski keadaan ini turut dipicu oleh krisis kapitalisme global, yang jelas kereta api dan tambang tak sanggup menyelamatkan Silungkang. Sebaliknya, di masa-masa paling sulit, fasilitas itu justru digunakan hanya untuk menyelamatkan industri tambang. Inilah yang mendorong pembajakan gerbong berisi beras yang terkenal itu.
Pembukaan tambang juga memicu lepasnya ulayat-ulayat di sekitar Silungkang yang membuat para saudagar, pandai besi, dan pengrajin yang menggantungkan diri pada hutan ulayat sebagai sumber daya murah, makin merosot secara ekonomi. Dengan beroperasinya jalur kereta ke arah pantai barat, jalur dagang ke pantai timur dibatasi Belanda. Terputuslah hubungan dengan dunia timur yang lebih menguntungkan secara ekonomi bagi para pedagan. Hari-hari Pakan tak lagi seramai sebelumnya. Terjadi krisis parah di tingkat lokal yang akhirnya berujung pada pecahnya pemberontakan di Silungkang dan di beberapa Nagari di sekitarnya.
Narasi seperti di atas bisa dijadikan pendamping bagi satu atau sekumpulan arsip foto digital. Tentu tiap Nagari akan mengalami dampak berbeda-beda, belum tentu sama dengan Silungkang. Mungkin kadarnya saja yang berbeda-beda.
Narasi lainnya lagi masih bisa ditambahkan. Keberadaan jalur kereta api di sepanjang kawasan penyangga, juga diikuti oleh munculnya berbagai sarekat. Mulai dari VSTP tentu saja, sampai sarekat-sarekat yang punya pandangangan politik radikal seperti Sarekat Rakyat. Beberapa laporan di koran-koran berbahasa Belanda pada awal-awal 1920-an, menyebut banyaknya anggota Sarekat yang terhubung dengan Partai Komunis di Nagari-nagari sepanjang kawasan penyangga. Salah satu yang paling dikenal ialah Pitalah, di mana aktivis perempuan Upiak Itam berasal dan mulai membangun gerakan anti-kolonial. [3]
Cara ketiga ada juga. Kita juga bisa membandingkan dua arsip foto. Teman-teman dari BPKW III sudah melakukannya di “Pameran Memori Kolektif WTBOS” di ajang Galanggang Arang #7 Kab Solok. Mereka menyandingkan dua foto dari satu objek WTBOS. Satu foto arsip dari masa kolonial, satu lagi foto lebih baru. Hanya saja, dua foto itu ditampilkan apa adanya, tanpa keterangan mendalam atau narasi seperti di atas tadi. Dan demi tujuan memperkaya narasi WTBOS, cara itu belum cukup. Kita harus mendorongnya lebih jauh.
Mengarsipkan foto dengan konsep ‘lain dulu lai sekarang’, sebetulnya bisa memberi banyak keterangan. Kita bisa mendapat berbagai gambaran dengan membandingkan dua foto kawasan tangsi–perumahan pekerja tambang. Satu foto dari tahun 1935, foto di bawahnya dari tahun 2000-an.
(Arsip Foto di Museum Tambang Batubara Ombilin)
Seperti tampak di foto “dulu dan sekarang” di atas, tak ada perubahan signifikan di kawasan tersebut. Rumahnya masihlah rumah dengan ukuran yang sama. Demikian pula status kepemilikan rumah-rumah tersebut.
Tata kotanya juga tidak berubah sama sekali. Seperti tampak dalam dua foto, kompleks perkantoran tambang dengan perumahan para pekerja dipisahkan oleh sungai. Tata ruang seperti ini bukanya tidak disengaja. Malahan ia memang dirancang seperti itu demi mengoptimalkan produksi batubara. Sungai kecil itu sengaja dibelokkan oleh insinyur kolonial sebagai semacam pagar pembatas antara wilayah tuan dan wilayah budak. Jika saja foto itu bisa kita lebarkan ke kiri, maka di bagian kiri itu akan tampak rumah para pembesar tambang dan pejabat kolonial. Letaknya sengaja dipilih di tempat yang agak tinggi. Dengan begini, para pekerja di kawasan tangsi baru, akan selalu merasa diawasi dari atas sana oleh para tuan tambang.
Artinya, setelah lebih dari satu abad, kehidupan masyarakat di lapisan sosial paling bawah, belumlah berubah: struktur masyarakat lama masih bertahan. Segelintir orang berada di pucuk struktur, segelintir lainnya berada di tengah, dan sebagiannya lagi yang jumlahnya jauh lebih banyak tetap berada di bawah. Tak ada pemerataan kesejahteraan yang berarti dari berdirinya tambang hingga ia tutup usia. Tak ada juga mobilitas sosial yang signifikan. Beberapa keturunan orang rantai memang berhasil mencapai posisi-posisi strategis di birokrasi lokal, atau mendapat reputasi sebagai seniman handal, namun ini hanya terjadi pada sebagian orang, yang dengan satu dan lain cara berhasil mengumpulkan modal ekonomi dan modal sosial, serta punya akses ke sana ke mari. Sementara, sebagian besar lainnya, tetap berada di lapisan terbawah.
Foto-foto di kawasan penyangga dari masa 1960-an ke atas, rasanya tidak terlalu sulit didapat. Jika foto dari periode 1960-an sulit didapat, maka foto-foto dari periode 1970-an, hampir bisa dipastikan ada di lemari-lemari warga. Inilah arsip yang bisa kita bandingkan dengan arsip digital yang diunduh dari situs-situs penyedia arsip.
Teman-teman Daya Desa tentu lebih paham dengan kondisi dan sejarah masyarakat di Nagarinya. Foto-foto milik warga, akan memberitahu apa-apa yang berubah semenjak adanya stasiun dan jalur kereta. Atau apa yang hilang dan apa yang muncul setelah stasiun dan jalur itu ada.
Kita bisa mulai dari segi postur warga di dalam foto. Jika foto dari masa kolonial menunjukkan orang pribumi memiliki postur yang cukup ideal, meski terlihat agak kurus, maka bisa jadi foto dari tahun 1980-an ke atas kita temukan orang-orang dengan obesitas. Dari sini, kita bisa mulai bertanya, apakah modernisme, yang konon bermula dengan kehadiran jalur kereta api itu benar-benar modernisme yang sesuai dengan kebutuhan anak nagari? Kenapa modernisme justru berujung pada perubahan pola makan dan berakibat pada kesehatan? Inikah salah satu dampak panjang yang merusak dari modernisme yang dibawa kolonial?
Banyak segi lain yang bisa kita eksplorasi dengan cara membandingkan foto dari masa kolonial dan foto dari masa lebih kemudian. Dari segi pakaian, misalnya. Jika dalam foto-foto warga di suatu stasiun, kita bisa melihat jenis pakaian yang dikenakan warga. Warga kelas bawah memakai pakaian dari bahan linen dengan sarung dan kopiah di kepalanya, sedang warga dari kelas atas memakai pakaian mahal seperti kain bugis, atau bahkan memakai pantalon dan jam saku.
Pemandangan dari foto tahun 1990-an, mungkin akan sangat kontras. Perbedaan kelas tidak demikian kentara lagi. Tapi muncul gejala baru, yaitu keseragaman. Orang-orang mulai memakai jeans dan kaos oblong berbahan katun. Ini mengindikasikan bahwa semenjak selapisan atas masyarakat menyerap gaya pakaian modern orang Eropa, fenomena itu terus berlanjut. Hanya saja, ia kini mewujud konsumerisme. Semua memakai jeans, yang diimpor dari Amerika atau tempat lainnya. Jika dulu kereta api lah yang membawa barang-barang modern, kini ‘kereta api-kereta api’ baru, bermunculan. Dan semua itu, adalah bagian dari modernisme yang dicangkokkan kolonial lebih dari seabad yang lalu.
Demikianlah kira-kira rancangan dan metode untuk membangun pusat arsip warga, yang nilainya akan makin berharga di masa-masa yang akan datang. Bukan hanya karena ia akan menjadi rujukan bagi generasi akan datang atau berhasil memperkaya narasi WTBOS, namun karena ia adalah narasi sejarah yang dibangun dari bawah.
Nagari-nagari ‘tanpa sejarah’ dalam kaitannya dengan WTBOS, akan punya sejarahnya sendiri. Dan itu adalah sejarah yang datang dari bawah, bukan dari atas, dan tidak terpisah dari sejarah-sejarah Nagari lain di sepanjang WTBOS. Tidak akan ada lagi narasi yang terisolir dari narasi-narasi lainnya dalam konteks lebih luas. Yang ada adalah satu narasi sejarah dari bawah yang bulat, yang berasal dari rangkaian sejarah di tiap-tiap Nagari dalam kerangka kekuasaan kolonial. (soal pentingnya keterhubungan sejarah di sepanjang kawasan WTBOS ini, akan dibahas dalam tulisan lain).
Sekali lagi, dengan menambahkan narasi (yang valid, bukan dibuat-dibuat tentu saja), dan dengan menempatkan arsip foto digital pada konteksnya secara proporsional, maka narasi tentang WTBOS di kawasan penyangga akan makin kaya. Sekali lagi, bayangkan jika 22 Nagari/Desa Budaya di sepanjang kawasan penyangga WTBOS membangun pusat arsip seperti ini, ditambah dengan arsip-arsip seperti dokumentasi wawancara kritis mengunakan 4 Pertanyaan Bernestein, maka WTBOS akan jadi sumber pengetahuan dan sumber kreatifitas yang amat kaya.
Komparasi seperti inilah yang bisa alihbentuk menjadi narasi yang, sayangnya, terabaikan dalam pameran foto di Galanggang Arang #3 Sawahlunto. Dengan membiarkan foto-foto terkini tentang berbagai OPK Sawahlunto ‘bicara sendiri’, tanpa menempatkannya dalam konteks historisnya, foto-foto itu tercerabut dengan latar sejarahnya yang bisa menggiring pada pemahaman soal objek-objek dalam foto sebagai hasil dari proses sejarah (baca: kolonialisme) yang alamiah dan wajar-wajar saja. Dengan kata lain, ketika himpunan foto ini menjadi arsip, ia tak akan berkata apa-apa kecuali eksotika hasil dari suatu proses sejarah kolonial yang alamiah.
Pusat Arsip Warga untuk Mengatasi Jurang Latar Sosial dan Historis
Seperti telah di bahas di atas, pengarsipan ulang hanya mungkin dilakukan dengan mendampingkannya dengan narasi sejarah perspektif lokal yang tetap terhubung dalam konteks sejarah lebih luas, serta dengan cara membandingkaknnya dengan foto-foto terkini. Tapi kenyataannya hingga saat ini kajian-kajian sejarah lokal di sepanjang kawasan penyangga WTBOS belum tersedia. Ini berbeda dengan Sawahlunto dimana kajian-kajian dan narsi sejarah dari bawahnya tersedia cukup melimpah.
Tersedianya pusat arsip warga di masing-masing nagari kawasan penyangga, atau pusat arsip bersama, yang berisi pengarsipan ulang atas foto-foto digital kolonial, serta dokumentasi sejarah lisan kritis, tidak hanya akan memudahkan anak nagari untuk merenkonstruksi masa lalunya sendiri, namun juga bisa digunakan oleh para peneliti sebagai korpus data.
Sejauh pengamatan saya, cukup banyak mahasiswa sejarah yang tertarik menulis skripsi tentang Nagarinya sendiri. Namun setelah saya baca-baca skripsi macam ini, begitu jelas bahwa mereka kesulitan mengangkses sumber sejarah primer seperti foto-foto masa kolonial. Dan di pusat arsip warga, mereka bisa merujuk koleksi foto hasil pengarsipan ulang yang telah melampaui narasi kolonial.
Dengan begitu, lahirnya karya-karya sejarah Nagari yang lebih komprehensif bisa muncul, makin banyak, dan makin banyak. Dan para pengkarya, punya referensi memadai yang bisa mereka rujuk guna memahami sejarah lokal dan kaitannya dengan konteks sejarah lebih luas, lalu menghancurkan jurang latar sosial dan sejarah yang selama ini mengendap di pikiran mereka yang berpretensi menhasilkan bias dalam penulisan sejarah. (*)
Tulisan ini adalah Bagian Kedua dari rangkaian tulisan yang saya kembangkan dari materi tentang Arsip dan Pengarsipan Warga yang saya susun untuk FGD Penguatan Ekosistem Kebudayaan di Desa-desa Kawasan Warisan Dunia, di Rumah Gadang Sumpur, 31 Juli 2024.
Foto: Sejumlah orang Papua yang ditahan dan akan diberangkatkan ke Ombilin. Sumber: KITLV)
Catatan Kaki:
[1] Jean Gelman Taylor, “Aceh: Narasi Foto, 1873-1930” hal 316. Dalam Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indoensia. (2013) Henk Schulte Nordholt dkk,. (ed). Pustaka Obor: Jakarta.
[2] Jean Gelman Taylor, Aceh: Narasi Foto, 1873-1930. hal: 316 Dalam Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indoensia. (2013) Henk Schulte Nordholt dkk,. (ed). Pustaka Obor: Jakarta.
[3] Pembahasan mengenai hal ini bisa dilihat di Mestika Zed. Pemberontakan Komunis Silungkang 1927: Studi Gerakan Sosial di Sumatera Barat. Lihat juga Joel S Kahn, “Kesadaran Politik Kaum Tani di Sumatera Barat: Analisis Ulang Atas Pemberontakan Komunis Silungkang 1927“. Mengenai upaya kolonial untuk memonopoli perdagangan dengan mengalihkan jalur dagang ke arah pantai barat dan hubungannya dengan jalur kereta api lihat A Kahin, “Bagaimana Kolonial Mengondisikan Minangkabau“.