Nawawi Arief melangkah dengan kepala tegak menuju ruang pengadilan kolonial di Sawahlunto. Tubuhnya dibalut seragam hitam orang rantai yang ia pakai dengan sengaja. Kaki telanjangnya berhenti di pintu masuk. Ia membalikkan badan dan menyapa puluhan buruh yang hadir untuk menyatakan solidaritas.[1] 

Nawawi adalah pimpinan Persatuan Kaum Buruh Tambang (PKBT) sekaligus redaktur dua surat kabar anti-kolonial: Soeara Tambang dan Panas. Hari itu, ia memanfaatkan sidang itu sebagai panggung pernyataan politiknya: ia dan PKBT, dan koran-korannya, adalah bagian dari orang-orang tertindas yang punya cita-cita bersama. Di sidang pada bulan Agustus itu salah satu pembangkang dari Ombilin ini dijatuhi hukuman 2 tahun karena menghina pemerintah dalam tulisan-tulisannya. 

***

Ketika itu tahun 1925. Kolonialisme Belanda akan segera berakhir. Hindia Belanda tengah bergolak. Pemogokan demi pemogokan berlangsung di kota-kota seperti Surabaya dan Malang. Orang jajahan makin radikal. Bukan hanya buruh pabrik dan kereta api yang turun aksi, organisasi-organisasi lain seperti organisasi juru rawat juga ikut ambil bagian. 

Meski tampak tak terkalahkan semenjak penyerbuan militer yang brutal di Aceh, kolonialisme telah uzur, digerogoti oleh penyakit bawaannya. Sistem ini hanya bisa hidup dan berjalan dengan menghisap koloninya. Ketimpangan, rasisme, penindasan dan kemiskinan yang ditimbulkan penghisapan itu, melahirkan sel-sel pembangkangan yang terus berkembang lalu melancarkan serangan dalam berbagai bentuk dan skala ke organ-organ vitalnya. Industri tambang batubara Ombilin adalah salah satunya. 

Pada 1925 itu pula terjadi perubahan besar dalam gerakan buruh tambang Ombilin. Gagasan soal kelas (bersama nasionalisme dan Islam) sedang tumbuh, menjembatani perbedaan ras dan etnis.[2] Pemogokan dan protes politik menjadi bentuk perlawanan baru menggantikan bentuk lama seperti menghindar-hindari pekerjaan atau kabur dari penjara. 

Belanda yang sejak awalnya mengisolasi para pekerja tambang dari dunia luar, kini tahu pertahanan mereka telah tertembus. Memasuki 1925, tulis Erwiza Erman, politik kaum buruh makin terorganisir dan radikal karena terhubung dengan gerakan komunis.[3] Sarekat Rakjat berdiri di akhir 1923. Pada Maret 1925 Persatuan Kaum Buruh Tambang Indonesia (PKBT) juga dibentuk. Keduanya berafiliasi dengan PKI—partai yang dianggap racun masyarakat oleh pemerintah. 

***

PKBT menerbitkan surat kabar Soeara Tambang. Bersama Loetan sebagai administrator, Nawawi menjadi editornya. Terbit pertamakali pada 31 Maret 1925, koran ini terdaftar sebagai surat kabar perdagangan. Dan memang koran itu banyak membahas penyiksaan dan penindasan di balik perdagangan batu bara. 

Editorial edisi pertama itu adalah pengunguman bahwa PKBT telah lahir dan menjadi alat perjuangan untuk buruh; bahwa kaum buruh telah tahu di mana-mana pemogokan sedang marak karena “kesewenang-wenangan pengusaha”; bahwa kesewenang-wenangan itu bisa diakhiri jika para penambang dari berbagai ras dan etnis bersedia membulatkan suara dan bergabung dengan PKBT. 

Edisi pertama itu juga memuat artikel tentang pentingnya membentuk dan memperkuat sarekat-sarekat pekerja, tentang Loetan yang baru saja dipecat dari tambang karena menyebarkan komunisme yang artinya mengajak pekerja mogok, serta berita pemogokan-pemogokan buruh di luar negeri, tentang kesusahan pekerja di “masa kapitalis” yang berarti “masa penindasan.”

Terbitan-terbitan setelahnya, berisi tema-tema seputar perbedaan antara kelas penindas dan yang ditindas, serta organisasi sebagai kekuatan buruh. Atau berita-berita tentang pemukulan-pemukulan para buruh, pemecatan karena masuk komunis, brutalitas mandor dan ”sinjo besar”, sawah-sawah yang kering karena aktivitas tambang, atau kekayaan para pembesar tambang yang terus bertambah, atau seruan perjuangan sampai habis nyawa melawan kapitalis.[4]

Nawawi kemudian juga mendirikan koran Panas di Silungkang. Dan koran ini langsung dikategorikan sebagai berhaluan komunis. Isinya serupa dengan Soeara Tambang, tapi tampaknya lebih menyasar kebobrokan penghulu. Ia tampaknya ingin berbicara ke lapisan masyarakat di luar buruh tambang. Beberapa waktu sebelumnya, ia ditangkap karena memberi “ceramah komunis” di sebuah masjid—hal yang tampaknya cukup sering dilakukannya. 

Koran-koran itu diedarkan di pertambangan secara sembunyi-sembunyi oleh para buruh. Isi beritanya didiskusikan, terutama soal pemogokan-pemogokan di luar negeri. Para buruh semakin tertarik bergabung dengan PKBT, sebuah organisasi baru yang menawarkan harapan baru pula dan dengan gagasan mogok kerja itu sendiri. Dalam rapat-rapat rahasia di penjara, kampung-kampung, atau obrolan di kedai kopi, orang mulai berani berbicara soal kesewenang-wenangan siamang, si anjing, atau si buaya putih.[5]

Tensi makin tinggi di Sawahlunto. Pemogokan-pemogokan membuat produksi batubara menurun drastis. Awal september 1925, 300 pekerja paksa mogok kerja. Mereka menolak keluar dari penjara Sungai Durian, mereka menolak dikirim ke lubang tambang untuk bekerja.[6] Pemogokan juga menyebar keluar lubang-lubang tambang. 44 juru rawat Rumah Sakit Ombilin mogok kerja di Juni. Mereka mogok karena salah satu dari mereka dipecat karena terlibat komunis. Jururawat, lapisan masyarakat yang selama ini dikira jinak itu pun mulai radikal. Aparat dan warga Eropa di puncak hirarki sosial kota tambang resah karenanya. Sejak 3 tahun belakangan, sejak penerapan pajak tanah, isu revolusi akan pecah di dataran tinggi Minangkabau memang bertiup kencang. Suasana pemberontakan anti-pajak 1908, kembali terasa. 

 ***

Serombongan polisi, tentara, dan intelijen, mengepung lalu menggerebek sebuah bangunan kecil di Pasar Sawahlunto, pada 7 Juli 1925—tak lama setelah pemogokan pegawai rumah sakit. “Hampir tak ada yang tersisa, tulis Soeara Tambang . “Segala macam barang, termasuk barang sepele, dibawa, hampir satu mobil penuh. Pintu dan jendela kemudian disegel.” Bangunan itu adalah kantor PKBT dari mana dua pengurusnya, Nawawi Arief dan A Halim, diseret keluar. Marah Imin dan Danin, dua pengurus Sarekat Rakjat yang ada di sana juga ditangkap.[7] 

Mereka semua dituduh menggelapkan uang organisasi sendiri. Turut hadir menyaksikan penggerebekan it adalah Asisten Residen, Kontroler, dan Tuan Demang. 

Kira-kira seminggu sebelumnya, koran-koran berbahasa Belanda dipenuhi berita tentang  Nawawi dan PKBT sebagai dalang pemogokan 44 juru rawat rumah sakit. Koran-koran itu menulis betapa berbahayanya komunisme itu dan bahwa para juru rawat hanyalah korban “slogan-slogan komunis para redaksi Soeara Tambang.”[8]

Nawawi dan kawan-kawan bebas dari tuduhan penggelapan. Kali ini mereka lolos. Namun apa yang disebut masa-masa “hujan penggerebekan” oleh para pemberontak, terus berlangsung dengan derasnya dari Ombilin hingga Emmahaven. 

Silungkang, Oktober 1925. Polisi menggerebek rapat Barisan Moeda—organisasi yang berafiliasi dengan Sarekat Rakjat. Salim dan Abdul Moeloed ditangkap. Dua pemuda itu dihukum 2 bulan penjara. Demang Loetan mengungumkan akan menghukum yang bergabung dengan Barisan Moeda. Leon Salim di Danguang-danguang, dikeluarkan dari Sekolah Rakyat karena ia bersama kawan-kawannya mendirikan Barisan Moeda di sekolah. Ia juga dipukuli Wali Kampung karena itu. 

Beberapa lusin tentara akan dikerahkan ke Kota Lawas, salah satu basis komunis di Padangpanjang. Para kontributor koran Api di Sumatera Barat mempertanyakan pengerahan pasukan itu

Di Bukittingi, toko milik A. Gaffar dan Basir digeledah oleh polisi yang dipimpin oleh inspektur. Mereka menemukan dan menyita buku-buku Sarekat Rakjat (sic) dan buku-buku berbahasa Inggris, serta beberapa lembar koran Api. Masih di Bukittinggi, Soetan Madjo Indo dan Soetan Moedo yang bekerja di barak militer, digeledah atas perintah Panglima tentara pada 18 September. Ditemukan bukti keanggotaan P.K.I ketua dan sekretaris, mereka dipecat. 

Sehari setelahnya, beberapa rumah di sekitar Sianok digeledah. Rumah milik Parpatieh, Abu Sjaamah dan A. Gaffar. Di rumah-ruma itu disita berbagai majalah, serta brosur, kartu anggota PKI, dan koran-koran termasuk Api

Tak hanya rumahnya yang digeledah. Orang yang pernah berhubungan dengan mereka pun jadi sasaran. Djamat, Danan dan Aris, dipanggil polisi karena diketahui pernah berjabat tangan dengan Perpatieh.

Rumah Haji Arief dan H. Rasyid, di Padangpanjang, digrebek jam 3 pagi. Karena H. Rashid tidak mau turun, maka ia diberi pukulan di bagian telinga. Dt Bandaro Koening dipukul dan dilukai di bagian kepala oleh petugas. Baharudin, mantan editor koran Petir yang telah dilarang terbit sebelumnya, juga ditangkap karena tuduhan menghasut rakyat untuk melawan pemerintah. 

11 buruh yang ditangkap dalam aksi mogok di Penjara Sungai Durian pada September, diminta oleh para warga eropa agar dikirim saja ke penjara “kelas satu” di Batavia, di mana  “para bajingan” itu bisa dibersihkan pikirannya dari gagasan komunis dengan hukuman ekstrim seperti “melempari buruh dengan batu sepanjang hari”, “memukuli dengan rotan untuk membersihkan pikiran mereka dari gagasan protes.”[9]

Di Pelabuhan Teluk Bayur, hujan penggerebekan juga terjadi. Para pemimpin buruh pelabuhan, salah satunya Hamzah, ditangkap di rumahnya. Mereka ditangkap setelah mogok yang diikuti oleh 107 buruh pelabuhan pada akhir September. 55 buruh yang menuntut kenaikan gaji dan taraf hidup langsung dipecat. Skrining dilakukan, 34 lagi buruh yang terkait komunis dipecat.[10]. Para pemimpin buruh di Ombilin juga ditangkapi pada masa-masa ini. Doelgani, Ramaja, Bakar, adalah beberapa di antaranya. 

Sampai Oktober 1925, pemerintah menangkap lebih dari 400 orang, termasuk anak di bawah umur, di seantero Sumatera Barat. Kebanyakan dihukum 3 hingga 15 hari dan melakukan kerja paksa dari 7 jam hingga 5.30 sehari.[11]

Ini adalah lanjutan dari gelombang penangkapan aktivis komunis di Hindia Belanda sejak 1922 lalu, penangkapan-penangkapan yang, kata pejabat Belanda, malah membuat pengikut komunis makin ramai. Di Malang dan Surabaya, terjadi penangkapan besar-besaran pada akhir 1925.[12]

 ***

Orang-orang seperti Nawawi dan para aktivis yang ditangkapi pada masa-masa itu, adalah bahaya besar bagi pemerintah. Berbeda dengan gerakan-gerakan pemberontakan dari masa sebelum 1900-an, mereka bekerja di bawah organisasi yang mampu membangun hubungan dengan massa luas karena menawarkan tatanan sosial baru sebagai ganti bagi tatanan masyarakat kolonial yang rasis dan menindas. Mereka punya pola kepempimpinan baru, media serta jaringan dengan para pedagang pribumi dan pemimpin gerakan di kantong-kantong perlawanan lainnya di tingkat lokal dan nasional. Mereka juga menyasar fasilitas-fasilitas vital seperti tambang.          

Pasca pemogokan 300 pekerja paksa di Sungai Durian, Nawawi kembali dibui karena tulisan-tulisannya. Sejak awal-awal 1925, dia memang sudah ditandai sebagai sosok berbahaya. Ia menerbitkan tulisan-tulisan yang soal “pendidikan untuk menjadi berani mati” dan “serangan bersama sampai mati” terhadap pemerintah,[13]hingga “pengusiran para buaya putih.” Intelijen kolonial menyebutnya brutaal figuree alias orang yang sangat amat berbahaya.[14]

Pengadilan menghukumnya 3 tahun 7 bulan penjara dengan jeratan persdelict pada Desember 1925. Ia dituduh membuat tulisan yang menghina-hina penghulu dan Demang Tilatang di koran Panas.[15] Di Januari 1926, ia menghadiri sidang lain dengan kasus serupa. Ia dihukum 4 tahun 10 bulan karena melanggar aturan pers sebanyak 5 kali, dari tiga tulisannya di Soeara Tambang dan dua tulisan di Panas.[16]

Nawawi tidak dibolehkan lagi berkeliaran bebas. Ia segera dikirim ke penjara Sungai Durian, bergabung dengan pekerja paksa. Di penjara ia masih menggorganisir gerakan hingga akhirnya dipindahkan ke penjara Padan, dan kemudian dipindahkan ke Cipinang.

***

Sekitar seribu orang memadati halaman belakang Pengadilan Negeri Padang. Puluhan polisi menjaga tempat itu. Waktu itu awal Januari 1926. Mereka datang untuk bersolidaritas dan menunggu hasil putusan atas Sjamsoeddin, pemimpin buruh yang ditangkap beberapa waktu lalu. Ia dihukum satu setengah tahun penjara karena dituduh menghasut pemogokan-pemogokan di Pelabuhan Teluk Bayur. Sama seperti Nawawi, ia juga dikirim ke penjara Cipinang.[17] Sebelumnya, para pemimpin komunis seperti Datuak Batuah dan Natar Zainuddin telah dipenjara pula pada 1923. 

Fase pertama gerakan buruh Indonesia secara efektif berakhir saat gagalnya pemogokan besar di Surabaya pada Desember 1925, tulis Jhon Ingleson.[18] Tapi fase pertama itu belum sepenuhnya berakhir di Sawahlunto. Pukulan itu belum merubuhkan mereka secara total. Setelah para pemimpin PKBT ditangkap, sebagiannya yang lolos bergabung ke organisasi-organisasi bawah tanah seperti Sarekat Djin. Doelgani yang telah keluar dari penjara, bergabung dengan kelompok tersebut dan mengorganisir lagi gerakan buruh. 

Sepanjang Mei 1926, bertepatan dengan bulannya kaum buruh, terjadi 3 kali pemogokan di Sawahlunto. Setiap pemogokan diikuti 300, 100, dan 350 buruh tambang. Harga-harga makin naik. Rapat-rapat rahasia di kampung-kampung di sekitar Sawahlunto dan Silungkang makin sering digelar. Pribumi pegawai rendahan, jururawat, orang-orang di pasar, para haji yang juga saudagar, para polisi dari kalangan pribumi, makin berani bicara soal pengambilalihan tambang. Pemberontakan 1927 sudah di depan mata. (*)

Keterangan foto: Jalur kereta api di Padang Sibusuk disabotase saat pemberontakan 1927. De courant Het nieuws van den dag, 15-02-1927.

Catatan kaki: 

[1] Erwiza Erman (2008). Pekik Merdeka dari Sel Penjara dan Tambang Panas. Pemerintah Sawahlunto. Hal. 60

[2] Erwiza Erman. (1999). Miners, managers and the state: A socio-political history of the Ombilin coal-mines, West Sumatra, 1892-1996. Hal. 75.

[3] Erwiza Erman. (1999). Miners, managers and the state: A socio-political history of the Ombilin coal-mines, West Sumatra, 1892-1996. Hal 75.

[4] Dari berbagai sumber, misalnya Soera Tambang, 30 September 1925, No. 7 dalam Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers, 1925, no. 34, 19-02-1925 

[5] Erwiza Erman (2008). Pekik Merdeka dari Sel Penjara dan Tambang Panas. Pemerintah Sawahlunto, hal 38-40.

[6] Sumatra Bode, 08-09-1925.

[7] Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers, 1925, no. 34, 19-02-1925 

19-02-1925 (hal. 387-388)

[8] Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië 11-06-1925; berita sama juga terbit di koran berbahasa Belanda lainnya, misalnya Sumatra-bode 04-06-1925

[9]Sumatra Bode 08-09-1925, 

[10] De Indische courant 13-10-1925 dan Algemeen Handelsblad 01-10-1925

[11] Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers, Bureau voor de Volkslectuur en aanverwante aangelegenheden. No. 43 1925

[12] Jhon Ingleson. (1986) In Search of Justice: Worker and Union in Colonial Java 1902-1926. Oxford University Pers: New York. Hal.  309

[13] Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers, 1925, no. 34, 19-02-1925 

[14]Erwiza Erman. (2008) Pekik Merdeka dari Sel Penjara dan Tambang Panas. Pemerintah Sawahlunto, hal 57-58. 

[15] De Locomotief, 18 December 1925. 

[16] Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers, 1926, no. 7, 12-02-1926 

[17] De Locomotief, 15-01-1926

[18] Jhon Ingleson. (1986) In Search of Justice: Worker and Union in Colonial Java 1902-1926. Oxford University Pers: New York. Hal. 315

 

Open chat
1
Scan the code
Helpdesk
Halo 👋
Ada yang bisa kami bantu?