Ada hantu bergentayangan di Sawahlunto—hantu gerakan buruh dan rakyat tertindas. Semua kekuatan kolonial di Sawahlunto (dan Hindia Belanda) menyatukan kekuatan untuk mengusir hantu ini.
Demikian kira-kira gambaran umum kondisi sosial politik di Sawahlunto menjelang pecahnya Pemberontakan Komunis 1927, yang dilukiskan dengan begitu hidup oleh Erwiza Erman dalam buku saku berjudul Pekik Kemerdekaan dari Sel Penjara dan Tambang Panas.
Meski berbentuk buku saku yang ringkas, namun secara isi buku ini berisi narasi yang begitu padat. Ia membahas masa-masa krusial ketika kontradiksi-kontradiksi yang tercipta karena industri tambang kapitalistik yang eksploitatif mulai mencuat dari bawah dan mulai membangun aksi yang mengancam langsung eksistensi kolonial di Sawahlunto.
Buku ini menggambarkan bagaimana pembusukan sistem kolonial di Sawahlunto yang menuntun pada pecahnya Pemberontakan 1927, dan bagaimana aparat kolonial meredam radikalisasi massa pada masa-masa itu.
Terdiri dari 4 bagian, buku ini dikemas secara populer, tanpa mencantumkan sumber-sumber dan tumpukan data, sehingga enak buat dibaca oleh kalangan di luar komunitas keilmuan sejarah. Bahan-bahan yang dipakai Erwiza Erman sebagiannya diambilnya dari penelitian-penelitiannya sebelumnya, serta bahan-bahan baru yang belum diolahnya. Sebagai salah satu pionir penulisan sejarah pertambangan dan perburuhan di Sawahlunto, validitas data-data buku ini jelas bisa dipercaya.
Erwiza Erman memulai bukunya berangkat dari sejarah lisan mengenai Penjara Sungai Durian. Ia mewawancarai salah satu saksi hidup yang merasakan pengalaman bersentuhan dengan penjara tersebut. Dari narasi sejarah lisan ini, Erman menjelaskan bagaimana Penjara Sungai Durian sengaja difungsikan sebagai fasilitas kontrol dan pemaksimalan produksi batubara. Tidak hanya kontrol untuk pekerja paksa, namun juga para aktivis komunis yang dipenjara di sini.
Di bagian pertama ini dijelaskan dengan detail kondisi tahanan. Mulai dari aktivitas kerja paksa yang dimulai semenjak pukul 4 subuh, kapasitas sel yang dirancang untuk mengurung 3000 orang, hingga berbagai bentuk ‘penjinakan’ berupa hiburan-hiburan kesenian.
Namun pemenjaraan tak menghambat berkembangnya gagasan antikolonial di dalam dan luar penjara. Di dalam penjara, para aktivis tetap bergerak mengorganisir pembangkangan dan protes. Di luar penjara, buruh-buruh semakin radikal. Begitu juga para pegawai kolonial yang didiskriminasi oleh stratifikasi sosial rancangan pemerintah kolonial, mereka hanya bisa menempati posisi-posisi rendahan dan dihambat karirnya hanya karena lahir sebagai pribumi.
Para pedagang pribumi juga merasakan diskriminasi. Orang-orang di pasar dan di kedai-kedai, bahkan para babu di rumah-rumah pejabat tambang, juga mulai resah. Pemogokan terus terjadi di kalangan buruh bahkan di kalangan pegawai pemerintah. Rapat-rapat rahasia digelar di kampung-kampung di luar kota.
Meningkatnya tensi politik, alias makin radikalnya pribumi, serta reaksi keras pemerintah kolonial memenuhi bagian kedua dan ketiga buku ini.
Pemerintah menanggapi situasi ini dengan penuh rasa cemas. Buruh, mandor, dan pegawai yang terlibat gerakan buruh dan komunis dipecat. Bahkan Tuan-tuan pembesar tambang memecat para babu karena takut mereka akan diserang secara diam-diam.
Ketakutan-ketakutan itu memicu pemerintah untuk menambah jumlah polisi. Memperketat pengawasan di penjara, tambang, dan di kota. Rencana penangkapan dirancang. Dua sel penjara baru, termasuk Sungai Durian, disiapkan untuk menampung orang-orang yang berani protes itu sekaligus mengisolasi mereka dari buruh dan pribumi umumnya.
Dengan cermat Erwiza menggambarkan alasan-alasan di balik kebijakan-kebijakan meredam gerakan buruh di Sawahlunto: bahwa pemogokan sangat merugikan tambang, dan bahwa para pejabat tambang dan pemerintah kolonial lainnya tidak ingin melepaskan segala kenikmatan dan kemewahan yang mereka peroleh dari penghisapan di tanah jajahan.
Sawahlunto adalah surga bagi mereka, surga yang tak akan bisa mereka dapatkan di negeri asalnya. Dan untuk mempertahankan semua itu, mereka siap saja untuk melakukan pembersihan berdarah-darah gerakan buruh dan elemen-elemen rakyat antikolonial lainnya.
Bagian keempat digunakan Erwiza untuk menceritakan para pemimpin buruh dan komunis yang ditahan di Sungai Durian, serta upaya mereka untuk terus bergerak meski berada di dalam kurungan. Semangat antikolonial tak mampu dibendung dinding penjara. 3 kali pemogokan besar selama Mei 1926 diikuti ratusan buruh. Orang-orang makin berani mempertanyakan hak penjajah memerintah negeri mereka. Para pedagang, pegawai, militer, dan pemuka adat, mulai membentuk kelompok yang merencanakan pemberontakan. “Merdeka” mulia jadi pembicaraan di banyak tempat. Senjata-senjata mulai dikumpulkan. Massa merapatkan barisan.
Pemberontakan bersenjata itu akhirnya pecah. Sistem kolonial yang membusuk itu, merespon dengan kekerasan. Darah bertumpahan. Tidak hanya para pemberontak yang tumpas, dibunuh di tempat atau digantung di muka umum, beberapa pejabat dan pribumi yang dianggap bagian dari kolonialisme juga tumpas. Pemberontakan padam.
Apa yang secara implisit coba diberitahu buku ini ialah bahwa sistem yang busuk dan cacat hanya akan melahirkan kekerasan demi kekerasan.
Hantu itu berhasil diusir. Tapi hanya untuk sementara. Seperti ditulis Erwiza, “Para pemimpin yang menorehkan kata merdeka di hati penduduk kota, di hati perantaian dan kuli kontrak, sudah pergi, tapi pekik merdeka mereka […] masih terasa menggetarkan” (Hal. 63). Kurang lebih dua dekade kemudian, kita akan saksikan pekik merdeka itu kembali menggema di Sawahlunto. (*)
Judul Buku: Pekik Kemerdekaan dari Sel Penjara dan Tambang Panas.
Penulis: Erwiza Erman
Penerbit: Pemerintah Kota Sawahlunto
Tahun Terbit: 2008
Jumlah halaman: 63
ISBN: 978-979-17117-2-2