Heritage as social action ialah wacana yang tengah mengemuka di  global saat ini. Secara umum, gagasan tersebut melihat cagar budaya dan cagar alam sebagai suatu konstruksi sosial. Di masa lalu, cagar dibentuk oleh hubungan-hubungan sosial yang memiliki fungsi serta dampak sosial tertentu. Karena ia konstruksi sosial, fungsi serta dampak sosialnya sangat ditentukan oleh jenis hubungan-hubungan sosial yang mengkonstruksinya.

Gagasan seperti ini sudah muncul di awal 2000-an. Denis Bryne lewat esainya Heritage as Social Action  mengkritik pemerintah New South Wales Australia yang tengah mendata cagar-cagar budaya/alam Aborigin. Pemerintah memakai apa yang disebut Denis sebagai pendekatan berbasis situs (site-based) dalam pendataan, perawatan, serta rencana pengembangan cagar.  Ini adalah pendekatan yang bersumber dari konsepsi lama mengenai ‘heritage’ yang lahir dari masyarakat Dunia Pertama. Cara pandang ini hanya melihat cagar budaya dan cagar alam sebagai objek fisik dalam kerangka kepemilikan negara.

Denis melihat cara pandang tersebut telah mendorong terjadinya reifikasi. Hubungan manusia dan cagar, menjadi hubungan antar-objek, hubungan tanpa makna antara dua barang kecuali makna komersial. Hubungan sosial yang awalnya menciptakan cagar itu pun akhirnya lenyap. Begitu pula dengan nilai-nilai sosial yang melekat padanya.

Begitu pendekatan site-based itu dipraktekkan atas situs-situs cagar Aborigin, pada akhirnya akan membuat mereka terpisah dari ulayatnya. Sebab situs-situs cagar itu awalnya dibangun oleh hubungan-hubungan sosial,  yang mereka isi dengan nilai-nilai sosial dan historis yang bersifat lokal dan mencakup konsepsi atas teritori.

Cagar, menurut Denis, adalah ranah aksi sosial/kultural. Aksi sosial/kultural yang membuat nilai-nilai sosial cagar tidak melulu statis, namun bisa diperbaharui sesuai kebutuhan komunitas lokal. Begitupun sebaliknya, ia bisa mengalami reifikasi karena tindakan sosial dari pihak dengan kepentingan berbeda.

Denis kemudian menyerukan untuk membajak konsepsi ‘heritage’. Bukan saja karena hal tersebut penting untuk dilakukan, tapi karena ia mungkin untuk dilakukan. Jika  dalam pandangan Barat masyarakat Aborigin dilihat sebagai komunitas dengan kebudayaan yang statis dan tak punya daya ubah, Denis percaya pada agensi kolektif komunitas lokal yang punya daya gerak, sekalipun ia diopresi.

Belakangan konsep ini didorong lebih jauh oleh para peneliti dan akademisi, salah satunya oleh Rodney Harrison lewat esainya Heritage as Social Action. Atau oleh Emma Waterton Steve Watson dan Helaine Silverman, dalam kata pengantar berjudul An Indroduction Heritage in Action. Ini adalah kata pengantar yang mereka susun untuk buku Heritage in Action: Making the Past in the Present (2017).

Cakupannya pun diperluas, baik dari segi topik atau kawasan. Persoalan dekolonisasi warisan budaya, meluas dari upaya masyarakat pribumi di negara-negara Dunia Ketiga mempertahankan situs-situs hingga menjangkau jantung kolonialisme itu sendiri: Eropa. Museum-museum dan galeri-galeri di negara-negara Eropa kini berjuang untuk mendekolonisasi museum-museum mereka sendiri.

Heritage as social action, mereka hubungkan dengan decolonial heritage: keduanya dilihat sebagai satu kesatuan yang kemudian menjadi semacam landasan teoritis bagi apa yang disebut heritage activism yang wujudnya mencakup aksi-aksi politik di tingkat lokal, nasional, dan internasional.

Ringkasnya cagar budaya dan cagar alam, kini tidak lagi dipandang sebagai benda mati belaka, tapi  suatu konstruksi sosial yang pemanfaatan serta dampak sosialnya bisa diarahkan ke arah yang lebih positif bagi komunitas lokal. Herigate adalah suatu medan tempur dengan  aktivisme sebagai bagian integralnya–aktivisme demi memenangkan narasi lokal dari bawah untuk gantikan narasi kolonial yang difabrikasi dari atas.

Kontestasi Narasi WTBOS

Sejak Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto (WTBOS) ditetapkan sebagai Warisan Dunia oleh UNESCO pada 2019 lalu, salah satu hal yang mencuat adalah soal bagaimana bekas kawasan industri kolonial itu akan dikenang hari ini dan di masa akan datang. Festival Galanggang Arang sebagai bentuk aktivasi WTBOS, dilihat punya peran sentral dalam membangun narasi atas WTBOS.

Kate McGregor secara implisit menghimbau agar berbagai bentuk perayaan atas WTBOS dilakukan dengan lebih hati-hati. Ia memang tak menyasar Galanggang Arang secara langsung, namun tujuannya jelas ke perayaan seperti Galanggang Arang. Ia melihat adanya gagasan soal ‘industri tambang Ombilin sebagai pembawa kemajuan Sawahlunto’ di balik penetapan status WTBOS sebagai Warisan Dunia yang perlu dilihat secara kritis. Gagasan serupa itu, kata Kate,

bersumber dari pandangan orientalis yang melihat Timur sebagai kawasan terbelakang yang hanya bisa dibuat maju oleh Barat dan teknologinya.[1]

Abdul Rahman, penulis lainnya, juga melihat persoalan yang sama. Tapi tulisan Abdul lebih berfokus pada soal kontestasi narasi atas WTBOS. Absennya “sejarah koreng kolonialisme” dalam penetapan WTBOS sebagai Warisan Dunia, ditengarainya sebagai upaya terselubung untuk mewajarkan kolonialisme. Jika dalam penetapan situs Auschwitz-Birkenau sebagai Warisan Dunia “negative historical values” dijadikan pertimbangan, maka hal yang sama tidak berlaku dalam penetapan status WTBOS, padahal Nazisme dan Kolonialisme Barat sama buruknya.[2]

Abdul melihat kemungkinan bahwa di kemudian hari WTBOS akan dikenang sebagai situs sejarah yang terlepas dari konteks sejarah kolonialnya yang penuh darah. Ia kelak akan jadi prasasti yang  menyebarkan memori bahwa kolonialisme (dengan industri pertambangannya itu) adalah sesuatu yang  alamiah, wajar, dan normal-normal saja. Agar semua itu tidak terjadi, abdul mengingatkan agar fabrikasi memori WTBOS jangan sampai berjalan timpang.

Di saat bersamaan, ia melihat ada semacam kontra-narasi yang dibangun “pelaku budaya di tingkat tapak.” Di Galanggang Arang masih ada aktor atau agen yang berupaya “memastikan hadirnya karya-karya yang terus mereproduksi ingatan tentang kolonialisme” yang “penuh cerita mengibakan.”

Dengan kata lain, Abdul melihat ada kontestasi narasi atas WTBOS yang kini tengah berlangsung meski tampaknya tak setara. Satu memori dari atas, satunya lagi dari bawah. Siapa yang akan berjaya?

Heritage  Activism dan Praktek Decolonial Heritage di Valongo Wharf: Perjuangan Warga Kulit Hitam Memenangkan Narasi dari Bawah

Kontestasi narasi juga tengah terjadi di Valongo Wharf, Rio de Janeiro, Brazil. Kontestasi ini telah berjalan dalam waktu yang panjang di tingkat global dan lokal, dalam konstelasi politik yang pelik dan berubah-ubah. Dengan melihat kasus Valongo Wharf, bisa didapat gambaran atas nasib  WTBOS di masa datang.[3]

Valongo Wharf adalah kawasan pelabuhan bekas kompleks penampungan budak Afrika terbesar di masanya yang mulai dioperasikan oleh Kolonial Portugis pada 1811. Nyaris satu juta orang budak yang diculik dari Afrika pernah mendekam di sini untuk dijual ke bagian lain Benua Amerika.

Penetapan Valongo Wharf sebagai Warisan Dunia pada 2017 oleh UNESCO dilihat sebagai keberhasilan dalam mendobrak paradigma lama penetapan Warisan Dunia yang penuh bias Barat.. Hari penetapannya dirayakan warga kulit hitam.

Outsanding Universal Value dari situs ini menekankan hubungan antara pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, perlawanan saat ini, dan pemberdayaan masyarakat keturunan Afrika. Kenangan menyakitkan perbudakan lintas-atlantik yang menubuh di Valongo Wharf mendapat sorotan.

Keberhasilan di atas, tidak bisa dilepaskan dari kuatnya gerakan global anti-rasisme. Di Konferensi Durban pada 2001, dimana untuk pertamakalinya perbudakan dan perdagangan budak dinyatakan sebagai kejahatan kemanusian, UNESCO meluncurkan Slave Route Projects dengan misi breaking the silence around issues pertaining to slavery and the slave trade.

Menindaklanjuti Slave Route Project, Brazil menginventarisir situs-situs terkait perdagangan budak trans-atlantik, dan memproduksi sejarah perbudakan orang Afrika.

Pada masa-masa sebelumnya, perbudakan yang merupakan tulang punggung ekonomi Brazil di masa kolonial, dieksklusi dalam sejarah Brazil. Yang dianggap heritage oleh pemerintah Brazil hanyalah situs-situs terkait kultur Eropa seperti Gereja. Sementara kehadiran situs-situs perbudakan, dipinggirkan secara sistematis.

Proses menjadikan Valongo Wharf sebagai Warisan Dunia, sejak awal melibatkan sejarawan, budayawan, dan aktivis keturunan kulit hitam serta organisasi-organisasi Gerakan Kulit Hitam. Mereka adalah bagian dari yang sejarah panjang Gerakan Kulit Hitam yang berhasil membangun kekuatan politik di Brazil. Namun kekuatan ini harus bernegosiasi dengan kekuatan lainnya. Meski oleh UNESCO diakui sebagai “the most complete memorial site for slavery in existence” yang membangkitkan memori menyaktikan, aspek estetika Valongo Wharf juga sangat ditekankan untuk mengakomodir kepentingan industri pariwisata Internasional. Valongo Wharf kemudian dilihat pemerintah setempat sebagai sekedar komoditas dalam industri turisme internasional.

Meski oleh UNESCO diakui sebagai “the most complete memorial site for slavery in existence” yang membangkitkan memori menyaktikan, tapi yang lebih mendapat penekanan dan diumbar oleh pemerintah setempat ialah estetika bangunannya yang dilihat sebagai nilai jual utama dalam industri pariwisata global–hal yang juga menimpa situs lainnya di Brazil yang dibangun pada masa kolonial  Dengan kata lain, ada pihak-pihak yang ingin Warisan Dunia itu dikenal oleh dunia sebagai suatu eksotika.

Pretos Novos Cemetery, kuburan massal di mana para budak yang mati karena perlakuan tidak manusiawi, sebelumnya juga ditemukan dalam kompleks Valongo Wharf. Tapi situs kuburan itu mendapat porsi sangat kecil dalam produksi memori di kawasan tersebut. Ia bahkan hanya ditempatkan sebagai ‘buffer zone’ dan agak dibengkalaikan perawatannya karena kurang cocok dengan agenda turisme internasional Brazil yang mengutamakan eksotisme dan leisure.

Warga kulit hitam melihat ada upaya pembungkaman sejarah perbudakan dan pelanggengan rasisme di balik logika tata kelola Valongo Wharf yang dilakukan oleh pemerintah setempat. Dan semua memang terjadi sejalan dengan rasisme yang terus dialami Brazil terhadap warga keturunan Afrika. Walau pemerintah telah menjalankan Program Kebijakan Afirmasi, warga kulit hitam masih didera rasisme dan diskriminasi yang telah berurat berakar dalam masyarakat Brazil.

Namun warga kulit hitam di sana tak tinggal diam, mereka ambil aksi. Sejak awal mereka telah terlibat dalam proses pengusulan, berhasil menyuntikkan semangat emansipasi ke dalam dossier, walau akhirnya kecolongan setelah situs itu dikomodifikasi sebagai tujuan pariwisata internasional. Pasca penetapan sebagai Warisan Dunia mereka terus melakukan serangkaian perlawanan, mereka terus membangun narasi tandingan atas keseluruhan situs Valongo Wharf lewat berbagai cara yang kental dengan muatan dekolonial dan anti-rasis. Mulai dari mengembangkan pedagogical tourism, berbagai bentuk perayaan serta karnaval, hingga rangkaian penelitian arkeologi dan sejarah. Mereka tidak hanya ingin Valongo Wharf benar-benar dikenang sebagai historical site of sensitive memory. Lebih dari itu, mereka  juga mendorongnya lebih jauh sebagai medium perlawanan atas rasisme dan diskriminasi hari ini yang telah berurat-berakar dalam masyarakat Brazil Valongo Wharf akhirnya menjelma heritage as an action. Warisan Dunia itu kini jadi bagian tak terpisahkan dari gerakan perlawanan atas ketidakadilan dan diskriminasi di Brazil.

Heritage Activism dan Gerakan Decolonial Heritage di Australia

Di New South Wales, apa yang diserukan Denis dua dekade lampau sedikit banyaknya membawa hasil. Definisi ‘heritage’ kini sudah semakin luas, mencakup seni, cerita rakyat, makanan, pakaian, dst.  Di Galeri Seni New South Wales, kini berdiri Yiribana Gallery. Galeri ini memajang banyak karya seni rupa seniman aborigin, dan letaknya sangat strategis—galeri ini jadi yang pertama dijumpai jika orang masuk ke gedung bernama Naala Badu itu. Karya-karya yang dulu ditelantarkan di basement, kini mendapat tempat yang sepantasnya. Status karya-karya dan senimannya, kini telah diangkat ke derajatnya yang seharusnya.[4]

Di luar galeri, di penjuru Australia, gerakan seni dekolonial tengah bersemi, mengokupasi ruang-ruang publik dan galeri-galeri, menantang mindset seni kolonial. Dengan sejarahnya yang panjang, dan dengan keterlibatan aktif para seniman Aborigin dan penduduk Selat Torres. Bahkan merekalah yang sedari awal menginisiasi gerakan dekolonial, jauh sebelum ‘dekolonial’ jadi terma penting di kampus-kampus atau galeri seni.[5]

Di Victoria,  menyusul terbitnya aturan tentang pelindungan cagar-cagar Aborigin (Aboriginal Heritage Act) pada 2006, sebuah lembaga independen (Registered Aboriginal Parties atau RAPs) didirikan untuk mengurus cagar-cagar Aborigin mulai dari cagar budaya, cagar alam, hingga beragam warisan budaya takbenda milik Aborigin. Lembaga ini berupaya menjadikan cagar-cagar Aborigin di Victoria sebagai sesuatu yang tidak hanya menguntungkan dan memberdayakan komunitas Aborigin pemilik cagar, namun juga melindunginya dari makin masifnya pembangunan tambang.

Berdirinya RAPs tak bisa dilepaskan dari berbagai aksi politik oleh aktivis dan orang Aborigin sendiri untuk mendorong diakuinya suatu konsep bernama tradisional owner secara hukum formal.  Anggotanya RAPs adalah para tradisional owner yang ditunjuk oleh Victorian Aboriginal Heritage Council yang juga didirikan oleh para tradisional owner.[6]

Banyak pihak melihatnya sebagai keberhasilan, termasuk orang-orang Aborigin sendiri. Namun di luar galeri dan di luar gerakan seni, penghancuran kebudayaan Aborigin terus berlangsung. Pada 2020 lalu, Juukan Gorge, salah satu cagar budaya Aborigin paling penting yang berumur 46.000 tahun dihancurkan demi pembangunan tambang. Organisasi-organisasi masyarakat Aborogin dan akademisi memprotes keras kejadian itu dan menuntut reformasi sistem tata kelola cagar.[7] Perusahaan tambang terpaksa membayar kompensasi karena tekanan-tekanan tersebut.[8]

Meski situs itu telah hancur bersama nilai-nilai budayanya yang tak akan sepenuhnya pulih oleh kompensasi, namun para aktivis mencoba membangun ulang nilai-nilai atasnya. Tiga tahun hancurnya Juukan Gorge diperingati sebagai pada 2023 lalu sebagai semacam hari berkabung untuk mengenang betapa industri tambang bisa sangat berbahaya. [9]

Protes  terhadap keseluruhan kebijakan pemerintah New South Wales yang tidak menghargai dan menghilangkan hak orang Aborigin dalam pengelolaan situs-situs Aborigin lainnya terus berlanjut.  Mindset kolonial masih beroperasi di balik tata kelola situs cagar Aborigin.[10] Gerakan seni dekolonial masih saja bergulir. Semuanya bagai kerja tanpa akhir.

Kontestasi Narasi WTBOS  dan Heritage Activism: Menunggu Menguatnya Praktek Decolonial Heritage

WTBOS sama dengan Valongo Wharf sebagai tinggalan kolonial yang berkait erat dengan memori menyakitkan. Di masa lalu, kedua situs itu dibangun lewat jenis hubungan sosial yang tidak setara. Fungsi dan dampak sosialnya, juga ditentukan oleh hubungan sosial dalam kerangka tuan-budak tersebut. Ia difungsikan sebagai situs penjajahan, eksploitasi, dan dampak sosialnya yang positif terarah ke pihak penjajah.

Sementara di Australia, medan kontestasi narasi atas cagar-cagar Aborigin, serupa dengan di Valongo Wharf di mana komunitas-komunitas lokalnya telah punya sejarah panjang memperjuangkan pemanfaatan dan pemaknaan atas situs-situs milik mereka. Mereka telah mempraktekkan apa yang kini disebut aksi decolonial heritage, yang masih berpangkal pada pemahaman bahwa cagar pada dasarnya adalah suatu konstruksi sosial.

Apa yang membedakan antara Valongo Wharf dan fenomena di Australia dengan di Indonesia ialah peran serta power yang dimiliki komunitas lokal. Jika di Brazil komunitas-komunitas lokal telah punya berbagai organisasi dan lembaga yang punya power untuk mengintervensi kebijakan terkait pemilikan dan pengelolaan cagar-cagar budaya demi memajukan agenda pemberdayaan yang mereka usung, maka hal ini belum  terlihat di Sumbar.

Meski komunitas lokal/orang tangsi keturunan pekerja paksa di Tambang Ombilin bisa dikatakan menang dalam kontestasi narasi tentang WTBOS di tingkat lokal, namun sifatnya masih parsial dan terisolasi: hanya terbatas di Sawahlunto, belum menjangkau kawasan penyangga WTBOS seperti jalur kereta dan stasiun di sepanjang pinggiran Singkarak hingga Emmahaven. Mereka juga tak punya organisasi yang punya power di tingkat nasional–hal yang akan terus menjadi problem jika pengurusan WTBOS selamanya diserahkan pada pemerintah pusat.

Studi tentang politik cagar budaya di Indonesia oleh Marieke Bloembergen dan Martijn Eickhoff (2020), secara eksplisit menunjukkan bahwa pemanfaatan cagar budaya seperti Borobudur, dari masa kolonial hingga pascakolonial, termasuk pemanfaatannya sebagai Identitas nasional, sangat ditentukan oleh kekuatan-kekuatan politik. Studi ini juga memperlihatkan secara implisit bahwa sejak masa kolonial pemanfaatan dan nilai-nilai yang dilekatkan pada cagar budaya ditentukan oleh kekuatan politik yang dominan dan di saat yang sama kurang memperhitungkan aspirasi dan kepentingan komunitas lokal. Dengan kata lain, proses konstruksi nilai dan dampak sosial cagar budaya seperti Borobudur dibangun dalam hubungan sosial-politik yang tak setara.

Galanggang Arang baru berjalan satu tahun dan tengah memasuki tahun kedua. Wacana decolonial heritage bisa dikatakan masih baru di Indonesia. Walau sudah ada Heritage Studies di UGM, tapi paradigma keilmuannya masih terkesan normatif dan konvensional. Namun persis ketika tulisan ini disusun, UGM memulai program Summer School untuk pertamakalinya mengusung tema Critical Heritage Studies—cabang studi dimana gagasan decolonial heritage berinkubasi dan diformulasikan.

Di saat bersamaan kontestasi narasi WBTOS terus berjalan. Tanpa adanya narasi sejarah WTBOS yang baru dan segar, tanpa adanya perbincangan serius soal paradigma WTBOS sebagai heritage as social action, serta diskusi tentang decolonial heritage yang bisa dimulai dengan studi kasus mendalam atas upaya komunitas lokal di Sawahlunto dalam memenangkan sejarah atau narasi dari bawah, mungkinkan Galanggang Arang hari ini, atau perayaan-perayaan di masa datang,  bisa mentransformasikan WTBOS menjadi situs yang betul-betul memberdayakan komunitas lokal di sepanjang kawasan WTBOS?

Bisakah Galanggang Arang sebagai aktivasi WTBOS dilihat para pelaku budaya sebagai heritage activismalih-alih sebagai sekedar perayaan lalu membangun kekuatan politik guna memasuki medan tempur kontestasi narasi WTBOS dengan power yang bisa mengimbangi power yang dimiliki pihak-pihak tertentu yang coba menjejalkan narasi dari atas?

Apakah WTBOS di masa datang, seperti dikhawatirkan Kate dan Rahman, akan jadi  prasasti  yang berkisah soal betapa normal dan wajarnya kolonialisme dan industri pertambangannya? Dan  apakah komodifikasi WTBOS akan menuntun pada reifikasi?

Jika kondisinya masih begini-begini saja, maka suatu pola pikir yang  sifatnya merusak akan terus lestari dari masa ke masa. Pola pikir itu adalah pola pikir yang dicangkokkan oleh kolonialisme (dan kapitalisme itu sendiri) yang ingin kita semua melihat bahwa kerusakan-kerusakan di segala lini kehidupan hari ini tak ada kaitannya sama sekali dengan kolonialisme dengan berbagai wajahnya, melainkan sesuatu yang normal-normal dan alamiah saja. Dan bahwa WBTOS hanyalah barang komersial semata, situs dimana cagar budaya dan manusia dipertemukan oleh hubungan tanpa makna antara dua objek, kecuali makna komersial. (*)

Foto: Para pekerja tambang di Sungai Durian. Reproduksi dari De Steenkolenindustrie (1917).

 

Catalan Kaki: 

[1] Kate McGregor, “Colonial industri heritage and memori” di Inside Indonesia:

https://www.insideindonesia.org/editions/edition-155-jan-mar-2024/colonial-industrial-heritage-and-memory?highlight=WyJtY2dyZWdvciIsIm1jZ3JlZ29yJ3MiLCJtY2dyZWdvcmtlIiwibWNncmVnb3Inc2ludGVydmlldyJd

[2] Abdul Rahman, “Situs, Status dan Makna: Manufacturing Memory Monumen TBOS” di garak.id: https://garak.id/artikel/situs-status-dan-makna-manufacturing-memory-monumen-tbos/

[3] Pembahasan mengenai Valongo Wharf dapat dilihat di Márcia Chuva, Leila Bianchi Aguiar and Brenda Coelho

Fonseca. “Sensitive Memories at a World Heritage Site: Silencing and Resistance at Valongo Wharf”, dalam Britta Timm Knudsen, John Oldfield, Elizabeth Buettner and Elvan Zabunyan (Ed),  Decolonizing Decolonial Heritage: New Agenda, Actor and Practices in Beyond Europe. (New York: Routledge, 2022), Bab 9.

[4] https://www.artlink.com.au/articles/5037/yiribana-at-the-art-gallery-of-nsw-a-surfacing-of-greatness/

[5] https://www.frieze.com/article/across-australia-artists-are-disrupting-colonial-mindset

[6] Tentang Victorian Aboriginal Council dan RAPs bisa dilihat di sini: https://www.aboriginalheritagecouncil.vic.gov.au/about-victorian-aboriginal-heritage-council dan di sini: https://www.aboriginalheritagecouncil.vic.gov.au/about-victorian-aboriginal-heritage-council

[7] https://caepr.cass.anu.edu.au/sites/default/files/docs/2020/7/Hunt_TI_3_2020.pdf  dan https://www.originalpower.org.au/western_australia_cultural_heritage

[8] https://nit.com.au/28-11-2022/4389/breaking-pkkp-aboriginal-corporation-reach-agreement-on-juukan-gorge-legacy-foundation-with-rio-tinto

[9] https://pkkp.org.au/wp-content/uploads/2023/05/Third-Anniversary-of-Destruction-at-Juukan-Gorge.pdf

[10] https://alc.org.au/wp-content/uploads/2019/12/protecting-the-past-guarding-the-future_models-to-reform-aboriginal-ch-laws-in-nsw_revised-240512.pdf

Rujukan:

Emma Waterton, Steve Watson dan Helaine Silverman. (2017) “An Introduction to Heritage as an Action” dalam H. Silverman, E. Waterton and S. Watson (eds).  Heritage in Action: Making the Past in the Present. Springer.

Márcia Chuva, Leila Bianchi Aguiar and Brenda Coelho Fonseca. “Sensitive Memories at a World Heritage Site: Silencing and Resistance at Valongo Wharf” dalam  Britta Timm Knudsen, John Oldfield, Elizabeth Buettner and Elvan Zabunyan (Ed). (2022)  Decolonizing Decolonial Heritage: New Agenda, Actor and Practices in Beyond Europe. Routledge: Routledge).

Marieke Bloembergen dan Martijn Eickhoff. (2020). The Politics of Heritage in Indonesia: a Cultural Histories.Cambridge University Pers: UK.

Open chat
1
Scan the code
Helpdesk
Halo 👋
Ada yang bisa kami bantu?